Sepedaku mendekati rumah Marcus. Rumahnya bagus dan besar. Mungkin karena pekerjaan Ayahnya pengembang perumahan---katanya Marcus begitu. Di seberangnya terdapat tanah kosong. Anak-anak riuh bermain sepak bola di sana.Â
Tepat ketika aku di depan pagar rumah Marcus, bola sepak itu sekonyong-konyong terlempar masuk ke pekarangannya---barangkali seorang anak menendangnya dengan sangat kencang.Â
Tiga anak laki-laki kemudian menghampiriku, mungkin mereka hendak menjemput bolanya. Tiba-tiba, Marcus keluar membawa bola itu. Begitu dia mendekat, anak-anak tersebut malah berlari menjauh. Aku kasihan melihat Marcus.
Markus kembali masuk. Tidak lama, dia keluar lagi menuntun sepeda dan mengayuh pedalnya menjauhiku.
"Marcus, tunggu!"
Marcus menuju bukit dan aku mengejarnya. Kami kemudian berhenti di dekat pohon jambu air. Marcus segera memanjat dan menjatuhkan beberapa jambu sebelum turun. Kami menikmati jambu itu sambil duduk di rerumputan. Buahnya ranum sekali. Rasanya segar dan manis.Â
"Mari kita pecahkan jendela Nyonya Mirna malam ini!" Tiba-tiba saja Marcus berkata seperti itu.
"Nyonya Mirna yang rumahnya seperti kastil Belanda itu? Mengapa?"
"Ayahku bilang, Nyonya Mirna keras kepala karena tidak mau menjual rumahnya. Jadi, aku harus melunakkan kepalanya. Ayo, kita cari batu-batu di sekitar sini!"
"Menurutku, kita tidak perlu memecahkan jendelanya."
"Kau takut Ayahmu?"