***
Ari mengambil dua buah cangkir dan meletakkannya di atas dua tatakan kecil. Ia mencoba menenangkan dirinya, menyembunyikan tangannya yang sedikit gemetar. Kehadiran Molly di situ membuat dadanya terasa sesak. Ia menuang kopi ke dalam dua buah cangkir itu, berniat untuk segera menawarkan teh atau minuman dingin kepada Molly segera setelah ia selesai bicara dengan Anton. Tentang ancamannya untuk membiarkan Molly mencari makan siang sendiri, tentu tidak akan ia laksanakan. Bagaimana mungkin ia dapat membiarkan gadis seperti itu berkeliaran sendiri di daerah yang belum ia kenal?
"Datang dari mana sih dia?" tanyanya kepada Anton.
"Maksudmu?" Anton menatapnya dengan mata terbelalak tak mengerti arah pertanyaan itu.
"Maksudku, ia tinggal di mana selama ini, Molly itu." Ari mengangguk diam-diam ke arah Molly.
"Oh, rumah kosnya ada di daerah timur."
Ari mengangguk. Tepat dugaannya bahwa Molly bukan berasal dari sekitar sini. "Gula, krim?"
"Gula saja, tiga sendok."
Ari menambahkan sesuai permintaan, mengaduknya, dan menyodorkan cangkir itu ke Anton. Ia melirik sekilas ke arah Molly yang berdiri tegak di sudut meja oval. "Jadi kau memutuskan untuk membuka surat wasiat Pak Yudi yang satunya?" desisnya.
"Aku tidak mungkin membiarkan surat itu begitu saja kan? Aku selalu menghormati Pak Yudi apalagi ini permintaan terakhirnya."
"Walau pun itu akan berbahaya buatnya dan buatku juga?"