Sophi kerap menerima ancaman Adit, meski dia sebenarnya tidak takut. Dia melihat Adit sekadar bocah gendut yang manja. Hanya, jika tidak menuruti kemauan Adit, dirinya akan memperoleh serangan senjata berupa kemarahan dan pukulan ibunya. Ini yang membuatnya mau tidak mau menuruti kemauan Adit.
Di sekolah, tak ayal Sophi juga mendapat perundungan teman-teman karena Adit. "Sophi itu anak pembantu yang diasuh ibuku." Luar biasa dia difitnah oleh anak laki-laki itu.
Sophi hanya bisa diam. Dia tidak ingin menggerakkan lidahnya untuk menyangkal. Dia tak peduli, meski bertanya-tanya. Apa betul ibunya itu seorang pembantu? Andaikan benar, perihal itu bukan persoalan besar baginya. Dia berpikir, asal masih tinggal di rumah, masih diberi makan, masih disekolahkan, sudah cukup untuknya.
****
Menjelang kelulusan sekolah menengah pertama, Sophi mengalami tragedi. Beberapa kali gadis yang menginjak remaja itu memergoki Adit mengintipnya saat dia hendak berganti pakaian. Pintu kamarnya memang tidak bisa ditutup rapat. Dia kerap melihat sekelebat bayangan melintas di depan pintu ketika terbangun dari tidur. Akibatnya, keringat dingin selalu muncul membasahi tubuh bila malam tiba. Sampai suatu malam, tubuh ringkihnya ditindih Adit yang sengaja menyusup ke kamarnya. Sophi tidak beraani teriak. Itu akan menyulitkannya saja. Sophi tidak habis pikir, dari mana saudara tirinya itu belajar melakukan perbuatan tidak pantas tersebut. Berhari-hari Sophi harus merasakan perih di bagian bawah perut. Wajahnya makin pucat. Namun, Ia tidak berani menceritakan semua itu kepada ayahnya, terlebih-lebih kepada ibunya. Dia bahkan dianggap mengalami sakit biasa saja, sementara Adit terus melenggang seolah tidak memiliki dosa—anak lelaki itu memang kurang ajar.
"Jangan kelamaan sakit, Sophi. Pekerjaan di rumah sudah menumpuk," ujar ibu tirinya tidak berperasaan.
Terpaksalah Sophi melakukan pekerjaan sambil menahan sakit, meski ibunya masih berbaik hati memberikan minuman jamu untuknya. Tidak ada maksud lain sebenarnya, kecuali Sophi harus sembuh agar bisa kembali melakukan tugas-tugas yang menumpuk di rumah.
***
Penderitaan Sophi seakan tidak pernah usai. Kadang ia merindukan belaian, perhatian, dan pelukan ibu kandungnya sendiri. Sayangnya, dirinya belum puas bersama Ibu—dan Ibu terlalu cepat meninggalkannya.
Dulu, dia bertanya kepada Ibu,” Apakah Ayah menyayangiku?"
"Tentu saja, Sophi. Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya." Kemudian, dia bertanya lagi. "Apakah Ayah juga menyayangi Ibu?" Tidak ada jawaban. Dia hanya melihat ibunya tersenyum getir.