Mohon tunggu...
Shinta Susmita
Shinta Susmita Mohon Tunggu... -

Shinta

Selanjutnya

Tutup

Puisi

The Clover

29 Juni 2015   08:04 Diperbarui: 7 Januari 2016   12:06 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Ma, Rin berangkat sekolah dulu ya, Assalamualaikum!”

“Waalaikumsalam, ati-ati di jalan, jangan bicara sama orang nggak dikenal, bekalnya udah dibawa belum? Baca doa dulu biar nggak di gendam” ,jawab mamaku dari dapur.

“Iya ma udah.”

“Jangan lupa pakai rok lho ya!”

“ya iyalah ma, masa aku mau pakai legging ke sekolah!?”

“ya kali aja kamu lupa, kan kamu pernah cuma pakai baju seragam dan celana olahraga gara-gara telat bangun pagi.”

“Itu kan pas aku SMP, jaman bahula banget. Sekarang aku udah hampir lulus SMK. Udah ah, Rin berangkat dulu.”

“Iya, iya.”

              Aku berjalan keluar rumah dengan gontai. Seperti inilah rutinitasku tiap pagi, mendengarkan pidato(ocehan) mama yang terlalu protektif mengingat aku sudah terlalu besar untuk itu. Tapi aku tahu mama melakukan itu karena khawatir padaku, apalagi mengingat statusnya yang single parent. Aku merasa bersyukur dan bangga memiliki mama sepertinya, yang mampu mengurusku dan membiayai hidup kami meski hanya seorang diri. Aku berjanji setelah lulus SMK, akan segera mendapat pekerjaan dan dapat membantu mamaku meski hanya sedikit. Aku anak tunggal, jadi saat aku lulus SMK ini, mungkin dapat meringankan bebannya.

Baru tiga rumah aku berjalan, seseorang memanggilku. Ternyata Andra yang memanggil, bersama Zaki dan Dani.

“Rin, tega banget sih ninggalin kita.” Kata Andra sesampainya di sebelahku.

“Iya nih, nggak setia kawan.” Timpal Zaki.

“Hehe, maap deh. Gue tadi ngelamun sampai lupa mau nyamperin kalian.”

              Kami berjalan beriringan menuju sekolah layaknya boyband yang memasang wajah cool dan kece (padahal malah kayak rombongan topeng monyet). Tiba-tiba kami menemui jalan buntu, yaitu genangan air sejauh lima meter yang tidak bisa mengalir atau merembes keluar dikarenakan tidak adanya got untuk saluran air, sebut saja “Sungai Amazon”.

“Yaelah, gini nih kalo mulai musim hujan, jadi membentuk sungai amazon.” Celetuk Andra

“Tau nih, nggak bosen apa ni kampung selalu ada sungainya. Kita sebagai pejalan kaki kan terganggu.” Omelku sambil jalan jinjit-jinjit, karena kalau nggak sepatuku yang sudah bolong ini bakalan jadi perahu bocor.

“Kenapa warganya nggak ngusulin buat got di sekitar sini ya?” Dani yang sedari tadi diam mulai bicara.

Tiba-tiba Zaki berbicara,“Eh, gue dapat ilham gombalan baru nih. Tapi gue praktekin ke siapa ya?”

“Emang buaya lu Jek, cewek satu sekolah lu gombalin semua.” Andra merasa iri pada Zaki yang punya tampang lumayan.

“Nggak semuanya, buktinya gue belum digombalin.”

“Emang lu cewek?”ucap Dani dengan wajah tanpa dosa.

“Iya, emang lu cewek? Cewek tuh nggak manjat pohon buat nyolong mangga tetangga.” Andra menambahi ucapan Dani.

“Cewek juga nggak manjat pohon buat sembunyi pas main petak umpet.” Zaki juga ikut-ikutan mengejekku.

“Apaan sih kalian!? Itu kan pas masih SD, itu aja terpaksa abisnya kalian nggak mau ngambilin gue mangga, pas petak umpet juga nggak ada tempat lain selain di atas pohon. Gini-gini gue cewek tulen tahu–gue tuh nggak bisa diginiin,sakiitt..” kataku mendramatisir sambil mengepalkan tangan di dada.

“Alaynya kambuh ni anak. Udah ah, omongan kalian nggak mutu deh. Kalo nggak cepet kita bakalan telat nih.” Kata Zaki sambil berjalan duluan di depan.

“YANG MULAI OMONGAN NGGAK MUTU INI SIAPA COBA!?” kami bertiga teriak saking keselnya.

...

                Kami tiba di gerbang sekolah tepat saat bel masuk berbunyi–untung belum ditutup gerbangnya. Entah ini takdir atau apa, tapi berada pada satu kelas yang sama selama tiga tahun dengan mereka benar-benar membuatku pusing, yang satu maniak basket, yang satu pinternya nggak ketulungan, yang terakhir playboy cap buaya darat. Parahnya lagi kita semua teman masa kecil dari TK­­–meskipun saat SMP hanya Andra dan Dani yang satu sekolah. Udah ah, cerita masa lalu aja.

              Hari ini pelajaran pertama adalah matematika–pelajaran yang bikin pusing banget. Dani sih seperti biasa, mendengarkan penjelasan guru sambil sesekali mencatat–tipe anak teladan yang patut dicontoh. Jangan kayak Andra, yang sudah membuat danau duluan di meja dan buku yang ditegakkan agar tidak ketahuan guru kalau dia sedang tidur. Si Zaki malah surat-suratan sama cewek yang duduk dua bangku ke kanan dari bangkunya sambil tebar-tebar pesona ke si cewek. Kalau aku sih mendengarkan–awalnya, tapi kalau sudah nggak fokus bukannya materi yang kecatat, malah asik menggambar gambar yang nggak jelas (jangan mikir macam-macam ya).

                Akhirnya jam istirahat yang ditunggu-tunggu datang juga. Aku mengeluarkan bekal yang kubawa tadi. Ternyata Dani sudah berada di sebelahku sambil membuka bekalnya–nasi dengan lauk ayam dan tempe goreng. Sedangkan aku membawa sambal terong.

“Kayaknya enak deh tempe gorengnya.” Kataku sambil lirik-lirik bekalnya.

“Ya enaklah, bikinan emak gue.” Jawabnya sambil tetap makan dengan tenang. Dalam hati aku mengutuki dirinya yang sama sekali nggak peka dengan kode-kode yang kuberikan tadi. Aku masih memandangi tempe gorengnya dengan tatapan mupeng dan sesekali meliriknya–berharap dia sadar. Menyadari tatapanku, Dani mendekatkan bekalnya ke bekalku, “Nih ambil, sebagai gantinya gue minta sambal terong lu.”

“Hehe ..., beres–nih” , aku menyodorkan bekalku padanya. Tiba-tiba Andra dan Zaki duduk di bangku depan kami sambil memakan sandwich yang tadi dibelinya di kantin.

“Eh, tadi kita ada lihat pengumuman di mading.”

“Pengumuman apa Ndra?”

“Paling-paling pengumuman jadwal ujian”, kata Dani.

“Kalau cuma pengumuman jadwal ujian nggak bakal gue ngomong, males banget bahasnya. Ini itu tentang pentas seni sekolah kita yang lagi open rekrut buat ngisi acaranya”, jelas Zaki sambil agak sewot.

“Dan menurut gue, kita semua harus ikutan”, katanya sambil menyeringai. Dani seketika batuk-batuk tersedak sambal terong–yang pastinya nggak enak banget, aku berhenti mengunyah makananku.

“Emangnya kita mau tampil apaan!?” tanya Dani yang masih shock setelah membasahi kerongkongannya dengan air putih.

“ Ya band lah, apalagi. Lu kan bisa main keyboard, gue sama Rin bisa main gitar, plus Rin kan anak paduan suara pas SMP, dan untungnya pas ujian seni musik SMP Andra kebagian jadi drummer”, jawab Zaki dengan semangat.

“Ini tahun terakhir kita SMK lho, masa kalian nggak pingin bikin kenangan yang nggak bakal pernah kita lupakan seumur hidup kita? Dan, lu pengen Lusi nggak tahu apapun sama sekali tentang perasaan lu? Ini kesempatan terakhir lu buat ngomong ke dia”, tambah Andra.

“Ap..apa!? L..lu ngomong ap..”

“Udah ngaku aja, kita semua udah tahu kok dari gerak-gerik lu selama ini”, kataku sambil tersenyum geli melihat wajahnya yang sudah memerah karena malu.

.

“Mmm... oke deh, gue setuju”, akhirnya kuputuskan untuk ikut rencana mereka.

“Gitu aja lama banget mikirnya Rin. Nah, sekarang lu gimana Dan?”

“Ka...karena kalian maksa ya udah gu...gue ikutan”, katanya sambil memalingkan wajahnya. Kami bertiga tersenyum melihatnya, tahu bahwa Dani sebenarnya sama sekali nggak terpaksa. Kalau Dani ngomongnya mulai agak gagap dan memalingkan wajahnya, tandanya dia malu-malu mau. Mungkin orang lain akan menganggapnya judes atau sombong kalau melihatnya seperti itu, tapi kami sudah terbiasa dan maklum dengan sifatnya ini, malah aku menganggap itu sangat manis.

...

                Minggu-minggu ujian telah berakhir, akhirnya bisa fokus juga sama pentas seni. Tentu saja kami sudah mendaftarkan diri untuk mengisi acara. Setelah melalui perdebatan panjang yang benar-benar nggak mutu, akhirnya kami memutuskan untuk menampilkan lagu Project Pop yang berjudul Ingatlah Hari Ini. Sekarang ini aku sedang berada di teras depan rumah sambil memetik gitarku, inilah yang aku lakukan jika aku sedang senggang.

Dimalam yang sesunyi ini

Aku sendiri tiada yang menemani

Akhirnya kini kusadari

Dia telah pergi tinggalkan diriku

                Aku menyenandungkan lagu ini bukan karena aku lagi galau‒bukan, hanya saja lagu ini enak sekali untuk didengarkan. Aku menutup mataku, menikmati lagu yang kunyanyikan sambil memetik gitar dengan tempo yang lambat. Tiba-tiba seseorang menginterupsiku‒lebih tepatnya tiga orang, siapa lagi kalau bukan temen seperjuanganku.

“Rin!”

“Akankah semua kan.... eh? Ndra, Jek, Dan? Ada apa?”

“Kita mau ngerundingin sesuatu nih”, jawab mereka sembari duduk di kursi depan teras di sebelahku.

“Apaan? Latihan kita selama ini udah cukup kan? Ada yang kurang dari penampilan kita? Menurut gue penampilan kita udah cukup bagus kok, atau ada masalah sama anak acara?”, tanyaku panjang lebar.

“Eh bukan, nyerocos aja lu, dengerin dulu napa”, sahut Zaki

“Emang buah jatuh nggak jauh dari pohonnya” timpal Dani. Gue heran, ini anak seneng banget sih ngeledekin gue.

“Apaan tuh maksudnya!? Gue cerewet kayak mak gue gitu!?”

“Lu sendiri yang ngomong ya”,

“Udah ah, jadi apaan yang mau dirundingin?” tanyaku nggak sabaran.

“Gini, besok kita kan tampil, kita belum nentuin nama band kita, ntar gimana MC nya mau manggil coba buat tampil?” kata Andra menjelaskan.

“Oh iya, trus ada yang punya usul?”

“Nah, itu alesan kita kesini‒karena kita pada nggak punya ide.”

.

1 jam kemudian ....

“ Eh, kenapa kita malah main kartu!?” baru nyadar Andra.

“ Kan lu tadi yang mulai duluan”, balas Dani

“ya udah deh, trus ini gimana? “ tanyanya balik.

“Gimana kalau namanya The Clover? “ usulku.

“Kenapa The Clover?” tanya mereka serempak.

“Clover yang berdaun 4 kan lambang keberuntungan, dengan harapan kita berempat selalu dapat keberuntungan.” Kataku panjang lebar.

“Widiihh, berat banget artinya, hayati nggak kuat”, kata Andra yang memang alay banget.

“Emang lu punya usul lain apa?” kataku tidak terima.

“Tapi keren tuh usulnya”, puji Dani

“Not bad Rin”, Sok inggris lu Jek.

“Oke, berarti mulai sekarang nama band kita adalah The Clover.”

...

                Sekarang adalah penampilan perdana kami, dan aku sangat sangat gugup. Meskipun aku sudah pernah tampil paduan suara, tapi ini beda. Kenapa yang lain kelihatan tenang sih.

“Aduh, kalo gue main pianonya salah gimana?”, aku salah, Dani juga gugup ternyata.

“Nggak kok, nggak bakal. Anggep aja di depan nggak ada penontonnya.” , kata Zaki menenangkan.

“Atau kalo nggak anggep aja penontonnya babi semua”, Si Andra malah ngasih solusi nggak bermutu‒atau itu malah solusi paling jitu, entahlah.

“Sekarang, mari kita saksikan penampilan dari .... THE CLOVER!!”

“Sip dah, ayo ke naik ke panggung dengan semangat!!” teriak Andra.

“YOO!!” ucap kami serempak dengan semangat.

...

Kawan dengarlah yang akan kukatakan

Tentang dirimu setelah selama ini

Ternyata kepalamu akan selalu botak

Eh, kamu kayak gorila

                Lagu ini cocok sekali dengan suasana saat ini, apalagi setelah ini kami akan lulus dan melanjutkan hidup masing-masing. Menurutku lagu ini mengajarkan bahwa kita tidak perlu bersedih akan adanya perpisahan.

Kamu sangat berarti, istimewa dihati

Slamanya rasa ini

Jika tua nanti kita tlah hidup masing-masing

Ingatlah hari ini

                Para penonton ikut menyanyikan lagu ini dengan semangat, akupun mejadi lebih semangat untuk menyanyikannya. Sesekali aku melirik Dani, Zaki dan Andra, rupanya mereka juga menikmati lagu ini dan tersenyum melihatku. Hal ini membuat kegugupanku sedikit berkurang.

Don’t you worry just be happy

Temanmu disini

Kamu sangat berarti, istimewa dihati

Slamanya rasa ini

Jika tua nanti kita tlah hidup masing-masing

Ingatlah hari ini

                Menyanyikan lagu ini mengingatkanku pada kami berempat. Kenangan saat kami main petak umpet, nyolong mangga, main kembang api, membolos sekolah, berangkat ngaji, kemah bersama di hutan, aku yang bertengkar dengan Andra dan banyak lagi kenangan-kenangan yang nggak mungkin aku sebutin satu-satu. Dan sekarang mungkin kami akan berpisah‒pergi untuk mengejar cita masing-masing. Aku pernah bilang kan kalau berteman dengan mereka membuatku pusing, tapi disaat yang bersamaan aku juga merasa senang dan bersyukur memiliki sahabat seperti mereka. Mereka mewarnai hidupku dengan berbagai macam warna, entah apa yang terjadi jika aku tidak bertemu mereka. Mereka adalah pelangi dalam perjalanan hidupku selama ini.

Kamu sangat berarti, istimewa dihati

Slamanya rasa ini

Jika tua nanti kita tlah hidup masing-masing

Ingatlah hari ini

...

“Dan, habis lulus lu mau ngapain?” tanyaku

“Gue keterima beasiswa kuliah di luar negeri”, ya ampun pinter banget ni anak.

“Kalo lu Jek?”

“Gue mau kuliah di Universitas T ngambil Administrasi bisnis”jawab Zaki.

“Universitas T kan jauh banget dari sini.” Kataku.

“Kalo gue mau daftar Akmil.” Celetuk Andra.

“Jadi, mulai sekarang kita bakalan jauh-jauhan dong.” Kataku sedih.

“Pokoknya nomor kalian nggak boleh ganti-ganti ya, biar bisa dihubungin. Terutama lu Jek. Kalau mau ganti nomor bilang-bilang.” Andra mewanti-wanti kami semua, kayak emak-emak aja.

“Iya deh iya.” Jawab Zaki

“Kalo kalian nikah bilang-bilang ya, awas kalo nggak.” Kataku sambil tertawa.

“Nggak ah, males.” Jawab mereka serempak.

“Eh, kenapa!? Kok gitu sih, jahat banget. Nggak bakal gue bilangin deh kejelekan kalian semua.” Tapi bohong, hehehe ...

 

Kita akan selalu jadi The Clover,

yang selalu berempat,

dan semoga selalu dihiasi keberuntungan.

 

TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun