Katie, dia sepupu istri keduaku, Suzaan. Entah mengapa, sejak aku meminang Suzaan, dia seperti tidak senang. Aku menjadi paham setelah Suzaan mengatakan bahwa Katie gagal menikah dengan pria yang katanya mirip denganku. Hubungan mereka hampir lima tahun. Pria itu telah berselingkuh dan Katie tidak bisa menerimanya kembali. Bisa jadi karena itu dia bersikap demikian kepadaku---dan di depannya, aku pura-pura tidak tahu saja.
Enam bulan aku tinggal di rumah Suzaan setelah kami menikah. Rumahnya besar dengan tanah luas di sekitarnya tepat di pinggir kota Bristol. Tidak jauh dari rumah Suzaan, terdapat satu rumah lagi yang bentuknya kurang lebih sama. Nah, itu milik Katie.
"Aku dan Katie tidak memiliki saudara lagi. Kami sangat dekat sejak kecil, bermain bersama dan bersekolah juga di tempat yang sama. Jadi, masing-masing Ayah kami membuatkan rumah untuk kami agar bisa tetap berdekatan saat dewasa."
Katie dan Suzaan terpaut satu tahun saja, Katie lebih tua. Mereka berdua memiliki karakter serta penampilan yang berbeda. Katie berpikiran kuat dan suka mengendalikan semua orang di sekitarnya, termasuk Suzaan. Wanita itu bermata biru, kurus, tinggi, dengan rambut cokelat bergelombang indah.
Suzaan tidak terlihat demikian. Meski matanya juga biru dan berambut cokelat yang sama, istriku itu lebih kecil dan gemuk. Selain itu, Suzaan mengaku tidak pintar dan biasanya dia melakukan apa yang orang lain selalu inginkan walaupun kadang menentangnya. Pernah suatu ketika, Suzaan mengeluhkan penampilannya kepadaku. Perempuan itu kadang tidak puas dengan apa yang dia miliki.
"Aku ingin menjadi wanita yang menarik."
"Kamu menarik, Suzaan. Bahkan lebih menarik dari Katie."
"Apa? Kamu katakan aku menarik dari Katie? Lihat, Philo! Badanku bahkan kelebihan 15 kilo. Katie bilang, tubuhku seperti badut gendut, dan katanya, jika bukan karena kaya, laki-laki tidak akan mau menikahiku."
"Tajam sekali mulut sepupumu itu. Ayolah, Suzaan, kamu jangan termakan omongannya. Lagipula, aku bukanlah laki-laki seperti yang dia katakan."
"Ya, aku percaya. Kamu tulus mencintaiku. Tapi, Philo, aku tetap ingin memperbaiki tubuhku."
"Oke ... oke. Setelah kita menikah, kamu boleh menjadi seperti apa yang kamu mau."
Suatu pagi, Katie mengunjungi rumah kami. Dia sudah tidak canggung lagi datang dan bercengkrama denganku. Namun, aku heran. Maksudnya, kadang dia bersikap manis, kadang bersikap sinis. Seperti saat minum kopi di ruang tamu, dia duduk mendekatiku saat Suzaan tidak ada di rumah.
Tepat ketika Katie ingin mengatakan sesuatu, ponselku berdering.Â
"Ya, halo?"
"Halo, Sayangku, ini aku, Suzaan."
"Siapa?"
"Kamu sungguh keterlaluan, Philiphe! Aku istrimu."
"Oh, maaf. Sepertinya kamu salah sambung." Aku memutuskan teleponnya dan Katie ternyata memperhatikanku.
"Kamu seperti terkejut, siapa yang menelpon?"
"Aku tidak kenal. Telepon yang salah."
Katie menyeruput kopinya. Suara desahannya terdengar dekat di samping telingaku tatkala selesai meneguk kopi seolah-olah ingin menarik perhatianku, tetapi aku tidak memedulikannya. Dia kemudian berkata,"Hampir tiga minggu Suzaan pergi. Kamu tidak kesepian, Philiphe?"
Ketika aku menjawab "tidak", Katie menjauhkan tubuhnya dan kulihat sekilas wajahnya menjadi tidak bersahabat.
"Philiphe, kemarin aku melihat perempuan di kota. Sempat kupikir dia Suzaan. Tapi, ah, tidak mungkin. Bukankah Suzaan pergi ke Eropa?" Katie seperti meragukan perkataannya sendiri. "Tapi, untuk apa dia ke Eropa?"
"Dia mengunjungi teman-temannya."
"Hmmm, setahuku, Suzaan tidak pernah punya teman di Eropa. Aku tahu semua temannya."
Katie kembali menyeruput kopi. Ada jeda hening beberapa detik sebelum Katie berbicara kembali.
"O, ya, Philiphe," katanya, "dengar-dengar istri pertamamu, Emily, meninggal dalam kecelakaan di air yang dalam, ya? Sayang sekali dia tidak bisa berenang. Kamu saksi satu-satunya pada kecelakaan perahu itu, bukan?"
"Emily membawa perahunya sendiri saat itu. Aku telah melihat kecelakaan itu dari perahu yang lain. Aku bergegas ingin menolongnya, tetapi sudah terlambat menyelamatkannya."
"Dan luar biasanya, kamu telah mendapatkan keuntungan dari kematiannya. Oh, sungguh Emily yang malang."
Aku tahu dia mendapatkan cerita tentang kecelakaan Emily dari Suzaan, tetapi tidak dengan asumsinya mengenai keuntungan, itu membuatku kesal dengan mulutnya.
"Emily mewariskanmu satu kapal layar dan sejumlah uang yang besar dari asuransinya, kan?"
"Jangan berkata yang kamu tidak tahu apa-apa, Katie!"
Katie mengendikkan bahunya seakan-akan tidak peduli dengan ucapanku. Dia kemudian menghabiskan kopinya dan pergi begitu saja tanpa pamit. Huh, wanita yang menyebalkan! Â
Setelah melewati pagi yang sungguh tidak menyenangkan, aku berjalan-jalan ke hutan di belakang rumah. Ruang terbuka di antara pepohonan yang memiliki aliran sungai kecil ini memberikan kedamaian. Benar-benar tempat yang tenang untuk beristirahat.
Di bawah pohon di dekat sungai, aku beristirahat, lalu berpikir tentang Katie dan Suzaan. Mereka sama-sama kaya, tetapi situasi yang kutemukan setelah pernikahan berbeda.
Katie memiliki rumah serta tanah yang luas dan dia mempekerjakan banyak orang untuk mengurusnya, bahkan seorang pengacara untuk menjaga aset keuangannya. Berbeda dengan Suzaan yang memiliki dua pembantu rumah tangga dan satu penjaga rumah saja. Suzaan pun cukup mempercayakan semua urusan keuangan kepadaku meski aku tidak pernah memintanya sejak awal.
Pada senin sore aku pergi ke supermarket di pusat kota. Yang mengherankanku, aku melihat seorang perempuan kecil gemuk di seberang jalan, berjalan menjauh dari arahku. Dia mengenakan gaun ungu dan topi cokelat. Sudah keempat kalinya aku melihatnya dalam sepuluh hari terakhir.
Aku bergegas menyeberang jalan. Perempuan itu berbelok di tikungan dan aku mulai berlari mengejarnya. Ketika mencapai sudut dia tidak terlihat lagi, sebuah mobil berhenti tepat di sampingku berdiri. Kaca mobil perlahan-lahan terbuka, Katie ada di dalamnya. Â
"Apa yang kamu lakukan di sini, Philiphe?"
Hal yang sama juga sebenarnya hendak kutanyakan kepadanya. Aku mulai mengendus gelagat pengawasannya yang tiba-tiba. Â
"Aku melihatmu berlari, ada apa? Aku belum pernah melihatmu berlari sebelumnya."
"Oh, aku hanya berolah raga kecil." Kukatakan saja seperti itu meski setelahnya Katie tertawa. Kemudian, dengan napas yang masih terengah-engah, aku berjalan kembali ke supermarket. Saat perjalanan pulang ke rumah, otakku mulai memikirkan sesuatu.
Aku bangun tengah malam pukul dua pagi, memakai jaket, dan keluar rumah lewat pintu belakang menuju gubuk, lebih tepatnya gudang untuk menyimpan alat-alat kebun---aku membutuhkan sesuatu dari dalamnya untuk menggali lubang. Maka setelah kutemukan sekop dengan pegangan panjang, segera kuletakkan barang itu di bahuku, kemudian berjalan pergi.
Sinar bulan menyinari wajahku. Kuperkirakan satu hari lagi bentuknya akan terlihat bundar sempurna. Ketika hampir sampai ke bawah pepohonan besar, aku berhenti, menggeleng perlahan, lalu kembali ke gubuk dan meletakkan sekop.
Keesokan paginya, Katie datang menemuiku ketika aku sarapan. Dia membawa surat beramplop biru yang baru saja datang yang dialamatkan kepadaku. Cap posnya kota setempat kami. Aku membuka amplop dan mengeluarkan selembar kertas. Tulisannya seperti tidak asing. Â Â Â Â .
Halo, Philiphe,
Aku merindukanmu. Aku akan segera pulang.Â
Tertanda, Suzaan.
Aku memasukkan surat itu ke dalam amplopnya dengan baik. Katie bertanya, "Aku mengenali tulisan Suzaan di amplop. Apakah dia mengatakan kapan dia akan kembali?"
"Ini bukan tulisan Suzaan. Ini surat dari bibiku di Jerman."
"O,ya? Aku tidak tahu kamu punya bibi di Jerman." Nada bicara Katie terdengar tidak percaya.
Malam harinya, aku sedang di tempat tidur dan terbangun ketika telepon yang terletak di sampingku berdering.
"Halo, Sayang, ini Suzaan."
"Kamu bukan Suzaan."
"Jangan bodoh, Philiphe. Aku Suzaan."
"Kamu tidak mungkin Suzaan. Aku tahu betul Suzaan tidak memanggiku seperti itu dan dia juga tidak bisa menelponku pada malam seperti ini."
"Oh, menyedihkan, kamu mulai melupakan aku. Tapi ini aku, percayalah. Aku tidak tidak nyaman di sini, jadi aku ingin segera pulang."
Aku menutup panggilan telepon itu, lalu bangkit dari tempat tidur, mengambil dan mengenakan jubah merah tebal, turun ke ruang kerja dan membuat minuman untuk diriku sendiri. Menjengkelkan! Dalam beberapa hari, aku seperti merasakan sebuah teror.
Jarum jam dinding berada di kisaran pukul satu dini hari ketika aku pergi ke hutan di belakang rumah sambil membawa sekop. Aku berhenti di samping pohon yang paling tinggi dan mulai mengambil langkah secara penuh, lalu menghitungnya secara bersamaan: Satu, dua, ... lima ... sepuluh ... empat belas, lima belas, enam belas. Langkahku berhenti dan mulai menggali.
Aku sudah menggali kira-kira selama lima menit. Tiba-tiba kudengar teriakan orang-orang. Wajahku kemudian tertimpa cahaya. Seketika aku menghalaunya dan mengenali beberapa orang yang bekerja di rumah Katie, termasuk pengacaranya.
Katie melangkah maju. "Kamu ingin memastikan kalau dia benar-benar mati, Philiphe? Dan satu-satunya cara untuk melakukannnya adalah kembali di tempat kamu menguburkannya. Kamu seorang pembunuh!"
"A---aku hanya mencari pisau indian kunoku," jawabku mengelak, "Ada kepercayaan bahwa jika menemukannya di bawah sinar bulan, itu akan membawa keberuntungan."
Katie menggeleng-geleng sambil tersenyum sinis. Dia menunjuk satu laki-laki yang tidak kukenal.
"Tahukah kamu, ini detektif swasta. Dia telah mengawasimu selama dua puluh empat jam sehari sejak aku menebak apa yang sebenarnya terjadi pada Suzaan."
Katie beralih menunjuk ke perempuan kecil gemuk. "Dia Nona Milan yang sering kamu lihat dengan gaun ungu dan bertopi cokelat. Masih ingat ketika kamu sempat ingin mengejarnya beberapa hari kemarin? Nona Milan juga yang mengirimimu surat dengan meniru tulisan Suzaan."
"Dan ...," lanjut Katie, "Nyonya Peters, kemarilah." Seorang perempuan kurus maju dua langkah dengan wajah tirusnya mendongak yang berkesan angkuh. "Dia pandai menirukan suara orang, termasuk suara Suzaan yang kamu dengar di telepon."
Luar biasa! Aku sungguh terpukau atas upaya Katie membongkar apa yang dia anggap sebagai misiku. Namun, aku tidak begitu khawatir sebab ini adalah bagian dari rencanaku juga. Agar memberi kesan jika Katie memenangkan sandiwara, aku berpura-pura was-was dan melap peluh di pelipisku karena lelah menggali.
Katie memerintahkan dua orang pekerjanya untuk melanjutkan galian. Mereka sudah menyiapkan sekop sendiri.
"Aku tahu, kamu  sudah mulai khwatir. Kamu hampir menggalinya tadi malam, bukan? Tapi kemudian berubah pikiran. Kami beruntung karena tadi malam orang-orangku belum siap memergokimu."
Pekerjanya menggali sekitar lima belas menit, kemudian berhenti untuk istirahat.
"Tanah ini sangat keras," kata seorang dari mereka.
"Tidak ada yg terkubur di sini," kata yang lain, "satu satunya yang kami temukan adalah pisau indian tua."
Aku melihat Katie dan tersenyum kepadanya. Apa yang membuat kamu berpikir kalau aku mengubur Suzaan? Aku meninggalkan mereka dan kembali ke rumah.
Aku sudah menebak dari awal bahwa Katielah yang bertanggung jawab atas Suzaan palsu yang berbeda-beda. Itu semua bagian dari rencanannya. Namun, dia melupakan satu hal: Hanya Suzaan yang memanggilku "Philo", tidak dengan yang lain.
Apa pun yang menjadi tujuannya, dia percaya bahwa aku telah membunuh saudara perempuannya. Jadi, dia ingin menakut-nakutiku sampai aku putus asa dan berkata, "Ya, aku telah membunuhnya." Dia tidak tahu aku menjalankan permainanku juga. Aku ingin dia berpikir aku ketakutan---dan tentu saja aku ingin dia berpikir Suzaan telah terkubur di tempat itu di hutan.
Sekarang aku di posisi yang kuat. Dia menyebutku seorang pembunuh di depan semua saksi. Aku bisa saja membawanya ke pengadilan dan menuntut sejumlah uang darinya, tetapi dia mungkin tidak ingin membiarkan itu terjadi karena tidak ingin dunia tahu kalau dia begitu bodoh.Â
Dia lebih suka membayar orang-orang itu untuk tetap diam. Itu mungkin juga akan membantu jika aku mendukung ceritanya dan mengatakan bahwa tidak ada yang terjadi sama sekali. Aku melakukannya jika dia memberikanku uang yang besar.
Pagi harinya, teleponku berdering.
"Philo sayang, aku akan pulang sekarang."
"O, bagus Suzaan. Aku sudah sangat merindukanmu."
"Kamu tidak memberitahu siapa pun di mana aku berada empat minggu terakhir ini?"
"Aku hanya mengatakan kepada Katie, kamu mengunjungi teman temanmu di Eropa."
"Ha-ha-ha, aku tidak mengenal siapapun di sini. Apakah dia percaya?"
"Aku pikir tidak."
"Aku tidak bisa memberitahukan tujuan pergi untuk mengurangi lemak tubuhku. Aku akan malu. Aku tidak yakin aku akan berhasil, tetapi aku berhasil, Philo. Berat badanku sekarang berkurang empat belas kilo. Aku seperti Emily sekarang, kamu akan suka."
Suzaan masih saja cemburu dengan istri pertamaku, padahal mereka masing-masing memiliki tempat di hatiku.
"Philo, sekarang tidak ada baju yang cocok untukku di rumah. Aku harus membeli yang baru. Apakah kita akan mengeluarkan uang yang banyak untuk membeli yang baru?"
"Tenang saja, Sayang. Aku akan mendapatkan uangnya dari Katie."
--Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan--
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H