Hari-hari yang kami jalani terasa sempurna. Aku bahagia memiliki Mas Ben dan Anggi. Sejauh ini semua berjalan baik-baik saja.
***
Suatu hari, semua yang kuanggap baik-baik saja ternyata ada yang tidak baik. Tentu saja ini tidak menyenangkan. Pasalnya, aku dipanggil pihak sekolah Anggi dan bertemu dengan Bu Dina, wali kelasnya. Menurut Bu Dina, Anggi yang duduk di kelas unggulan tempat anak-anak berprestasi, justru akhir-akhir ini mengalami kemunduran.
“Di rumah tidak ada masalah, Bu?”
Pertanyaan Bu Dina begitu menohok seakan menuduhku sebagai biang penyebab kemerosotan prestasi Anggi. Aku mengembuskan napas sekali dengan cepat. Lebih tepatnya mendengkus. Jelas aku tidak terima dengan pertanyaan seperti itu.
“Baik-baik saja. Bahkan, saya pastikan Anggi bahagia di rumah,” jawabku mencoba menahan ketus. Bagaimanapun juga aku harus menghormati Bu Dina sebagai guru.
“Mohon maaf, Bu, jika pertanyaan saya ada yang salah. Cuma, akhir-akhir ini Anggi selalu terlihat murung dan melamun di kelas.”
“Apa mungkin metode pembelajarannya menjemukan? Saya sudah bayar mahal, lho, Bu,” jawabku tanpa bisa menahan lagi nada ketus.
Bu Dina terdiam sejenak, lalu garis bibirnya melengkung membentuk senyum tapi terlihat sedikit kecut. Kurasa dia juga tidak nyaman atas perkataan ini padanya. Kami lalu sama-sama diam. Bergelayut pada prasangka masing-masing. Akhirnya kami sepakat untuk mencari tahu penyebab melamunnya Anggi. Setelah berjabat tangan, aku pun segera pamit meninggalkan sekolah swasta yang berjargon terbaik pencetak anak-anak berprestasi itu.
***
Panggilan demi panggilan aku terima. Aku sangat yakin, di rumah Anggi tidak mengalami masalah apa pun. Dia ceria, dan aku menjamin untuk itu, sebab setiap kali sepulang sekolah, setiap kali itu pula aku mengajaknya berdialog. Apa mungkin Anggi menyembunyikan sesuatu?