Mohon tunggu...
Shinta Harini
Shinta Harini Mohon Tunggu... Penulis - From outside looking in

Pengajar dan penulis materi pengajaran Bahasa Inggris di LIA. A published author under a pseudonym.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerber: Anugerah, Bukan Kutukan - Part 3

29 Agustus 2021   16:47 Diperbarui: 29 Agustus 2021   17:25 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cerber (Sumber: Shutterstock)

Bagian sebelumnya 

Ia benar-benar merasa penasaran sekarang. Cowok tinggal di rumah ini, mengurus rumah bahkan tanpa seorang pun yang membantunya, dan ia bukan anak Pak Yudi. Molly ingin tahu apa hubungan Ari dengan pamannya.

Ari mengedikkan bahunya dan berlalu ke belakang, mungkin ke dapur. "Itu bukan urusanmu," serunya dari sana. Tiba-tiba ia muncul di pintu menuju ruang tamu. "Kau tahu," katanya. "Tadinya aku berniat untuk menawarimu makan siang, tapi aku tidak suka dengan pertanyaan-pertanyaanmu, jadi, yah, kukira kau bisa cari makan siang sendiri."

Perut Molly tiba-tiba berkerucuk. Hari sudah bertambah siang tapi Molly belum mengenal daerah ini sama sekali untuk mengetahui di mana ia bisa membeli makan siang. Tapi sifat keras kepalanya selalu keluar jika ia ditantang seperti ini.

"Tentu saja. Anda tidak usah bingung memikirkan saya. Aku bisa cari makan di mana saja." Untuk kedua kalinya Ari menyeringai. Molly tambah gemas melihat tampangnya.

Tiba-tiba terdengar suara mobil berhenti di luar pagar. Molly menengok melalui pintu depan yang masih terbuka dan ia menghela napas lega. Sang pengacara keluar dari mobil Alphard-nya berkilap, dan tanpa diduga-duga Ari beranjak dan bergegas keluar. Kening Molly berkerut menatap kedua orang itu saling menepuk bahu dengan akrab dan Ari membisikkan sesuatu di telinga pengacara itu yang tertawa terbahak mendengarnya. Molly tahu ia seharusnya tidak berpikir seperti ini tetapi Ari kelihatan tambah tampan jika ia tersenyum lebar. Kedua orang itu masuk sambil berangkulan bahu seperti dua teman akrab yang sudah lama tak bertemu.

"Sama sekali tidak mungkin, Anton," kata Ari setengah tertawa. "Kapan coba terakhir kali mereka menang Premier League?"

Molly menatapnya dengan kesal. Mereka begitu dekat dengan satu sama lain. Ia sendiri hampir tidak pernah memanggil si pengacara itu dengan namanya. Molly curiga ada permainan di belakang yang membuat Ari juga berhak atas rumah ini. Yang jelas Molly tidak pernah merasa membaca namanya di surat wasiat. Ia duduk diam-diam di ujung sofa, tangannya sibuk memilin-milin tali di tas ransel-nya.

Mendadak kedua orang itu berubah terlihat serius. Molly duduk lebih tegak. Ari mengatakan sesuatu pada Anton dan kedua orang itu berjalan ke arah dapur. Merasa agak tersinggung karena Anton sedikit pun tidak menyapanya, Molly memutuskan untuk mengikuti mereka.

Sama sekali bukan dapur yang ada di belakang ruang tamu, melainkan ruang makan dengan meja kaca besar berbentuk oval dengan lima buah kursi tertata di setiap sisinya dan masing-masing satu di kepala meja. Ari tidak mengacuhkan meja itu dan membawa Anton ke meja bar berwarna putih dengan deretan kursi tinggi di bagian belakang ruangan. Namun bukannya rak dan lemari kaca berisikan minuman keras yang ada di balik meja itu melainkan sebuah drawer pantry lengkap dengan coffee maker, toaster, dan sekeranjang perangkat untuk membuat teh. Di atasnya tergantung lemari kaca berisi cangkir-cangkir. Molly perlahan mendekati kedua orang itu, merasa asing dan sendiri setelah menyaksikan kedekatan mereka. Ari dan Anton sama sekali tidak memperhatikan kehadirannya, mereka hampir seperti tidak menyadari keberadaannya sama sekali.

***

Ari mengambil dua buah cangkir dan meletakkannya di atas dua tatakan kecil. Ia mencoba menenangkan dirinya, menyembunyikan tangannya yang sedikit gemetar. Kehadiran Molly di situ membuat dadanya terasa sesak. Ia menuang kopi ke dalam dua buah cangkir itu, berniat untuk segera menawarkan teh atau minuman dingin kepada Molly segera setelah ia selesai bicara dengan Anton. Tentang ancamannya untuk membiarkan Molly mencari makan siang sendiri, tentu tidak akan ia laksanakan. Bagaimana mungkin ia dapat membiarkan gadis seperti itu berkeliaran sendiri di daerah yang belum ia kenal?

"Datang dari mana sih dia?" tanyanya kepada Anton.

"Maksudmu?" Anton menatapnya dengan mata terbelalak tak mengerti arah pertanyaan itu.

"Maksudku, ia tinggal di mana selama ini, Molly itu." Ari mengangguk diam-diam ke arah Molly.

"Oh, rumah kosnya ada di daerah timur."

Ari mengangguk. Tepat dugaannya bahwa Molly bukan berasal dari sekitar sini. "Gula, krim?"

"Gula saja, tiga sendok."

Ari menambahkan sesuai permintaan, mengaduknya, dan menyodorkan cangkir itu ke Anton. Ia melirik sekilas ke arah Molly yang berdiri tegak di sudut meja oval. "Jadi kau memutuskan untuk membuka surat wasiat Pak Yudi yang satunya?" desisnya.

"Aku tidak mungkin membiarkan surat itu begitu saja kan? Aku selalu menghormati Pak Yudi apalagi ini permintaan terakhirnya."

"Walau pun itu akan berbahaya buatnya dan buatku juga?"

"Kami akan pastikan tidak ada orang yang tahu tentang rumah ini. Hal itu sudah lama berlalu kan?"

"Bagaimana kau bisa begitu yakin?" Ari mencondongkan tubuhnya ke arah Anton. "Dendam bisa membuat orang lupa segalanya kecuali dendam itu sendiri selama seumur hidup. Tambahan lagi aku tidak tahu siapa-siapa saja orang yang ada dalam hidup Molly. Saudara, teman, tetangga. Salah satu dari mereka bisa saja mengenal..."

"Ssh," potong Anton segera sambil menengok ke belakang. "Kau ingin Molly mengetahuinya sekarang?

"Yah." Ari mengusap rambutnya ke belakang. "Aku hanya heran Pak Yudi memutuskan untuk membuat surat itu setelah segala yang ia lakukan untukku. Ia tidak mungkin bermaksud buruk kan?"

Tiba-tiba Anton menggebrak meja, membuat Ari, dan Molly di belakang sana, terloncat. Anton merenggut kerah kaus Ari dan menariknya dengan keras. Anton mendesis di wajah Ari.

"Jangan berani-berani kau bicara seperti itu tentang Pak Yudi."

Dengan susah payah Ari mengangkat kedua tangannya. "Maaf, maaf," katanya dengan suara tercekik. Anton belum juga melepaskannya. "Ayolah, Anton."

Akhirnya Anton melepas cengkeramannya dengan sedikit mengejut, membuat Ari terhenyak ke belakang. Ia mengusap-usap lehernya.

"Tidak perlu sekasar itu."

"Salahmu sendiri."

"Tidak. Kau tahu Pak Yudi sudah lebih dari ayahku sendiri. Aku tidak akan melakukan apa pun yang dapat berakibat buruk padanya."

"Dan kau tahu betapa penting arti Molly untuknya. Ia terus merasa bersalah karena tidak lebih awal dapat menemukan Molly."

"Memang ada bedanya? Ia tetap tidak dapat melakukan apa-apa selagi Ibu masih hidup kan? Bagaimana kalau Ibu menemukan rahasia itu?"

Anton menggeram pelan. "Hati-hati, Ari. Kau hampir melampaui batas lagi."

Ari menyeruput kopinya. "Sudah kubilang kau tidak perlu memperingatkanku untuk kedua kalinya."

***

Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun