Malam ini, seperti berada di kursi pengemudi, suatu tempat akan kutuju untuk alasan ketenangan. Dalam pikiranku, hanya itu yang aku butuhkan. Saat keringat dingin dan perasaan dilematis menyergap, keinginan kuat masih lebih unggul mendorongku untuk mencapai garis akhir. Sialnya, upayaku tiba-tiba terusik oleh bunyi berdentum-dentum tidak wajar dari luar sana yang seketika memutuskan jalur hening yang kuanggap sangat penting di perjalanan ini.
Aku menyambangi sebuah pintu, persis berhadapan dengan pintuku dalam tiga satuan depa di unit tujuh bangunan apartemen ini. Walau terbuka sedikit, aku menggedor-gedornya sekeras mungkin, bergantian dengan bel yang kupencet berkali-kali. Tidak lama, seorang pria muda muncul. Usianya sekitar tiga puluh lima tahunan. Rambutnya cepak, tampangnya kusut. Kemeja yang dikenakannya basah dan kotor, dua kancing di atasnya terbuka. Dia menatapku. Matanya sedikit merah seperti orang mabuk.
"Ya, ada perlu apa?" tanyanya dengan ringan. Dia mungkin belum mengetahui kesalahannya atau bisa jadi pura-pura tidak tahu.
"Tolong volume musiknya dikecilkan saja, Bung!"
"Apa?"
Kepalanya memiring, wajahnya mengernyit. Satu telunjuknya mengorek-ngorek lubang telinga.
"Tolong matikan musiknya! Berisik sekali! Aku sangat terganggu."
Dia mendengkus, bola matanya memutar ke atas. Sangat menjengkelkan. Tanpa permisi, dia berlalu sambil mendorong pintu. Tanganku lantas sigap menahan daun pintunya supaya tidak tertutup.
Satu menit, dua menit, sumber kebisingan dari dalam tidak juga berhenti sehingga memaksaku untuk masuk. Apa yang sedang terjadi dengannya malam-malam begini? Tidak kira-kira pula, dia telah mengganggu istirahat para tetangga meski mungkin penghuni lain lebih memilih bersikap masa bodoh.
Pria menyebalkan ini tidak menggubris kedatanganku, malah asyik menikmati musik gilanya sambil berjoget dan menenggak minuman dari botol di tangannya. Pantas saja bajunya basah, minumannya tertumpah-tumpah.
Aku menepuk-nepuk pundaknya, lalu menunjuk-nunjuk radio-tape yang terus menyala agar dia mematikan kegaduhan musiknya. Akhirnya, dia mengambil remot yang tergeletak di atas meja dan menekan tombolnya---senyaplah kemudian.
Dia terdiam, lalu mengempaskan tubuhnya di atas sofa abu-abu di belakangnya. "Hanya ini caraku untuk menenangkan diri," katanya.
Menenangkan diri? Bagaimana bisa dia memperoleh ketenangan dari musik yang hingar-bingar? Gelas-gelas dan piring-piring kotor pun bahkan bertumpuk di atas meja. Sebilah pisau dapur tergeletak di lantai. Sampah-sampah makanan berserakan di sana-sini, baunya menguar tidak sedap. Rasa-rasanya sungguh konyol apabila dia mendapatkan keadaan tenang dalam kekacauan yang diciptakannya sendiri ini. Pastilah ada suatu persoalan.
"Hei, Bung! Kau baik-baik saja?"
Pria ini lebih memilih menenggak minumannya daripada menjawab pertanyaanku.
"Kau pikir minuman akan membantu memperbaiki masalahmu? Dengar, tidak semua orang bahagia sepanjang waktu. Kita semua punya masalah. Beberapa bahkan lebih besar dari yang lain, tapi---"
"Berhentilah mengoceh memberiku petuah. Kau tidak tahu keadaanku jauh lebih buruk."
Emosiku mengendur. "Apa yang kau alami?"
Aku menawarkannya untuk bercerita jika dia tidak keberatan. Dia melihatku, mungkin memastikan diri apakah aku orang yang bisa dipercayanya atau tidak. Bahuku mengendik---terserah saja.
Dia mulai memberitahukan tentang bagaimana beratnya di-PHK dari pekerjaan yang telah mapan, seminggu lalu. Keadaan itu jelas membuatnya bingung perihal bagaimana harus membayar sewa apartemen, menutup utang-utang, serta memenuhi kebutuhan lainnya.
Meski demikian, katanya, dia tetap berupaya untuk tidak panik dan mencoba berkata kepada diri sendiri bahwa semuanya baik-baik saja. Ya, segalanya akan beres dengan sendirinya. Dia percaya akan menemukan pekerjaan baru dan kembali normal.
"Jika kau merasa baik-baik saja, lantas apa yang membuat kau begitu buruk?"
"Hari ini aku menerima telepon dari Suzan, kekasihku, maksudku ... sekarang sudah menjadi mantan kekasihku."
"Karena kau sudah memberitahunya tentang pekerjaanmu yang hilang?"
"Saat itu aku langsung memberitahunya, tapi dia tidak merespons apa-apa. Tadi kami bertengkar hebat. Dia tidak mau menunggu lama. Hubungan kami sudah terlalu lama dan aku menghancurkannya."
"Apakah Suzan tidak mau menunggu kabar baik lagi darimu? Maksudku, sampai kau menemukan pekerjaan baru."
"Aku sudah bilang seperti itu, tapi, entahlah, aku tidak tahu pasti kapan aku bisa bekerja lagi."
"Oh, aku turut prihatin mendengar ini."
"Prihatin? Beberapa menit lalu kau menyuruhku mematikan musik. Sekarang kau katakan prihatin. Lucu sekali."
"Maafkan. Aku hanya tidak tahu situasimu dengan baik. Jadi, kenapa tidak kau ceritakan saja sedikit tentang dirimu?"
Dia menenggak minuman lagi. "Kenapa kau peduli?"
"Karena kau terlanjur mengganggu malamku."
"Nah, musiknya berhenti sekarang. Jadi, kau bisa pergi. Aku pikir kita tidak harus bicara lagi. Tolong pergi saja."
"Baiklah, aku pergi. Tapi izinkan aku memberitahumu sesuatu yang semestinya sudah kau ketahui."
"Katakan saja. Setelah itu pergilah."
"Tidak semua tempat di dunia ini mendapatkan sinar matahari dan pelangi secara bersamaan. Di bagian gelap, tentu saja adalah tempat yang sangat kejam dan jahat dan itu akan membuat kita berlutut dan tetap di sana secara permanen jika kita tidak bergerak pindah."
Aku melanjutkan lagi. "Kau, aku, atau siapa pun akan terpukul sekeras hidup, dan betapa sulit kita mampu bertahan, tapi itu tergantung juga seberapa keras kita memukul. Seperti "Rocky", film favoritku sepanjang masa."
"Rocky? Itu film favoritku juga, Bung---"
"Panggil saja Grey."
"Haris."
Kami berjabatan. Aku dan Haris sebelumnya hanya sering berpapasan saat kebetulan hendak pergi atau bersilangan meski tidak pernah sekali pun menyapa, lebih-lebih lagi terlibat obrolan.
Beginilah, kami hidup di satu unit tempat tinggal. Paradoksnya, hubungan sosial kaum urban masa kini seakan-akan tidak mengharuskan orang-orang untuk saling mengenal satu sama lain, bahkan kepada yang terdekat sekalipun.
"Aku melihatmu beberapa kali di sekitar gedung ini dan kau sepertinya orang yang selalu memikirkan sesuatu, Grey."
"Aku memang sering berpikir tentang sesuatu, tentang hidup. Ketika---"
Tiba-tiba ponsel Haris berdering. Dia memperlihatkan nama penelepon itu kepadaku, nama yang jelas-jelas membuat dirinya kacau.
"Angkat saja." Aku diam sesaat untuk membiarkan mereka berbincang. Berselang tidak lama, Haris mengakhiri teleponnya dan tersenyum.
"Suzan meminta maaf karena seharusnya mengerti permasalahanku. Dan dia bilang, dia akan datang besok. Kami akan berdiskusi lagi."
"Kedengarannya bagus. Baiklah, masalahmu setidaknya sudah menyusut. Aku pamit."
"Hei, tadi bicaramu belum selesai."
"Ah! Sudahlah. Sekarang bukan saat yang tepat untuk bercerita tentang diriku."
"Oh, mengapa tidak? Oya, mau kubuatkan steak dan minuman hangat? Aku masih punya stoknya di dapur, cukuplah kurasa."
"Tidak ... tidak, terima kasih. Sekarang lihatlah dirimu. Kau sudah kelihatan lebih baik."
"Ya, jika Suzan tidak bisa bersamaku hanya karena aku kehilangan pekerjaan, dia bukan tipe wanita yang aku inginkan. Sesederhana itu saja."
"Bagus. Tidak peduli seberapa sulit hidup atau seberapa rendah perasaan kita, selalu ada alasan untuk maju dan tidak menyerah."
"Grey, bagaimana kalau kita menghabiskan waktu bersama-sama suatu hari nanti?"
"Boleh saja, tapi aku tidak yakin apakah aku punya waktu untuk itu atau tidak. Sampai jumpa."
Aku kembali ke ruanganku dan menghadirkan kembali keheningan yang tertunda. Berteman alunan musik syahdu, kesunyianku malam ini ingin kunikmati sendiri saja.
Beginilah yang aku tahu. Setiap orang memiliki kecenderungan berpikir sama ketika dihadapkan dengan suatu permasalahan. Masing-masing merasakan beban sendiri lebih berat daripada milik orang lain. Itu lumrah saja, sampai saatnya seseorang itu berhasil menemukan penghancur bebannya dan mengambil kesimpulan bahwa ternyata konflik yang dialaminya tidak semengerikan dari apa yang dibayangkan.
Haris sudah bertemu penghancur bebannya dan dia mungkin merasa lebih baik, sementara aku? Aku bahkan tidak mampu mengatasi permasalahan hidupku sendiri---sungguh ironis.
Bertumpuk-tumpuk permasalahan datang menghantamku sejak berbulan-bulan lalu dan aku sudah tidak mampu lagi mengurainya satu per satu. Tidak ada orang yang tepat untuk kuajak berbicara, tidak ada dukungan dari siapa pun, tidak ada yang peduli, jalanku buntu, dan cara pandangku sudah tidak mungkin berubah---menyerah. Ya, aku menyerah karena lelah.
Seutas tali tambang masih tergantung di besi melintang penyanggah langit-langit ruangan. Ujung simpulnya membentuk lubang sekepala. Ia seolah-olah menunggu dengan tidak sabar untuk menjadi saksi terakhir terhadap usainya kisah perjalanan hidup tiga puluh sembilan tahun seorang pria kesepian yang ternyata bermental payah.
---Â
- Shyants Eleftheria, Life is a Journey -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H