Kenyataannya, beberapa rencana hidup pribadiku harus ditunda. Aku bertemu Emilia. Kami saling jatuh cinta dan menjalin hubungan. Kemudian hubungan kami berubah menjadi pernikahan. Kami memiliki bayi, lalu seperti merasakan hidup dalam waktu singkat, tiba-tiba bayi kami sudah tumbuh dan harus mendaftarkannya sekolah. Tidak ada yang kupikirkan lagi selain harus mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dan bekerja lebih lama untuk mencukupi biaya hidup keluarga. Biaya hidup makin hari tidak bisa dikatakan kecil untuk segala kebutuhan, termasuk perawatan rumah, kendaraan, air, listrik, sekolah, kesehatan, ini, itu, dan beberapa lainnya, bahkan yang tidak terduga sekalipun. Semua itu harus aku sanggupi dengan bekerja, bahkan terkadang harus mengambil lembur. Â
Ini bukan sebuah penyesalan dan menunjukkan kesedihanku untuk dikasihani. Aku hanya mengatakan bahwa meski tidak ada masalah besar, kehidupanku tidak benar-benar memuaskan. Tentang pernikahan, aku tidak menyebut diriku sebagai orang yang bahagia. Maksudku, tentu saja aku mencintai Emilia dan kami masih melakukan hubungan suami-istri. Hanya, kami tidak memiliki percikan gairah seperti di awal-awal---aku merasakan perubahannya.
Poster tentang iklan kebahagiaan masih ada di laci mobil. Aku benar-benar tidak tahu apa yang kupikirkan, tetapi kuputuskan untuk menelpon nomor di kertas tersebut.
Sebuah pertanyaan tiba-tiba muncul di kepalaku. Apa benar kebahagiaan dapat dibeli? Jika ya, orang-orang berduit tentu paling berpotensi berbahagia karena bisa membelinya dalam jumlah besar. Lantas, orang-orang miskin akan terus merana, tidak kebagian jatah bahagia. Itu artinya dunia sungguh tidak adil, padahal kata orang alim, kebahagiaan itu hanya milik orang-orang yang bersyukur, mau kaya, mau miskin, semua bisa bahagia, semestinya.
Tiba-tiba tanganku gemetar. Iklan itu mungkin saja sebuah lelucon. Kebahagiaan yang dimaksud tidak begitu jelas. Apakah kemudian seseorang akan mengangkat teleponku dan berkata, "Apakah Anda ingin bercinta dengan saya?" Bukankah profesi penjaja cinta bisa juga diasumsikan sebagai penjual kebahagiaan? Ya, Tuhan, ide kebahagiaan di kepalaku buruk sekali.
Nomor telepon itu sudah terlanjur kuhubungi dan hanya berdering sekali sebelum seseorang mengangkatnya. Aku tidak bisa mengurungkannya. "Halo, ada yang bisa saya bantu?" Suara seorang wanita terdengar di telingaku.
"Ya, sa-saya menelpon tentang postermu."
"Oh, luar biasa. Kami memang menjual botol kebahagiaan. Kapan Anda mau mengambilnya, Pak? Kita bisa bertemu di suatu tempat."
Hari masih sore, jadi aku bisa mengambil botol kebahagiaan itu sebelum pulang. Emilia tidak kuberitahu---biarlah dia tahu apa-apa dulu.
Ide wanita itu bertemu di tempat umum menurutku bagus. Tentunya, aku tidak ingin menjadi korban penipuan atau tiba-tiba itu adalah jebakan. Tempat umum yang kami putuskan adalah tempat parkir Starbucks sekitar tiga kilometer dari kantorku. Aku menuju ke sana meskipun tidak berpikir benar-benar akan membeli sebotol kebahagiaan tersebut.
Aku berkeyakinan sembilan puluh sembilan persen bahwa botol itu berisi obat-obatan. Namun, bagaimana jika yang dia jual itu adalah serbuk heroin? Oh, tidak ... tidak. Mungkin memang ada jenis obat-obatan  yang bisa membuat seseorang bahagia. Maksudku, ya semacam ramuan obat.