"Grey, bagaimana kalau kita menghabiskan waktu bersama-sama suatu hari nanti?"
"Boleh saja, tapi aku tidak yakin apakah aku punya waktu untuk itu atau tidak. Sampai jumpa."
Aku kembali ke ruanganku dan menghadirkan kembali keheningan yang tertunda. Berteman alunan musik syahdu, kesunyianku malam ini ingin kunikmati sendiri saja.
Beginilah yang aku tahu. Setiap orang memiliki kecenderungan berpikir sama ketika dihadapkan dengan suatu permasalahan. Masing-masing merasakan beban sendiri lebih berat daripada milik orang lain. Itu lumrah saja, sampai saatnya seseorang itu berhasil menemukan penghancur bebannya dan mengambil kesimpulan bahwa ternyata konflik yang dialaminya tidak semengerikan dari apa yang dibayangkan.
Haris sudah bertemu penghancur bebannya dan dia mungkin merasa lebih baik, sementara aku? Aku bahkan tidak mampu mengatasi permasalahan hidupku sendiri---sungguh ironis.
Bertumpuk-tumpuk permasalahan datang menghantamku sejak berbulan-bulan lalu dan aku sudah tidak mampu lagi mengurainya satu per satu. Tidak ada orang yang tepat untuk kuajak berbicara, tidak ada dukungan dari siapa pun, tidak ada yang peduli, jalanku buntu, dan cara pandangku sudah tidak mungkin berubah---menyerah. Ya, aku menyerah karena lelah.
Seutas tali tambang masih tergantung di besi melintang penyanggah langit-langit ruangan. Ujung simpulnya membentuk lubang sekepala. Ia seolah-olah menunggu dengan tidak sabar untuk menjadi saksi terakhir terhadap usainya kisah perjalanan hidup tiga puluh sembilan tahun seorang pria kesepian yang ternyata bermental payah.
---Â
- Shyants Eleftheria, Life is a Journey -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H