Aku dan dia memang tidak lama berpacaran sebelum menikah. Sal, temanku semasa sekolah menengah, mengenalkannya pertama kali sebagai rekan kerja di kantor mereka yang sama ketika kami bertemu di resepsi pernikahan teman satu sekolah lainnya di sebuah gedung di Jakarta. Saat itu, aku sudah lama tidak memiliki kekasih, sementara dia, katanya, berencana mencari pendamping hidup.
Dia seorang pria yang tidak suka berbasa-basi. Selama masa-masa perkenalan singkat dengannya, dia tidak banyak bercerita tentang latar kehidupannya, selain mengenalkan profesinya sebagai akuntan di perusahaan yang cukup memiliki nama, perjaka, berusia lima tahun di atasku, tinggal sendiri, dan mempunyai tabungan untuk masa depan.
“Mengapa kamu memilih aku?”
“Sal bilang kamu perempuan baik,”
“Baik? Itu terlalu klise menurutku.”
“Cantik.”
“Hanya itu?”
“Pintar”
“Iyakah?”
“Sabar.”
“Belum tentu.”