Aku menepuk-nepuk pundaknya, lalu menunjuk-nunjuk radio-tape yang terus menyala agar dia mematikan kegaduhan musiknya. Akhirnya, dia mengambil remot yang tergeletak di atas meja dan menekan tombolnya---senyaplah kemudian.
Dia terdiam, lalu mengempaskan tubuhnya di atas sofa abu-abu di belakangnya. "Hanya ini caraku untuk menenangkan diri," katanya.
Menenangkan diri? Bagaimana bisa dia memperoleh ketenangan dari musik yang hingar-bingar? Gelas-gelas dan piring-piring kotor pun bahkan bertumpuk di atas meja. Sebilah pisau dapur tergeletak di lantai. Sampah-sampah makanan berserakan di sana-sini, baunya menguar tidak sedap. Rasa-rasanya sungguh konyol apabila dia mendapatkan keadaan tenang dalam kekacauan yang diciptakannya sendiri ini. Pastilah ada suatu persoalan.
"Hei, Bung! Kau baik-baik saja?"
Pria ini lebih memilih menenggak minumannya daripada menjawab pertanyaanku.
"Kau pikir minuman akan membantu memperbaiki masalahmu? Dengar, tidak semua orang bahagia sepanjang waktu. Kita semua punya masalah. Beberapa bahkan lebih besar dari yang lain, tapi---"
"Berhentilah mengoceh memberiku petuah. Kau tidak tahu keadaanku jauh lebih buruk."
Emosiku mengendur. "Apa yang kau alami?"
Aku menawarkannya untuk bercerita jika dia tidak keberatan. Dia melihatku, mungkin memastikan diri apakah aku orang yang bisa dipercayanya atau tidak. Bahuku mengendik---terserah saja.
Dia mulai memberitahukan tentang bagaimana beratnya di-PHK dari pekerjaan yang telah mapan, seminggu lalu. Keadaan itu jelas membuatnya bingung perihal bagaimana harus membayar sewa apartemen, menutup utang-utang, serta memenuhi kebutuhan lainnya.
Meski demikian, katanya, dia tetap berupaya untuk tidak panik dan mencoba berkata kepada diri sendiri bahwa semuanya baik-baik saja. Ya, segalanya akan beres dengan sendirinya. Dia percaya akan menemukan pekerjaan baru dan kembali normal.