Malam hari, aku menanyakan keadaannya lagi sebelum tidur.
“Enji kepingin apa? Toh, Bunda selalu menuruti apa yang Enji minta, bukan?” Dengan lembut aku mengusap kepala Anggi. Berharap putri manisku itu mau bicara jujur. Akan tetapi, Anggi hanya menggeleng.
“Enji marah sama Ayah, sama Bunda?” Aku makin penasaran saja dibuatnya.
“Tidak.” Jawab Anggi singkat.
“Ya sudah. Tidur, ya. Besok mau sekolah lagi, 'kan.”
Akhirnya, kubiarkan dia istirahat saja. Aktivitas seharian yang lelah sangat rentan untuk menjadi emosional. Bagaimanapun, sebagai Ibu, aku tidak ingin mencederainya dengan kemarahan.
“Bagaimana kondisi Anggi, Sayang?” Mas Ben bertanya saat aku masuk ke kamar tidur kami.
Kulihat dia masih berkutat dengan laptopnya di atas kasur. Mas Ben seperti tidak kenal lelah dengan pekerjaan yang seakan tiada pernah selesai. Terkadang, waktu diskusi terjadi hanya jika kami berada di rumah saja. Itu pun menjelang tidur. Meski demikian, aku tahu Mas Ben tetap sayang dan perhatian kepadaku dan putri kecilnya. Aku lantas mengambil posisi berbaring di sebelahnya.
“Aku heran, deh, Mas. Pihak sekolah bilang prestasi akademik Anggi menurun. Di rumah, Anggi selalu belajar seperti biasa. Lalu, bagaimana bisa mereka menanyakan masalah di rumah?”
“Apa Anggi tidak pernah cerita ke Bu Dina?”
“Katanya, sih, Anggi hanya diam saja. Itulah yang justru membuat bingung, Mas.”