Sophi masih berusia tujuh tahun saat menyaksikan Ayah dan ibunya bertengkar hebat pada suatu malam. Dia hanya bisa mengeluarkan teriakan histeris tatkala menyaksikan ibunya jatuh terkulai dengan lebam biru di pelipis kanan.
"Ibuuu ….” Tangisan Sophi bak lolongan malam, menghantarkan Ibunya menuju gerbang kehidupan terakhir. Sementara itu, sang Ayah hanya duduk tertunduk mendekap sang Istri seraya mengucapkan kalimat penuh penyesalan. “Rustanti … maafkan aku.”
Tiga bulan berselang, Sophi masih belum bisa menghilangkan kesedihan di wajahnya. Anak semuda itu benar-benar harus berjuang hidup melepaskan ketergantungannya kepada Ibu. Sampai suatu hari, kehidupan barunya seolah dimulai. Perempuan kecil bermata sayu itu berdiri terpaku melihat ayahnya datang bersama seorang wanita bernama Sundari serta anak laki-laki gendut seusianya.
"Dia pengganti ibumu, Sophi. Mulai sekarang kau memiliki Ibu lagi," ujar ayahnya.
Sophi seperti kesulitan mencerna kata-kata ayahnya sebab usianya masih terlalu kecil memahami kehidupan orang dewasa. Pengganti Ibu? Cepat sekali ibunya berganti. Batinnya berkata penuh heran. Entah bahagia, entah tidak, dia menerima saja.
Sophi memilin-milin rambut panjangnya. Kemudian, dia berlari mencium tangan perempuan yang mesti dipanggilnya “Ibu” lagi. Dalam pikiran singkat, dia akan diurus Sundari—dan hal itu membuatnya bahagia. Nyatanya, dirinya salah. Sundari tetaplah ibu tiri bak tokoh yang sama di cerita “Bawang Merah Bawang Putih”. Perlakuan wanita itu sangat kasar. Sophi acap mendapat hardikan, makian, bahkan pukulan untuk satu kesalahan kecil saja—misalnya dia tidak sengaja menumpahkan air minum. Bisa dibayangkan, kehidupan Sophi menjadi lebih buruk setelah kehadiran ibu baru.
***
Dua tahun berjalan, Damiya lahir. Kehadiran adik barunya itu membuat Sophi hampir kehilangan waktu untuk dirinya sendiri. Tanggung jawab untuknya makin bertambah. Selain mengurus rumah, dia juga harus mengasuh Adik. Tubuh Sophi makin tidak terawat; badan kurus, rambut jarang menyentuh sisir, dan wajah tampak pucat. Namun, keadaan itu tidak membuat dirinya mendapat iba dari Sundari. Anak perempuan itu masih saja menerima cubitan dari ibu tirinya itu jika lamban melakukan semua pekerjaan rumah. Dia tak boleh menangis, mengeluh atau mengadu kepada ayah. Rasanya percuma juga sebab pengaduannya pun tidak pernah mendapat pembelaan ayahnya.
"Kau tidak boleh manja, Sophi!" Begitu ucapan dari ayahnya saat ia mencoba mengeluh. Sophi memilih diam sebab berbicara pun tidak membuatnya lebih baik.
Tidak ada satu penghuni di rumah yang membuat Sophi nyaman, termasuk Adit—saudara tirinya. Awalnya, dia berharap anak itu bisa menemaninya. Faktanya yang dia lihat, sifat Adit setali tiga uang dengan Sundari. Dia bahkan tidak pernah mendapat perlakuan lembut dari lelaki kecil itu satu kali pun.
" Sophi, ambilkan minum! Bereskan mainanku! Kerjakan PR-ku! Kalau tidak ...."
Sophi kerap menerima ancaman Adit, meski dia sebenarnya tidak takut. Dia melihat Adit sekadar bocah gendut yang manja. Hanya, jika tidak menuruti kemauan Adit, dirinya akan memperoleh serangan senjata berupa kemarahan dan pukulan ibunya. Ini yang membuatnya mau tidak mau menuruti kemauan Adit.
Di sekolah, tak ayal Sophi juga mendapat perundungan teman-teman karena Adit. "Sophi itu anak pembantu yang diasuh ibuku." Luar biasa dia difitnah oleh anak laki-laki itu.
Sophi hanya bisa diam. Dia tidak ingin menggerakkan lidahnya untuk menyangkal. Dia tak peduli, meski bertanya-tanya. Apa betul ibunya itu seorang pembantu? Andaikan benar, perihal itu bukan persoalan besar baginya. Dia berpikir, asal masih tinggal di rumah, masih diberi makan, masih disekolahkan, sudah cukup untuknya.
****
Menjelang kelulusan sekolah menengah pertama, Sophi mengalami tragedi. Beberapa kali gadis yang menginjak remaja itu memergoki Adit mengintipnya saat dia hendak berganti pakaian. Pintu kamarnya memang tidak bisa ditutup rapat. Dia kerap melihat sekelebat bayangan melintas di depan pintu ketika terbangun dari tidur. Akibatnya, keringat dingin selalu muncul membasahi tubuh bila malam tiba. Sampai suatu malam, tubuh ringkihnya ditindih Adit yang sengaja menyusup ke kamarnya. Sophi tidak beraani teriak. Itu akan menyulitkannya saja. Sophi tidak habis pikir, dari mana saudara tirinya itu belajar melakukan perbuatan tidak pantas tersebut. Berhari-hari Sophi harus merasakan perih di bagian bawah perut. Wajahnya makin pucat. Namun, Ia tidak berani menceritakan semua itu kepada ayahnya, terlebih-lebih kepada ibunya. Dia bahkan dianggap mengalami sakit biasa saja, sementara Adit terus melenggang seolah tidak memiliki dosa—anak lelaki itu memang kurang ajar.
"Jangan kelamaan sakit, Sophi. Pekerjaan di rumah sudah menumpuk," ujar ibu tirinya tidak berperasaan.
Terpaksalah Sophi melakukan pekerjaan sambil menahan sakit, meski ibunya masih berbaik hati memberikan minuman jamu untuknya. Tidak ada maksud lain sebenarnya, kecuali Sophi harus sembuh agar bisa kembali melakukan tugas-tugas yang menumpuk di rumah.
***
Penderitaan Sophi seakan tidak pernah usai. Kadang ia merindukan belaian, perhatian, dan pelukan ibu kandungnya sendiri. Sayangnya, dirinya belum puas bersama Ibu—dan Ibu terlalu cepat meninggalkannya.
Dulu, dia bertanya kepada Ibu,” Apakah Ayah menyayangiku?"
"Tentu saja, Sophi. Tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya." Kemudian, dia bertanya lagi. "Apakah Ayah juga menyayangi Ibu?" Tidak ada jawaban. Dia hanya melihat ibunya tersenyum getir.
Ayahnya dulu memang sangat pemarah, sekarang pun masih. Namun, Sophi merasa ayahnya tidak adil. Dia sendiri tidak pernah mendapat perlakuan manis sang Ayah, padahal dia selalu melihat ayahnya merangkul mesra Sundari, berkata pelan kepada Adit, serta mendekap sayang Damiya. Dia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ayahnya itu memeluk badan kurusnya—rasa-rasanya tidak pernah.
Sophi telah kehilangan banyak hal setelah bertahun-tahun hidup bersama keluarga yang tidak meyayanginya. Namun, dirinya memilih bertahan. Sampai pada titik, usai kelulusan sekolah, dia melihat semuanya berbeda. Tiba-tiba muncul sebuah pemikiran aneh di kepala yang menilai bahwa perlakuan keluarganya itu bukanlah tindak kejahatan. Pemikiran itu berlanjut terus dan terus hingga usianya menyentuh angka dua puluh dua tahun.
Kejadian luar biasa terjadi. Sophi terdiam mendengar sebuah pengakuan dari mulut ayahnya yang sebenarnya tidak terlalu mengejutkan lagi.
"Ayah tak sengaja memukul ibumu, Sophi. Saat itu ayah marah, karena ibumu tidak mau menerima Sundari. Ayah yang salah, Sophi." Ayahnya menangis terisak-isak. "Maafkan Ayah, Sophi. Selama ini Ayah lalai terhadapmu."
Sophi sudah tidak memperdulikan kata-kata ayahnya. Dirinya terlanjur bahagia sebab akhirnya dia merasakan pelukan ayah yang dia tunggu selama bertahun-tahun. Selain itu, ada yang lebih menarik perhatiannya di satu ruangan itu. Dia melihat Sundari, Adit, serta Damiya, duduk dengan kepala menunduk seperti pesakitan yang sedang menunggu hukuman. Namun, sekonyong-konyong matanya membelalak. Apa yang di saksikan membuatnya tertegun tak percaya: ketiganya seketika berdiri dan berjingkrak-jingkrak dengan riang.
"Astaga! Kalian ...."
***
Di dalam kamar, Sophi menghabiskan waktu bersama teman barunya, Codie. Ia bercerita tentang apa saja yang ada di kepalanya. Codie tak pernah berkomentar atau memberi sanggahan. Pun tak pernah tergelitik mengajukan pertanyaan. Itulah yang Sophi suka dari Codie, sebab kebutuhannya memang untuk didengarkan saja.
"Aku mengetahui kondisi mereka yang sebenarnya dan aku memaklumi itu semua," ujarnya suatu malam kepada Codie. Sophi terus berceloteh dengan mata berbinar kepada Codie tentang kehidupan silamnya. Tidak terlihat kesedihan pada roman wajahnya. Lalu, Sophi menghentikan celotehnya. Dia menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya dengan berat. “Seumpama Ayah tidak menangis memelukku, mungkin aku masih tinggal bersama mereka.”
Kemudian Sophi beringsut turun dari tempat tidur mendekati Codie yang masih bergeming di kursi dekat jendela kamar. Mendengar merupakan satu-satunya aktivitas yang hanya bisa dilakukan Codie.
"Kusampaikan sebuah rahasia kepadamu, Codie." Sejenak mata Sophi mengawasi pintu, takut-takut kalau ada yang mencuri dengar. Lalu dilanjutkannya lagi sambil berbisik ke telinga Codie. "Ibu tiriku, Adit, dan Damiya. Mereka semua itu, g-i-l-a." Kata terakhir diucapkannya dengan lugas.
"Baiklah, Codie. Kurasa kau sudah mengerti apa yang telah kuceritakan. Ceritaku sudah selesai. Kau tak harus mendengarkanku lagi. Aku tahu kau pasti lelah, bukan?" ujarnya dengan kalimat retorik.
Codie masih tetap duduk di kursi ruangan kamar. Sophi berdiri mendekat. Ditatapnya mata dan wajah Codie dengan seksama. Datar, tidak ada ekspresi sama sekali. Diperhatikannya penampilan Codie lama-lama. Perasaan bersalah terhadap temannya itu timbul dalam hati. Kulit Codie sangat kusam. Melihat tampilan Codie, Sophi lantaas bergumam lirih, “Sepertinya kau butuh pakaian baru." Kemudian, dia memeluk Codie dengan erat selayaknya dua sahabat yang tak ingin berpisah. "Terima kasih sudah menemani aku, Codie."
Selanjutnya, perempuan manis itu mengambil sebuah kotak dari dalam lemari, membukanya dan memasukan Codie. Dia berpikir, temannya itu akan aman berada di sana. Suara deritan pintu lemari yang ditutup, bertepatan dengan suara ketukan dari balik pintu kamar. Daun pintu terbuka perlahan. Perempuan berbaju serba putih masuk, seperti biasa jadwal pemberian tiga jenis pil sekaligus kepada Sophi. Sophi menenggaknya satu per satu; Stelazin, Halloperiodol, dan Spized. Tenang .... beberapa saat, kantuk mulai menyerangnya. Dia merebahkan diri di atas pembaringan dalam kamar asrama itu, lebih tepatnya di kamar asrama yayasan rehabilitasi kejiwaan.
***
Eleftheria, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H