Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Suwung

8 November 2022   09:58 Diperbarui: 13 Mei 2023   17:38 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi wanita yang mengalami suwung dalam hidupnya|by pixabay

Apa yang membuat kita menjadi manusia? Apakah kekurangan kita, kesempurnaan kita, atau mungkin sesuatu yang berjalan lebih dalam?

Keping-keping harapan yang pernah memberiku senyum bahagia pada akhirnya hanya rangkaian keinginan yang tidak pernah menyatu utuh. Banyak yang hilang. Meski tali yang terlanur terikat itu tidak kuat, aku belum berkeinginan melepaskannya.  

"Aku pulang larut malam". Isi pesan itu bukan kali pertama disampaikannya kepadaku, maka kubiarkan saja demikian. Selanjutnya aku menghabiskan setengah gelas susu cokelat hangat, lalu tidur.

Pagi hari, tidak ada yang ingin kuperbincangkan dengannya, tidak ada juga yang ingin kubahas tentang dengan siapa dia pergi hingga pulang larut malam. Tidak, aku tidak ingin tahu. Dia asyik menikmati oatmeal, sebutir telur, dan segelas jus apel segar yang kusediakan pagi-pagi. Matanya sibuk membaca berita-berita online.

Sarapannya habis. Dia pamit. Benar! tidak ada pembicaraan apa-apa. Aku pikir, dia akan mengucapkan sesuatu, kendati aku pun tidak yakin dia akan mengingat sesuatu yang sekian lama tidak kami lakukan—dan aku harus memakluminya.

Bertahun-tahun, permakluman itu hanya ada dariku untuknya, tidak darinya untukku. Aku harus memaklumi ritme kerjanya yang sibuk dengan tumpukan pekerjaan yang dia tidak ingin menundanya, kecuali jika tidak memungkinkan untuk menyelesaikannya di kantor, dia—katanya—terpaksa akan membawa pekerjaannya itu ke rumah dan memintaku untuk tidak mengganggunya di ruang kerja.

“Biarkanlah dia sibuk, kau harus terbiasa, May.” Batinku seolah-olah turut menenangkanku saat aku mulai mempertanyakan kesibukannya yang seperti mengabaikan kehadiranku.

Bertahun-tahun aku juga memakluminya bahwasanya jikalau dia ingin melepaskan kepenatan hidupnya, dia lebih memilih berkumpul atau pergi berlibur bersama teman-temannya daripada membicarakan langkah rumah tangga kami ke depan.

Maka aku akan mengisi kekosongan dan kehampaan hidupku sendiri, dengan caraku sendiri: Berbelanja, ke salon, ke kafe, atau menemui teman-temanku dengan senyum, dengan keceriaan yang harus aku tampakkan kepada mereka dan berpura-pura menunjukkan bahwa hidupku baik-baik saja. Begitulah aku.

Hari ini aku berdandan cantik, mengenakan gaun panjang dandelion kesukaanku, dan memoles bedak serta perona merah. Aku mengunjungi Nat, temanku, bermaksud membeli bunga dari toko kembang miliknya. Nat menanyakan alasanku membeli delapan tangkai yellow daylily.

“Kenapa harus kuning?”

“Aku suka kuning.”

“Jika berlebihan, maknanya bisa berubah menjadi kepalsuan.”

“Aku tahu.”

“Ingin kucarikan bunga lain?”

“Tidak, aku suka lily.”

“Apa kau baik-baik saja, May?”

“Ya.”

“Ceritalah.”

“Aku baik-baik saja, Nat.”

“Jangan terlalu naif dalam hidup, May.”

Aku tidak menampik apabila Nat mempunyai pikiran untuk menghujatku dengan kata “naif”. Ya, mungkin aku terlalu naif, sangat naif, bahkan untuk mengenal diriku sendiri.

Aku juga belum bisa mengenal pasangan hidupku. Diamnya yang sejak awal kuanggap sebagai hal biasa, justru tidak memberiku ruang untuk mengetahui lebih dalam tentang sesuatu yang tersembunyi darinya.

Aku dan dia memang tidak lama berpacaran sebelum menikah. Sal, temanku semasa sekolah menengah, mengenalkannya pertama kali sebagai rekan kerja di kantor mereka yang sama ketika kami bertemu di resepsi pernikahan teman satu sekolah lainnya di sebuah gedung di Jakarta. Saat itu, aku sudah lama tidak memiliki kekasih, sementara dia, katanya, berencana mencari pendamping hidup.

Dia seorang pria yang tidak suka berbasa-basi. Selama masa-masa perkenalan singkat dengannya, dia tidak banyak bercerita tentang latar kehidupannya, selain mengenalkan profesinya sebagai akuntan di perusahaan yang cukup memiliki nama, perjaka, berusia lima tahun di atasku, tinggal sendiri, dan mempunyai tabungan untuk masa depan.

“Mengapa kamu memilih aku?”

“Sal bilang kamu perempuan baik,”

“Baik? Itu terlalu klise menurutku.”

“Cantik.”

“Hanya itu?”

“Pintar”

“Iyakah?”

“Sabar.”

“Belum tentu.”

“Setia.”

“Mungkin”

“Jadi, bagaimana?”

“Apanya?”

“Maksudku, apakah kamu bersedia menjadi istriku?”

Aku membutuhkan waktu satu minggu untuk memikirkannya. Karena sebelum-sebelumnya aku selalu menjalin hubungan dengan pria yang cenderung berbelit-belit memutuskan pernikahan, maka dengan dia, aku menyetujuinya saja . 

Sejak tahun kedua aku mulai merasakan ada yang tidak semestinya. Ketika aku membicarakan perihal memiliki keturunan, dia terus menghindar, bahkan makin sibuk bekerja.

Hingga suatu ketika dokter mendiagnosis bahwa dialah yang dalam keadaan kurang subur, bukan aku, seperti yang terus-terusan menjadi bisik-bisik keluarganya di acara arisan. Dia seperti terpojok dan aku sungguh tidak bisa  melihat dia menjadi pesakitan atas permasalahan tubuhnya.

“Jika kamu ingin pergi karena ini, aku izinkan, May.”

Tidak, aku tidak sepicik itu untuk meninggalkannya. Maka, aku berjanji untuk tidak pergi dari hidupnya karena permasalah keturunan tidaklah menjadi yang krusial untuk diriku juga. Hidup kami pun berjalan normal. Aku katakan normal maksudnya adalah bahwa dia tetap dengan kesibukannya, tentu saja.

Kami hampir tidak pernah pergi berlibur. Sesuatu yang membuatku senang, setelah menunggu lama, suatu ketika, dia mengatakan kepadaku bahwa dirinya hendak mengajakku liburan. Entah karena kepekaannya yang tiba-tiba, ajakannya tentu saja membuat aku terheran-heran. Bukankah dia terlalu sibuk untuk memiliki waktu berdua?

Ironisnya, kesenanganku terasa semu ketika dia ternyata membawa setumpuk kertas pekerjaannya juga. Aku kecewa.

“Untuk apa ada liburan jika kamu masih sibuk dengan pekerjaanmu.”

“Aku sedang berusaha membagi waktuku.”

“Apa aku terlalu menuntutmu?”

“Aku bukan laki-laki sempurna, May.”

“Aku tahu, kamu masih belum mau berusaha untuk seorang anak, bahkan membicarakan adopsi pun kamu tidak berkenan, bukan? Jadi, sebenarnya kamu tidak perlu terpaksa melakukan liburan ini juga.”

Aku sabar, tepatnya berusaha sabar, sampai batas sabarku seperti hanya dipermainkannya: Kehidupan kami tidak lebih penting dari segala urusan pekerjaannya. Itu terjadi bertahun-tahun hingga aku ingin menyelesaikannya pada tahun kedelapan ini.

Setelah pulang dari Nat, aku pergi ke toko kue dan menunjuk tart berlapis cokelat kesukaan aku dan dia ke salah satu pelayannya dan meminta untuk mengantarkannya ke rumah saja.  

Aku memasukkan lily kuning setangkai demi setangkai ke dalam vas keramik yang sudah lama tidak terisi. Sejak setahun pertama aku memang tidak pernah mengisi vas bunga lagi dengan bunga apa pun, selain hanya sebagai penghias lemari kaca. Vas bunga itu seperti menanti untuk dikeluarkan dari sana.

Menjelang malam, aku mengatur meja makan, membuatnya lebih tertata indah dan menarik untuk hari yang seharusnya menjadi alasan kami bersama dalam pernikahan. Lily kuning dan tart berlapis cokelat hanyalah simbol dari kepalsuan manisnya rumah tangga kami seperti yang terlihat dari luar sana.

Aku kemudian duduk bercermin dan melihat wanita berambut panjang sedang duduk di depan meja rias di dalamnya. Dia memandangku dengan wajah seperti kehilangan cahaya, sorot matanya pun seperti kehilangan nyawa, bibirnya sudah tidak menggairahkan meskipun wanita itu memolesinya dengan pelembab merah merona, keindahan dan keranuman tubuh yang pernah dimilikinya dulu, berangsur-angsur layu begitu saja. Delapan tahun terlewati, tetapi dia ingin tetap berdandan agar terlihat cantik.

Tangannya kemudian bergerak pelan mengayunkan sisir denman ke rambutnya yang tidak sepenuhnya hitam. Sebagian kecil sudah ada yang memutih meskipun belum saatnya untuk memutih. Beberapa helai rambutnya kemudian terlepas dan tersangkut di sela-sela sisir. Wanita itu terdiam, mengisyaratkan kepasrahan, lalu mengembuskan napas untuk melepaskan rasa sakit yang dia rasakan.

“Sekarang, kau harus melepaskan rasa sakitmu, May.”

Aku tersentak, ponselku berbunyi. Lagi-lagi sebuah pesan yang mengabarkan kepadaku bahwa malam ini dia pulang larut. Kali ini aku cukup menjawabnya, “Happy anniversary, Suamiku. Sekarang sudah tahun kedelapan.” Ponsel kumatikan. Suara dering terus-menerus berbunyi, kali ini panggilan suara dan aku tidak ingin mengangkatnya.

Depresi seperti air yang melubangi batu setetes demi setetes, perlahan-lahan. Saat aku menyadari ada sesuatu yang salah, aku segera menjadi begitu terbiasa, bahkan tidak tahu kapan kehadirannya mulai. 

Setiap hari, setiap minggu, setiap tahun, dan selama ini, aku mencoba untuk tetap datar seperti ini, berjalan anggun di atasnya. Biarlah itu menjadi rahasia walaupun rasa sakit tak tertahankan. Aku masih bangun setiap hari mengenakan pakaian yang disetrika dengan sempurna, mengenakan riasan yang rapi, mengenakan senyum palsu yang telah kulatih bertahun-tahun. Ketika aku siap berjalan keluar pintu untuk menampilkan penampilan terbaikku dalam kobaran api yang paling membingungkan, hidupku terbentang tepat di hadapanku. 

Cap istri terbaik yang setia membuat dia berbahagia. Aku memiliki hari-hari yang baik meskipun percikan kecil cahaya dan kegembiraan pagi-pagi yang indah menyikat rambutku. Beginilah caraku berdamai dengan kekecewaan. Namun, ternyata depresi tidak pernah benar-benar meninggalkanku. Apakah aku akan melihat cahaya lagi, besok?

-Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun