Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023 dan 2024*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keinginan Sederhana Anggi

18 Maret 2021   16:07 Diperbarui: 19 Maret 2021   19:12 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Bunda, nanti sepulang sekolah, Enji boleh main dulu, nggak?” Anggi, putriku satu-satunya berbicara dengan mulut yang masih mengunyah roti selai cokelat kesukaannya. Pagi hari seperti biasa, aku, Mas Ben, dan buah hati kami tersebut, menikmati sarapan sebelum beraktivitas.

“Boleh. Tapi gak bisa lama-lama, ya. Ingat, Enji harus belajar. Empat hari lagi olimpiade matematika dimulai, lho.”

“Ya, Bunda.”

Begitulah, aku berusaha mengingatkan jadwal harian putri kesayangan itu. Dia memang satu-satunya harapanku dan Mas Ben ke depan. Untuk itu, tidak salah jika aku ingin membentuknya sedari kecil. Sama hal seperti aku yang dulu dibentuk oleh mendiang kakeknya. Perihal prestasi sekolah maupun di luar sekolah menjadi hal yang sangat penting ditanamkan Ayah untukku. Alhasil, kuterapkan semua itu kepada Anggi. Bahkan, sejak dia mengenyam pendidikan di taman kanak-kanak.

“Dengan prestasi, kamu akan dihargai orang, Cindy.” Entah mengapa, pesan Ayah itu terus tergiang-ngiang di telinga sampai sekarang.

Tidak masalah, karena memang pada dasarnya aku pun sendiri suka belajar dan tantangan. Beasiswa untuk siswa terbaik di sekolah, piala lomba, piagam penghargaan, kerap kali menjadi langgananku dalam memperolehnya, baik dari kegiatan akademik maupun non akademik. Meskipun sebenarnya cukup telat, sebab baru di tingkat pertama sekolah menengah, aku mulai berprestasi.

Bekal roti kumasukkan ke dalam tas ransel sekolah berwarna merah muda milik Anggi. Setelah menuntaskan sarapan, kami saling berpamitan dan bergegas menuju mobil. Sesuai kesepakatan bersama, Mas Ben pergi kerja sendiri dengan mobilnya, sedangkan aku dan Anggi berada dalam satu mobil lainnya. Itu karena kantorku dan sekolah Anggi mempunyai arah yang sama.

***

Seminggu berlalu. Seperti harapanku, medali dan piala olimpiade matematika sudah di tangan Anggi. Penghargaan ke sekian kalinya yang dia dapatkan dari berbagai macam lomba yang diikuti. Anggi seolah sudah tidak kesulitan lagi mengalahkan pesaingnya. Itu karena kedisiplinan belajar yang selalu aku terapkan padanya, disamping memanggil guru les khusus untuk membantunya.

Lagi-lagi aku tersenyum bangga. Kupeluk gadis kecilku itu dengan penuh rasa sayang.

“Enji lebih hebat dari Bunda. Dulu, saat kelas lima seperti Enji, Bunda masih belum dapat piala apa-apa, lho,” selorohku yang membuat bibir mungilnya membulat menyerupai huruf o.

Hari-hari yang kami jalani terasa sempurna. Aku bahagia memiliki Mas Ben dan Anggi. Sejauh ini semua berjalan baik-baik saja.

***

Suatu hari, semua yang kuanggap baik-baik saja ternyata ada yang tidak baik. Tentu saja ini tidak menyenangkan. Pasalnya, aku dipanggil pihak sekolah Anggi dan bertemu dengan Bu Dina, wali kelasnya. Menurut Bu Dina, Anggi yang duduk di kelas unggulan tempat anak-anak berprestasi, justru akhir-akhir ini mengalami kemunduran.

“Di rumah tidak ada masalah, Bu?” 

Pertanyaan Bu Dina begitu menohok seakan menuduhku sebagai biang penyebab kemerosotan prestasi Anggi. Aku mengembuskan napas sekali dengan cepat. Lebih tepatnya mendengkus. Jelas aku tidak terima dengan pertanyaan seperti itu.

“Baik-baik saja. Bahkan, saya pastikan Anggi bahagia di rumah,” jawabku mencoba menahan ketus. Bagaimanapun juga aku harus menghormati Bu Dina sebagai guru.

“Mohon maaf, Bu, jika pertanyaan saya ada yang salah. Cuma, akhir-akhir ini Anggi selalu terlihat murung dan melamun di kelas.”

“Apa mungkin metode pembelajarannya menjemukan? Saya sudah bayar mahal, lho, Bu,” jawabku tanpa bisa menahan lagi nada ketus.

Bu Dina terdiam sejenak, lalu garis bibirnya melengkung membentuk senyum tapi terlihat sedikit kecut. Kurasa dia juga tidak nyaman atas perkataan ini padanya. Kami lalu sama-sama diam. Bergelayut pada prasangka masing-masing. Akhirnya kami sepakat untuk mencari tahu penyebab melamunnya Anggi. Setelah berjabat tangan, aku pun segera pamit meninggalkan sekolah swasta yang berjargon terbaik pencetak anak-anak berprestasi itu.

***

Panggilan demi panggilan aku terima. Aku sangat yakin, di rumah Anggi tidak mengalami masalah apa pun. Dia ceria, dan aku menjamin untuk itu, sebab setiap kali sepulang sekolah, setiap kali itu pula aku mengajaknya berdialog. Apa mungkin Anggi menyembunyikan sesuatu?

Malam hari, aku menanyakan keadaannya lagi sebelum tidur.

“Enji kepingin apa? Toh, Bunda selalu menuruti apa yang Enji minta, bukan?” Dengan lembut aku mengusap kepala Anggi. Berharap putri manisku itu mau bicara jujur. Akan tetapi, Anggi hanya menggeleng.

“Enji marah sama Ayah, sama Bunda?” Aku makin penasaran saja dibuatnya.

“Tidak.” Jawab Anggi singkat.

“Ya sudah. Tidur, ya. Besok mau sekolah lagi, 'kan.”

Akhirnya, kubiarkan dia istirahat saja. Aktivitas seharian yang lelah sangat rentan untuk menjadi emosional. Bagaimanapun, sebagai Ibu, aku tidak ingin mencederainya dengan kemarahan.

“Bagaimana kondisi Anggi, Sayang?” Mas Ben bertanya saat aku masuk ke kamar tidur kami.

Kulihat dia masih berkutat dengan laptopnya di atas kasur. Mas Ben seperti tidak kenal lelah dengan pekerjaan yang seakan tiada pernah selesai. Terkadang, waktu diskusi terjadi hanya jika kami berada di rumah saja. Itu pun menjelang tidur. Meski demikian, aku tahu Mas Ben tetap sayang dan perhatian kepadaku dan putri kecilnya. Aku lantas mengambil posisi berbaring di sebelahnya.

“Aku heran, deh, Mas. Pihak sekolah bilang prestasi akademik Anggi menurun. Di rumah, Anggi selalu belajar seperti biasa. Lalu, bagaimana bisa mereka menanyakan masalah di rumah?”

“Apa Anggi tidak pernah cerita ke Bu Dina?”

“Katanya, sih, Anggi hanya diam saja. Itulah yang justru membuat bingung, Mas.”

“Bawa ke psikolog aja, Dik.” Mas Ben tiba-tiba mengusulkan sesuatu yang tidak pernah aku pikirkan tentang itu.

“Separah itukah, Mas?”

“Ya, bukan begitu. Setidaknya kita mencari cara. Toh, selama ini kan belum pernah ada solusinya. Bahkan, penyebabnya saja kita tidak tahu.”

Mas Ben menghentikan pekerjaaannya, mematikan laptop, lalu menaruhnya di meja kecil di sampingnya. Setelah itu, dia mendekat, menggenggam erat dan meremas jemariku. Seperti ingin memberi kekuatan untuk mengatasi masalah Anggi. Di saat hati masih belum tenang, bisa-bisanya Mas Ben beralih ke hal yang membuatku menjadi nyaman seketika.

“Mungkin Anggi butuh adik baru, Sayang.” bisik mesra Mas Ben di telingaku. Geli, aku tertawa kecil. Ya, mungkin sementara waktu kami harus melepaskan dulu persoalan Anggi. Menikmati malam dengan saling menumpahkan segala rasa di atas peraduan malam. Ternyata, kegiatan intim itu menjadi salah satu obat mujarab juga melepaskan penat.

***

Berganti hari, aku izin dari kantor menuju sekolah Anggi. Setelah mendapat izin juga dari Bu Dina dan kepala sekolah, aku membawa Anggi ke seorang psikolog pendidikan anak. Kebetulan ada teman yang merekomendasikan psikolog tersebut, sebab katanya sering menangani kasus serupa seperti yang dialami Anggi. Bu Tia namanya. Wanita langsing yang kutemui itu sangat bersahaja dan penuh keramahan. Kami berjabat tangan, dan mengobrol tentang persoalan Anggi.

“Baiklah, Bu Cindy. Kita mulai hari ini dengan test IQ Anggi terlebih dahulu, ya.”

“Tanpa persiapan apa pun, Bu Tia?” Aku menoleh sejenak ke arah Anggi yang seperti asyik berjalan mengamati ruang kerja Bu Tia. Entah mengapa mendadak ada sedikit keraguan akan kemampuannya. Aku hanya tidak ingin hasilnya mengecewakan saja.

“Ini bukan ujian sekolah, Bu. Jadi, tidak apa apa, kok.” Bu Tia tersenyum lebar. Sepertinya dia membaca kekhawatiranku.

Test IQ dilaksanakan. Sambil menunggu Anggi mengerjakan soal di ruang khusus, aku duduk di sofa yang tersedia di dekatnya, membaca artikel psikologi pendidikan dari layar gadget di tangan. Sekitar satu jam, Anggi sudah selesai mengerjakan soal-soal tersebut. Bu Tia segera mengambil lembaran kertas dari atas meja Anggi. Kemudian, dia menyarankan agar aku dan Anggi datang kembali sore atau besok untuk melihat hasilnya.

***

Aku memilih sore hari, sebab tidak ingin menunggu terlalu lama agar bisa mengetahui penyebab menurunnya nilai akademik Anggi, seperti apa yang telah Bu Dina katakan.

“Silakan, Bu.” Bu Tia menyodorkan kertas yang merupakan hasil penilaian tes IQ Anggi tadi.

Aku mengangguk-anggukkan kepala perlahan. Angka kecerdasan Anggi mencapai 148, yang berarti sangat cerdas. Skore tersebut mencangkup aspek kemampuan pemahaman ruang, abstraksi, bahasa, ilmu pasti, penalaran, ketelitian dan kecepatan. Aku menarik napas lega untuk itu. Namun, selanjutnya perasaanku sedikit terhenyak tatkala melihat skore kemampuan verbalnya.

“Ini tidak buruk, kok, Bu Cindy. Angka 112 itu termasuk rata-rata cerdas,” ujar Bu Tia menjelaskan, “hanya memang agak mencolok pada dua tingkat kecerdasan yang berbeda,” lanjutnya lagi.

Aku masih terdiam. Sesaat pikiran melayang-layang, mencari-cari faktor penyebabnya secara pasti.

“Saya kira perlu dilakukan pendalaman lebih lanjut. Sebaiknya seminggu lagi Anggi dibawa ke sini lagi. Kita adakan tes kepribadian,” saran wanita berkacamata itu dengan santun. Tidak banyak petimbangan yang kuambil selain mengangguk dan mengiyakan saran tersebut.

***

Seminggu berselang, aku lagi-lagi meminta izin kantor dan pihak sekolah untuk mengantar Anggi mengikuti kembali serangkaian tes kepribadian. Anak sepuluh tahun itu hanya menurut saja ketika aku harus bolak-balik mengajaknya pergi. Aku tersenyum dan merangkulnya, memastikan kalau dia akan baik-baik saja.

Ada beberapa interviu dan tes tertulis yang harus dijawab Anggi. Dari hasil tes inilah bisa ditarik benang merah tentang apa yang menjadi salah satu faktor penghambat kemampuan verbal Anggi. Setelah semua selesai, Anggi ternyata memberikan jawaban-jawaban yang sangat sederhana atas pertanyaan yang juga sederhana.

Aku ingin … Bunda membiarkanku bermain sesuka hatiku. Bunda tidak menganggapku seperti dirinya. Bunda berbicara yang penting-penting saja. Ayah punya banyak waktu bersama. Ayah juga harus mengakui kesalahannya. Ayah selalu tersenyum.

Aku menurunkan pelupuk mata dan menarik napas panjang beberapa jenak. Bisa-bisanya hal sederhana ini luput dari perhatianku dan Mas Ben. Selama ini Anggi kuprogram sedemikian rupa bagaikan robot. Aku selalu mengatur waktunya, kapan sekolah, mengaji, menggambar, bermain puzzle, basket, les piano, membaca buku cerita, main game dan sebagainya. Aku bahkan pusing sendiri memikirkan jadwal kegiatannya. Nyatanya, keinginan Anggi sangat sederhana. Ingin bebas bermain sesukanya, menikmati masa kecilnya yang tidak akan bisa terulang lagi. Mungkin aku terlalu menuntut dia berdasarkan pengalaman hidup seorang Cindy. Bekerja keras, disiplin, gigih, dan harus berani tampil terdepan. Tadinya, menurutku sendiri sikap itu sangat bijaksana. Namun, tidak untuk Anggi. Bahkan, untuk bicaraku saja tidak merupakan hal yang penting baginya. Mungkin karena bahan pembicaraan selalu berkutat masalah tugasnya sehari-hari.

Selanjutnya yang terungkap, Anggi merindukan sosok Ayah. Kebersamaannya dengan Ayah seakan bisa dihitung, yaitu saat akhir pekan saja. Itu pun jika tidak ada pekerjaan kantor yang dibawa Mas Ben ke rumah. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua. Ayah juga baginya tidak boleh selalu merasa paling benar dan paling hebat. Ayah juga harus mengaku salah jika berbuat kesalahan dan meminta maaf kepadanya. Ayah harus memberikan senyum setiap hari. Senyum yang akan menambah simpati dan energi bagi diri anak yang sesungguhnya masih teramat polos tersebut.

Atas jawaban dan ungkapan Anggi tersebut, aku jadi malu sendiri. Tertampar rasanya menjadi seorang ibu yang jauh dari kata ideal. Senyum lugu dan tingkah yang sering kali mengundang emosi, ternyata mengandung banyak pesan yang tak terucap. Anggi pun menahan amarahnya sendiri dalam diamnya.

***

Barisan piala dan piagam tersusun rapi di lemari khusus yang memang sengaja aku sediakan. Kemarin-kemarin, aku memandang semuanya dengan bangga. Namun, mengapa kali ini semua wujud prestasi tersebut seolah sudah tidak begitu penting lagi. Melihatnya saja sudah sesak di dada. Sampai-sampai butiran hangat dari kedua sudut mata mendesak untuk keluar. Akhirnya, tak kuasa juga menahan desakan bulir tersebut yang selanjutnya berubah menjadi aliran kecil dengan suara isakan tertahan di setiap tarikan napas.

Aku dan Mas Ben mencium kening Anggi yang terlelap dalam tidur malamnya. Dia seperti sangat kelelahan karena seharian tidak sempat merasakan istirahat yang cukup.

Aku dan Mas Ben saling menatap. Suamiku itu mendekat dan memberikan pelukan hangatnya untukku, sementara aku terpekur di dada bidangnya dengan perasaan berdosa. Bersyukur hal ini tidak terlalu jauh sehingga kami masih bisa melakukan introspeksi kembali. Satu kalimat yang harus aku dan Mas Ben ucapkan untuk Anggi adalah ‘maafkan kami, Nak’.

-Salam Wong Bumi Serasan -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun