Aku menurunkan pelupuk mata dan menarik napas panjang beberapa jenak. Bisa-bisanya hal sederhana ini luput dari perhatianku dan Mas Ben. Selama ini Anggi kuprogram sedemikian rupa bagaikan robot. Aku selalu mengatur waktunya, kapan sekolah, mengaji, menggambar, bermain puzzle, basket, les piano, membaca buku cerita, main game dan sebagainya. Aku bahkan pusing sendiri memikirkan jadwal kegiatannya. Nyatanya, keinginan Anggi sangat sederhana. Ingin bebas bermain sesukanya, menikmati masa kecilnya yang tidak akan bisa terulang lagi. Mungkin aku terlalu menuntut dia berdasarkan pengalaman hidup seorang Cindy. Bekerja keras, disiplin, gigih, dan harus berani tampil terdepan. Tadinya, menurutku sendiri sikap itu sangat bijaksana. Namun, tidak untuk Anggi. Bahkan, untuk bicaraku saja tidak merupakan hal yang penting baginya. Mungkin karena bahan pembicaraan selalu berkutat masalah tugasnya sehari-hari.
Selanjutnya yang terungkap, Anggi merindukan sosok Ayah. Kebersamaannya dengan Ayah seakan bisa dihitung, yaitu saat akhir pekan saja. Itu pun jika tidak ada pekerjaan kantor yang dibawa Mas Ben ke rumah. Sederhana memang, tetapi hal-hal seperti itu justru sulit dilakukan oleh kebanyakan orang tua. Ayah juga baginya tidak boleh selalu merasa paling benar dan paling hebat. Ayah juga harus mengaku salah jika berbuat kesalahan dan meminta maaf kepadanya. Ayah harus memberikan senyum setiap hari. Senyum yang akan menambah simpati dan energi bagi diri anak yang sesungguhnya masih teramat polos tersebut.
Atas jawaban dan ungkapan Anggi tersebut, aku jadi malu sendiri. Tertampar rasanya menjadi seorang ibu yang jauh dari kata ideal. Senyum lugu dan tingkah yang sering kali mengundang emosi, ternyata mengandung banyak pesan yang tak terucap. Anggi pun menahan amarahnya sendiri dalam diamnya.
***
Barisan piala dan piagam tersusun rapi di lemari khusus yang memang sengaja aku sediakan. Kemarin-kemarin, aku memandang semuanya dengan bangga. Namun, mengapa kali ini semua wujud prestasi tersebut seolah sudah tidak begitu penting lagi. Melihatnya saja sudah sesak di dada. Sampai-sampai butiran hangat dari kedua sudut mata mendesak untuk keluar. Akhirnya, tak kuasa juga menahan desakan bulir tersebut yang selanjutnya berubah menjadi aliran kecil dengan suara isakan tertahan di setiap tarikan napas.
Aku dan Mas Ben mencium kening Anggi yang terlelap dalam tidur malamnya. Dia seperti sangat kelelahan karena seharian tidak sempat merasakan istirahat yang cukup.
Aku dan Mas Ben saling menatap. Suamiku itu mendekat dan memberikan pelukan hangatnya untukku, sementara aku terpekur di dada bidangnya dengan perasaan berdosa. Bersyukur hal ini tidak terlalu jauh sehingga kami masih bisa melakukan introspeksi kembali. Satu kalimat yang harus aku dan Mas Ben ucapkan untuk Anggi adalah ‘maafkan kami, Nak’.
-Salam Wong Bumi Serasan -
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H