Apa kamu bisa mendengarku?
Aku tahu, kamu yang berada nun jauh disana, mungkin berada di dimensi yang berbeda denganku, untaian kata ini tak terlalu jelas untuk didengar. Namun, ikatan batin yang kita miliki membuatku percaya jika kemustahilan ini akan terjadi.
Sebelum menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, bolehkah jika aku bertanya tentang kabarmu disana? Meskipun tanpa perlu kamu jawab pun aku sudah tahu, aku hanya ingin mendengarnya langsung dari dalam batinmu. Apa nilai matematikamu masih sama jeleknya? Apa cakrawala senja yang biasa kita lihat tak luntur keelokannya? Apa kamu masih bersikukuh jika rasi bintang orion adalah yang paling indah? Apakah dermaga itu masih sering kamu kunjungi, sama seperti saat sebelum aku pergi?
Aku tahu bahwa yang satu ini adalah pertanyaan yang bodoh, tapi apakah lancang jika aku bertanya keberadaanmu yang jelas tak baik-baik saja?
Tapi ingatlah, setidak baik-baiknya kamu disana, mungkin akulah yang paling buruk disini. Di sudut paling kelam, dalam kesunyian yang tak tahu hentinya.
Maaf, jika aku telah membiarkanmu sendirian di ujung dermaga, tanpa kepastian kapan aku bisa mendapatkan kepastian yang selama ini dipertanyakan.
Maaf, jika aku tak mengindahkan ucapan penolakanmu, membiarkan rasa gegabah membawaku pergi mengarungi lautan. Lautan yang malah menenggelamkanku dalam kesunyian.
Maaf, untuk setiap air mata yang luruh dari pelupuk matamu, yang malah membuat luka iti semakin menganga lebar. Yang malah membuat masalah ini semakin runyam.
Aku tak tahu, apa aku menyesali perbuatan ini atau tidak. Tak bisa menggapai tanganmu yang terjulur padaku, malah raib bersama harapan yang belum terwujud. Tai ada satu hal yang tak kusesali, setidaknya aku telah berusaha melindungimu, juga melindungi Nenek.
Meskipun kamu sendiri tahu bahwa usaha yang dilakukan belum tentu berbuah sesuai yang diharapkan.
Syaqila, apa kamu masih mendengarku? Atau kamu sudah terlanjur terlelap oleh kenyataan yang membutakan hatimu?