"Baiklah, Codie. Kurasa kau sudah mengerti apa yang telah kuceritakan. Ceritaku sudah selesai. Kau tak harus mendengarkanku lagi. Aku tahu kau pasti lelah, bukan?" ujarnya dengan kalimat retorik.
Codie masih tetap duduk di kursi ruangan kamar. Sophi berdiri mendekat. Ditatapnya mata dan wajah Codie dengan seksama. Datar, tidak ada ekspresi sama sekali. Diperhatikannya penampilan Codie lama-lama. Perasaan bersalah terhadap temannya itu timbul dalam hati. Kulit Codie sangat kusam. Melihat tampilan Codie, Sophi lantaas bergumam lirih, “Sepertinya kau butuh pakaian baru." Kemudian, dia memeluk Codie dengan erat selayaknya dua sahabat yang tak ingin berpisah. "Terima kasih sudah menemani aku, Codie."
Selanjutnya, perempuan manis itu mengambil sebuah kotak dari dalam lemari, membukanya dan memasukan Codie. Dia berpikir, temannya itu akan aman berada di sana. Suara deritan pintu lemari yang ditutup, bertepatan dengan suara ketukan dari balik pintu kamar. Daun pintu terbuka perlahan. Perempuan berbaju serba putih masuk, seperti biasa jadwal pemberian tiga jenis pil sekaligus kepada Sophi. Sophi menenggaknya satu per satu; Stelazin, Halloperiodol, dan Spized. Tenang .... beberapa saat, kantuk mulai menyerangnya. Dia merebahkan diri di atas pembaringan dalam kamar asrama itu, lebih tepatnya di kamar asrama yayasan rehabilitasi kejiwaan.
***
Eleftheria, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H