Mohon tunggu...
sholihu mashum
sholihu mashum Mohon Tunggu... Penulis - Seorang Mahasiswa di UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Seorang Mahasiswa Sastra Arab di UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Semantik sebagai Pelengkap Ilmu Nahwu

4 Juli 2022   17:15 Diperbarui: 4 Juli 2022   17:23 1068
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Dalam tulisan ini penulis menyantumkan beberapa pembahasana yang berkaitan dengan ilmu ad-dilalah atau ilmu makan atau juga bisa disebut semantic. Dimulai dari definisi tentang Ad-dilalah, kemudian keterkaitan Ad-dilalah dengan Makna, lalu kemunculan penelitian semantic di kalangan orang Arab dan adapun tingkatan-tingkatan khusus dalam Ad-dilalah.

Dimulai dengan definisi Ad-dilalah. Dalam hidup ini terdapat suatu makna tanda yang direpresentasikan dalam benak manusia, seperti misalnya awan mendung yang merupakan sebuah tanda, dari simbol datangnya hujan begitu juga dahi yang berkerut merupakan tanda dari simbol bingung dan marah. simbol-simbol ini dilambangkan dengan kata-kata dan gagasan verbal yang terkait dengan gagasan norma, dengan cara mempersepsikan pikiran dengan hal lainnya, itulah yang disebut dengan semantik.

Menurut bahasa semantik memiliki arti tanda dan makna, dalam bahasa Arab padanan kata Semantik yaitu ) menujukkan) dengan fathah dal, yang merupakan bentuk masdar dari kata - - dan isim failnya adalah Dalil ini menunjukan bahwa memiliki arti petunjuk Allah berfirman dalam Q.s as-saff ayat 10 :

"Wahai orang-orang yang beriman! Maukah kamu Aku tunjukkan suatu perdagangan yang dapat menyelamatkan kamu dari azab yang pedih?"

Allah berfirman dalam Q.s al-Qasas ayat 12 :

"Dan Kami cegah dia (Musa) menyusui kepada perempuan-perempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu; maka berkatalah dia (saudaranya Musa), "Maukah aku tunjukkan kepadamu, keluarga yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik padanya?"

Semua ayat ini memiliki makna dasar yang sama yaitu bahwa memiliki makna "petunjuk".

Adapun arti "semantik" secara istilah menurut para ilmuwan terdahulu, yaitu (sesuatu yang bisa di simpulkan) atau mengambil kesimpulan, karena kesimpulan itu berarti mencari/membahas sesuatu dari sisi lain. Jadi definisi semantik adalah suatu hal/konsep yang membutuhkan pengetahuan untuk mengetahui tentang hal lain. Konsep pertama di sebut sebagai penanda, dan konsep yang kedua di sebut sebagai petanda.

Istilah (tanda) menyebar luas dalam pembuatan bentuk bahasa Arab yang berhubungan dengan bidang yang biasa disebut dengan istilah "ilmu semantik" dalam bentuk baru. Ibnu Khaldun menyebutkan dalam pengantar ilmu Ushul Fiqih yang dibutuhkan peneliti, ia berkata: "penting untuk meninjau kembali makna dalam semantik, hal ini karena penggunaan makna yang benar dari struktur kalam yang benar yang tergantung pada pengetahuan tentang posisi/letak semantik pada kata tunggal dan majemuk. Kemudian ada penggunaan-penggunaan khusus lainnya dari struktur kalam (ujaran). Semuanya merupakan prinsip dasar dari teknik semantik ini. Karena itu semantik merupakan salah satu pembahasan/kajian dari linguistik.

Dilalah dan Makna

            Perbedaan yang tepat antara semantik dan makna sulit ditentukan, karena sebagian besar riset mereka saling terkait di antara para ilmuwan zaman dahulu dan modern, dan tumpang tindih ini kadang-kadang memungkinkan kedua istilah tersebut diterapkan satu sama lain. Makna disebut studi makna, atau dalam studi bahasa arab semantik berhubungan dengan studi tentang makna, dan adalah jalan menuju pengetahuan dan kombinasi artinya (makna adalah gambaran mental dalam arti kata-kata, dan gambaran dalam pikiran, dalam arti bahwa itu dimaksudkan untuk disebut makna.)

            Dalam hal ini, buku ini membangkitkan makna mental, yaitu gambar-gambar objek di mata, segala sesuatu yang ada di luar pikiran, sehingga jika ia memahami, ia mendapatkan suatu gambaran dalam pikiran yang sesuai dengan apa yang ia pahami, dan jika ia mengekspresikan gambaran dari pemahaman itu, ia membangun ekspresi dari gambaran itu dalam pemahaman.

            Penanda/simbol adalah kata yang teratur, dan gambar yang dihasilkan mewakili ide, dan hal eksternal adalah kelinci itu sendiri, karena kata-kata itu terdiri dari unit-unit fonetik, bergabung bersama, dan memunculkan makna yang mengungkapkan sesuatu yang nyata, dan citra adalah hubungan antara ujaran dan makna sebenarnya, yang dikenal dengan teori segitiga (2) makna. Sistem segitiga makna, sebagaimana dikatakan Nawal Muhammad Attia: tidak jauh dari sistem semantik, karena mereka bertanggung jawab atas interaksi manusia dengan lingkungan eksternalnya. Setiap pengertian digali dari realitas untuk diasosiasikan dengan ujaran, dan ini merupakan makna atau konotasi. Ahli bahasa hampir sepakat untuk meluncurkan topik semantik pada topik makna, karena mereka setuju terkait dalam penelitian linguistik, dan ini ditegaskan oleh penulis Kashaf Terminology of Arts dalam pengantarnya, yaitu : Mungkin semantik atau bidang makna adalah salah satu ilmu yang paling akurat dalam studi linguistik, dan Ahmed Mukhtar Omar juga mengatakan : Ini adalah "cabang linguistik yang berhubungan dengan teori makna, dan diketahui bahwa istilah Semantik, yang mengkristal dalam gambarnya di Breal Perancis pada akhir abad kesembilan belas 1883, berasal dari salah satu derivasi dari kata kerja Yunani (Semaino) yang menunjukkan bahwa kata semantik dihasilkan dari kata (Sema) atau tanda, yang dikaitkan dengan kata aslinya (Sens ) atau makna, dan ini sama dengan sumber dari kata kerja Arab yang menunjukkan konotasi, atau makna, dan selama penyelidikan mereka tumpang tindih, peneliti menyebut masing-masing dari dua istilah konotasi atau makna yang diperlukan.

Meluasnya Kajian Semantik hingga muncul di kalangan orang Arab.

            Kalimat permulaan pada semantik adalah bagian-bagian dalam semantik yang terkait dengan penjelasan keanehan Al-Qur'an, dan pembahasan konotasinya untuk mengungkapkan makna dalam bahasa, Berdasarkan bahasa teks dan penggunaan beberapa makna yang terkandung di dalamnya. Pembahasan mengenai semantik beberapa kata dimulai pada zaman Rasulullah, sallallahu alaihi wa sallam, dan para sahabat R.A. Abu Bakar as-Siddiq R.A bertanya Beliau adalah ahli dalam bahasa, mengenai firman (Allah)Taala: (Dan Allah atas segala sesuatu yang pasti . Dia menjawabnya dengan mengatakan : "Langit apa yang menaungi saya, dan tanah mana yang akan membawa saya jika saya katakan dalam sebuah kitab Allah (Al-Quran)? tentang apa yang tidak saya ketahui, sebagaimana pertanyaan tentang kata (ayah) dalam firman Allah Taala'.

Karakteristik Tingkatan Semantik

            Untuk mempelajari dampak Signifikan Pada Studi setingkat semantik, dan jika saya memiliki spesialisasi maka tidak diragukan lagi akan mengabdikan pada hal berikut: Pertama: Fonem / bunyi, karakteristik analitik yang diikuti ahli bahasa dalam aspek ini diwakili dalam aspek fonemiknya berbagai jenis. Maka bunyi adalah satuan terpenting dalam bahasa, dan unsur dasar terpenting dalam konteks menyalahkan (spesifikasi bunyi dalam kaitannya dengan bahasa sama dengan spesifikasi dirham dalam kaitannya dengan mata uang yang bersangkutan, sebagaimana dirham tidak memiliki daya beli, padahal ia merupakan dasar penting dalam pembentukan dinar. "Maaliki yaumiddin" Imam 'Ashim, Al-Kasai, Ya'kub, dan orang-orang yang ada dibelakangnya, membaca dengan Alif. Sementara imam Baaqun, membaca tanpa Alif. Maka (Maaliki) dengan Alif, dilalah nya dikhususkan pada kata Mulk. Dan (Maliki) tanpa Alif menunjukkan makna kekuasaan, dan ketuhanan. Sebagaimana yang telah di katakan: Dia adalah Tuhan manusia. Yaitu bermakna kekuasaan juga ketuhanan. Maka suara atau bunyi yang memiliki dilalah, dan inilah yang di tunjukan kepadanya, oleh imam Khalil, dan Imam Syibawaihi. Jadi, sesungguhnya lafadz adalah sesuatu yang berasal dari suara yang terdengar. Hal ini menetapkan bahwa jenis yang berkesinambungan antara lafadz juga dilalah nya, dan konotasinya pada satu sisi, dan antar suatu bunyi dengan makna bunyi lainnya. Inilah yang disepakati ulama sautiyah dalam ilmu Bunyi umum. Dan ilmu fonem / fonologi. Dan kedua istilah ini tidak berada di luar ruang lingkup Ilmu bunyi makna (semantik) dalam bahasa.

            Penempatan abjad Arab oleh Al-Khalil, Sbawayh, dan Ibnu Jinni tidak menjelaskan secara jelas tentang ciri-cirinya, banyaknya makhroj dan cara penulisannya secara semantik dari apa yang dibawa oleh (Romawi) di (Rasa 'il General Linguistics), yang berurusan dengan fonetik yang bervariasi dalam hal sistem fonetik bahasa melalui konteks. Sejak zaman dahulu, Ibnu Jinni telah menyinggung pada aspek ini ketika ia berurusan dengan hamzat al-wasl dalam konteks verbal, dan ia membaca bahwa ia memiliki dua kasus di awal dan di tengah-tengah Yang pertama Yang pertama harus dipatahkan, yang merupakan mayoritas, Dan yang terakhir bila kondisinya juga demikian dalam ( (dan beberapa kata benda terkait, dan termasuk hamza juga dalam dua kasus tersebut. Yang pertama: dalam fi;'il amar, jika huruf ketiganya ditutup dengan cara yang disisipkan setelah Muhammad keluar, dan yang kedua: di awalnya berbentuk fi'il mudhori, itu adalah bentuk pertama atau keenam, asalkan yang 3 ketiga huruf terlampir, yaitu: mabni majhul. Yang kedua - dari karakteristik - yaitu at-tashrif yang merupakan perubahan struktur kata dan bentuknya Adapun shigot (bentuk) memiliki konotasi selain konotasi leksikal yang terbatas pada hubungan antara konotasi kata tunggal karena perubahan struktur kata dapat membawa konotasi baru inilah yang disebut dengan al waqasah dan al-waqas Mengubah struktur kata dalam hal kebutuhan adalah masdar pokok untuk metode pemahaman yang diinginkan, dan ini memperkuat bahwa tashrif pada konsepnya adalah ( perubahan struktur kata untuk tujuan makna) Dan itu adalah untuk sampai pada satu kata, dan menggunakannya sesuai dengan kebutuhan. Contohnya memukul akan membuat wajah menjadi berbeda, maka terbentuk darinya contoh : Ja'far, ia mengatakan : pukul dan seperti qamtar pukul Yang ketiga : pengorganisasian dan sintaksis atau tata bahasa yang di mana ia mencari senyawa dalam hal maknanya pada makna asli dan posisional Karena setiap bahasa memiliki sistem tata bahasa tertentu, ia menolak sistem kosa kata dan sintesis satu sama lain kecuali pada pondasi dan aturan yang tunduk pada kebiasaan bahasa tersebut Yang paling menonjol dari dasar ini dalam bahasa Arab adalah: sintaksis, narasi, dan preposisi Dan qorinah (petunjuk). Maka i'rob itu memiliki pola tertentu yang susunannya itu membutuhkan pada pola yang didatangkan dari mutakallim untuk memperoleh dilalah mu'ayyanah (ciri tertentu)

 

Kemudian pembahasan selanjutnya penulis memfokuskan pada pemhabasan tentang keterkaitan nahwu dengan Ad-dilalah itu sendiri.

  • Adanya Kesalahan Bacaan dan Pentingnya Nahwu

Banyak orang yang ragu-ragu atau bimbang dengan kata lahana () dan konotasinya, bahkan orang-orang terpelajar dan lain sebagainya pun, dan itu menjadi bahan kontroversi dan perdebatan di antara ahli bahasa dan yang lainnya.

Kata lahana () sering digunakan dengan makna 'salah' (), Seperti perkataan seseorang kepada Rasulullah yang dimana dia salah dalam ucapannya, yaitu

 "berilah saudara kalian pentunjuk, karena dia sungguh telah tersesat"

Kata lahana () juga digunakan dengan makna salah dalam bacaan ( ), seperti ucapan sayyidina Abu Bakar Ra.

"Sungguh aku lebih suka membaca kemudian keliru dari pada membaca kemudian salah dalam bacaan"

Kemudian Umar Bin Khattab Ra datang untuk membedakan antara dan , lalu berkata

, ,

"Sungguh aku lebih suka membaca kemudian salah, daripada aku membaca kemudian salah dalam membacanya, karena jiga aku salah maka aku (dapat) kembali, namun jika aku salah dalam membacanya maka aku telah berdusta"

Kata seperti yang disebutkan Umar Ra. akan menghasilkan kebohongan atau dusta, berdusta pada Allah SWT adalah perbuatan tercela, dan jatuh kedalam neraka.

Istilah unsur (..) memiliki konotasi kebahasaan yang kami ringkas sebagai berikut:

1.         Al-lahn dengan mensukunkan ha yaitu bahasa, Laits berkata al-lahn: sesuatu yang melakukan kekeliruan tata bahasa dengan lisan, yang cenderung dilakukan dalam perkataan, Allah SWT berfirman dalam surat Muhammad ayat 30 yang berarti (Dan engkau benar-benar akan mengenal mereka dari nada bicaranya ...), Nabi Muhammad SAW bersabda (Bacalah al-Qur'an dengan logat dan suara orang Arab ...), dan Umar RA berkata (Pelajarilah ilmu faraidh dan Sunnah, dan al-lahn seperti kalian mempelajari al-Qur'an) al-lahn yang berarti bahasa, dengan nadaku bukan nada kaumku, yaitu bahasaku bukan bahasa mereka.

2.         Al-lahan, dengan ha berharakat fathah, yang menunjukkan atas kepandaian dan kecerdasan, seperti kepandaian logatnya dan keseksamaannya, seperti perkataan mereka: maka Lahana itu bermakna cerdas, yakni faham, dan mengerti.

3.         Al-lahan dengan fathah juga menunjukkan atas pembeberan dan permainan kata, seperti penggunaan makna yang dekat dan keinginan makna yang jauh, dan yang demikian tidaklah menunjukkan atas buku (komposer) bagi Ibnu Duraid yang bermaksud menggunakan kata-kata untuk makna-makna yang lain, seperti (dia berkata:

Demi tuhan, saya tidak membunuh, tidak melukai dan tidak menusuk/menikam. Karna pembunuhan adalah ketiganya, dia berkata : saya membunuh keledai jika pembunuhan termasuk dalam ketiganya.... Dan melukai: memperoleh..... Menusuk, dari perkataanya ia telah melukai.

Adapun al-lahn secara terminologi menurut ahli nahwu, yaitu kesalahan dalam ungkapan bahasa arab yang benar, menempatkan vokal ditempat yang salah, bukan dari segi suara/fonemik, namun dari konotasinya memiliki arti bahasa arab. Dan dia menjauhkan dari kebenaran, dia berkata :  lahn dalam perkataannya adalah melakukan kekeliruan tata bahasa dan banyak keliru dalam i'rab

Dan jika istilah ini ada, yaitu ekspresi konotasi sintaksis, dalam akhiran secara implisit adalah faktor untuk mengatur tata bahasa yaitu faktor agama, kebangsaan dan sosial yang menyebabkan perkembangan tata bahasa, dan yang paling penting adalah faktor agama yang direpresentasikan dalam teks dan bahasa Alqur'an

Dan pada peletak ilmu nahwu ada riwayat riwayat dan berbeda. Ingatlah sesungguhnya kebanyakan riwayat riwayat menunjukan bahwa Ali bin Abi Thalib RA adalah orang pertama sebagai peletak ilmu nahwu. Dan diantaranya bahwa Abu Aswad Adduali suatu hari mengunjungi Amirul mu'minin Ali RA,  kemudian Abu Aswad Adduali melihat ada alat pemukul di kepala. Kemudian Abu Asawad Adduali bertanya kepada Ali, mengenai pemikiran apa wahai Amirul mu'minin ?. Kemudian Ali menjawab : " Aku mendengar sebuah lagu di negaramu  kemudian aku ingin mengarang sebuah kitab di dalam pokok pokok bahasa Arab kemudian aku mendatanginya kemarin, kemudian aku menemukan lembaran yang didalamnya terdapat Bimillahirrahmaanirrahiim, kalam adalah isim, fi'il dan huruf. Dan riwayat ini diperkuat  bahwa  persepsi ini dihasilkan.

Narasi ini menegaskan bahwa perasaan terhadap fenomena ini murni berasal dari pandangan agama ,  kemudian dialek ini menyebar. Hal pertama yang menjadi tidak teratur dalam perkataan Arab.  Jadi saya perlu belajar bahasa arab.

Dan disana terdapat sebagian riwayat riwayat yang tersebar bahwa peletak pertama ilmu nahwu adalah Abu Aswad Adduali diantaranya : sesungguhnya dia adalah orang pertama yang menetapkan dan membuka pintunya ( ilmu nahwu) dan menjelaskan jalannya dan meletakan Dan menempatkan aturannya, dan (Bahwasanya dia adalah orang yang pertama berbicara tentang  nahwu). Dan yang dimaksud dengan ( Menguatkan perkataan dengan jalan bahasa Arab dan dia menamakannya dalam perkataan) .

Dan aku melihat bahwasanya kumpulan para periwayat yang membicarakan tentang penempatan nahwu, memungkinkan untuk menjadikan imam Ali RA itu sebagai al-musyiir  orang pertama yang menempatkan gagasannya. Dan mudah-mudahan ini adalah  hal yang paling dekat dengan kebenaran. Karena sebagian besar riwayat menunjukkan bahwa abu Aswad Ad-du'ali dialah orang yang pertama menempatkan nahwu dan menggambarkannya. Adapun hubungan penamaan (nahwu) yang kita bicarakan tentang nya, maka ia adalah kata kiasan yang dibangun berdasarkan keluasan linguistik. Dan akan tetapi setelah itu  Nama ini dikenal dalam arti yang tepat. Saat karya-karya nampak dan ditandai bahwasanya dia ahli nahwu  dan dijelaskan didalamnya nahwu yang luas pada zaman Kholil bin ahmad.

Karena nahwu yang ditetapkan oleh Abu Aswad Ad-dualy pada awal-awal tidak memberikan faidah yang banyak, dan tidak cukup untuk menjaga Al-Quran dari kesalahan lisan. Maka setelah itu, para ulama mulai mengembangkan ilmu nahwu, menyempurnakan bab-babnya, merinci permasalahan-permasalahannya, dan disertai kaidah-kaidahnya sampai dihimpun dan disempurnakan dalam kitab Sibawayh yang disifati dengan Nahwu Alquran. Permulaan ilmu nahwu dihubungkan dan dikaitkan dengan adanya al-lahn (kesalahan), dan itu merupakan motif utama peletakkan ilmu nahwu. Dan tidak dianggap berlebihan jika saya mengatakan bahwa sebenarnya hubungan antara kaidah-kaidah dan al-lahn ini tetap berlaku sejak kebangkitan kaum muslimin sampai pencetusan ilmu nahwu, dan penyegeraan dalam melawan kesalahan ini hingga hari ini. 

Dan kemungkinan hubungan antara keduanya (qawaid dan lahn) akan memberikan gambaran, karena unsur utama ilmu nahwu itu saling menonjol antara kaidah-kaidah dan sesuatu yang keluar dari kaidah-kaidah tersebut (yakni al-lahn) yang mana kaidah-kaidah ini didasarkan pada sudut pandang ahli tata bahasa, yaitu hukum dan fasal. Dan para ahli menganggap sebagai sebuah kesalahan segala sesuatu yang tidak sejalan dengan kaidah-kaidah ini di dalam penggunaanya, karena sesungguhnya Alquran dan hadits-hadits nabi tidak bisa difahami maknanya secara benar kecuali dengan memenuhi hak-haknya dari I'rob (sintaks), dan I'rob sendiri sebagaimana yang akan kita lihat, mempunyai peranan dalam menentukan makna teks, baik prosa maupun puisi.

            Perhatian Ahli Tata Bahasa terhadap Makna Gramatikal Para ahli tata bahasa tertarik pada semantik sejak mereka mengetahui makna gramatikal, yang merupakan gabungan dari hubungan fonetik, morfologis dan gramatikal, kemudian keadaan yang melingkupi proses berbicara. Karena bahasa Arab mengandung sistem simbol fonetik dan morfologis, baik maupun gramatikal, simbol-simbol ini membawa makna yang menunjukkan pada hal-hal. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa perhatian ini harus diarahkan pada semantik (AdDalalah) yang dibawa oleh kata dan kalimat, dan tujuan ini di antara para ahli tata bahasa awal adalah untuk menjaga dari kesalahan semantik dalam struktur bahasa Arab. Saya pikir perhatian para ahli tata bahasa pada makna gramatikal adalah keinginan murni agama, dan efeknya tampak dalam perbedaan antara dua orang Mesir: Basra dan Kufah, dan tidak ada keraguan bahwa perbedaan mereka formal, bukan objektif.Basrah mengambil peranan perhatian terhadap aspek verbal dan linguistik Al-Qur'an, sementara Kufah mengambil peranan perhatian terhadap isi Al-Qur'an, [yaitu dengan makna Al-Qur'an] dan aturanaturannya. Nahwu itu lebih utama dipelajari dalam ilmu dilalah, sebagaimana kata Tamam Hasan bahwa i'rob itu cabang dari ma'na (sintaks itu cabang dari semantik) ma'na itu asalnya dan i'rob itu cabangnya. Analoginya seperti apa? Sifat (ma'na) pasti membutuhkan kepada bentuk (i'rob), karena i'rob sendiri terlebih dahulu mentashih susunan akhir sebuah kata.

            Dan fungsi ilmu nahwu itu sangatlah besar,. Dan agung, yang mencakup atau berpengaruh terhadap susunan susunan kalimat. Dan di haruskan dengan rancangan jumlah dan di iringi keterkaitan keterkaitan jumlah tersebut, dari segi kebenaran karya/ungkapan serta metode. Maka jika hal hal tersebut tidak ada dalam rangkaian jumlah tersebut maka benar2 telah hilang nilainya, dan menyebabkan susahnya pemahaman kalam yang berakibat kepada makna aslinya. Dan percakapan al kisai dan abi Yusuf al qodi tidaklah menunjukan adanya unsur unsur itu semua, ketika dahulu dia mencela ilmu nahwu, karena sesungguhnya abi yusuf adalah seorang faqih, maka al kisai pun berharap bisa mnegetahui pentingnya ilmu nahwu, dan fungsinya dalam menjadi petunjuk, maka alkisai bertanya kepada abi yusuf: apa pendapatmu tentang seorang laki laki yang berkata kepada laki laki : ,aku pembunuh pembantu mu (dengan idhofat) dan yang lain berkata : ,dengan ditanwinkan lam nya. Mana dari kedua yang mengaku pembunuh tersebut yang kamu hukum? Abi yusuf alqodi bwrkata : saya hukum semuanya, kemudian alrosyid berkata kepada abi Yusuf : kamu sudah salah. Kemudian bertanya tentang kenapa menghukum semuanya ? Bagaimana bisa begitu ? Abi yusuf berkata :yang dihukum karna membunuh pembantu nya adalah yang berkata : dengan idhofat, karna dia adalah fiil madi . Adapun yang berkata : ,harusnya tidak dihukum, karena itu adalah mnunjukan waktu yang akan datang yang belum terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun