Ayahnya dulu memang sangat pemarah, sekarang pun masih. Namun, Sophi merasa ayahnya tidak adil. Dia sendiri tidak pernah mendapat perlakuan manis sang Ayah, padahal dia selalu melihat ayahnya merangkul mesra Sundari, berkata pelan kepada Adit, serta mendekap sayang Damiya. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ayahnya itu memeluk badan kurusnya—rasa-rasanya tidak pernah.
Sophi telah kehilangan banyak hal setelah bertahun-tahun hidup bersama keluarga yang tidak meyayanginya. Namun, dirinya memilih bertahan. Sampai pada titik, usai kelulusan sekolah, dia melihat semuanya berbeda. Tiba-tiba muncul sebuah pemikiran aneh di kepala yang menilai bahwa perlakuan keluarganya itu bukanlah tindak kejahatan. Pemikiran itu berlanjut terus dan terus hingga usianya menyentuh angka dua puluh dua tahun.
Kejadian luar biasa terjadi. Sophi terdiam mendengar sebuah pengakuan dari mulut ayahnya yang sebenarnya tidak terlalu mengejutkan lagi.
"Ayah tak sengaja memukul ibumu, Sophi. Saat itu ayah marah, karena ibumu tidak mau menerima Sundari. Ayah yang salah, Sophi." Ayahnya menangis terisak-isak. "Maafkan Ayah, Sophi. Selama ini Ayah lalai terhadapmu."
Sophi sudah tidak memperdulikan kata-kata ayahnya. Dirinya terlanjur bahagia sebab akhirnya dia merasakan pelukan ayah yang dia tunggu selama bertahun-tahun. Selain itu, ada yang lebih menarik perhatiannya di satu ruangan itu. Dia melihat Sundari, Adit, serta Damiya, duduk dengan kepala menunduk seperti pesakitan yang sedang menunggu hukuman. Namun, sekonyong-konyong matanya membelalak. Apa yang di saksikan membuatnya tertegun tak percaya: ketiganya seketika berdiri dan berjingkrak-jingkrak dengan riang.
"Astaga! Kalian ...."
***
Di dalam kamar, Sophi menghabiskan waktu bersama teman barunya, Codie. Ia bercerita tentang apa saja yang ada di kepalanya. Codie tak pernah berkomentar atau memberi sanggahan. Pun tak pernah tergelitik mengajukan pertanyaan. Itulah yang Sophi suka dari Codie, sebab kebutuhannya memang untuk didengarkan saja.
"Aku mengetahui kondisi mereka yang sebenarnya dan aku memaklumi itu semua," ujarnya suatu malam kepada Codie. Sophi terus berceloteh dengan mata berbinar kepada Codie tentang kehidupan silamnya. Tidak terlihat kesedihan pada roman wajahnya. Lalu, Sophi menghentikan celotehnya. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya dengan berat. “Seumpama Ayah tidak menangis memelukku, mungkin aku masih tinggal bersama mereka.”
Kemudian Sophi beringsut turun dari tempat tidur mendekati Codie yang masih bergeming di kursi dekat jendela kamar. Mendengar merupakan satu-satunya aktivitas yang hanya bisa dilakukan Codie.
"Kusampaikan sebuah rahasia kepadamu, Codie." Sejenak mata Sophi mengawasi pintu, takut-takut kalau ada yang mencuri dengar. Lalu dilanjutkannya lagi sambil berbisik ke telinga Codie. "Ibu tiriku, Adit, dan Damiya. Mereka semua itu, g-i-l-a." Kata terakhir diucapkannya dengan lugas.