Mohon tunggu...
Shinta Harini
Shinta Harini Mohon Tunggu... Penulis - From outside looking in

Pengajar dan penulis materi pengajaran Bahasa Inggris di LIA. A published author under a pseudonym.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Izinkan Sinar Matahari Menyentuhku

8 Agustus 2021   10:00 Diperbarui: 8 Agustus 2021   10:30 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sinar matahari di jendela (Sumber: Pixabay)

Jeritan halus diikuti berkas sinar yang sangat terang, nyaris saja mataku buta. Ah... sudah pagi rupanya. Aku menggeliat dan menarik tubuhku ke posisi duduk. Kurebahkan kepalaku pada sandaran tempat tidur, kusunggingkan senyum kecil pada dia yang telah berbaik hati menyingkap tirai dan membiarkan secercah sinar matahari menyusup lewat sela-sela tirai ke dalam kamarku.

Senyumku membeku ketika kudapati dia tak sedikitpun memperhatikanku apalagi membalas senyumku. Darahku mengalir deras ke kepalaku. Tega sekali dia! Bukankah aku sudah bersikap sangat santun?

Amarah tidak kubiarkan menguasaiku, aku tahu dia tidak bermaksud begitu. Matanya menyiratkan keramahan, dia hanya tidak mengenaliku. Kuhela napas panjang ketika dia mendekat -- dan dia...

"Hei!" aku menjerit. "Apa yang kaulakukan?"

Alisku mengerut ketika kulihat tangannya menggosok lututku yang tersembunyi di balik selimut.  

Tapi bukan lututku yang dibasuhnya. Lutut itu milik si wajah pucat-beku dengan pipi kuyu, yang telah kehilangan daya hidup.

Dia terus menggosok wajahku ketika aku duduk diam, mencoba mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi. Aku duduk lemas di sini sementara diriku yang lain terbaring di bawah sana. Aku sepenuhnya terjaga bahkan bisa merasakan hangatnya sinar matahari di kulitku sementara diriku yang lain tergolek di sana, tidak sadarkan diri dengan mata terpejam, lengan ditembus jarum-jarum, dada terbelenggu dan tubuh terhubung oleh selang-selang ke mesin-mesin penyambung nyawa.

Lalu kudengar suara. Bagai suara bising yang meledak di telingaku.

"Hari ini, Shawn. Ingatkah kau? Mereka akan datang dan melakukan apa yang telah diputuskan," kata wanita itu.

Oh, iya. Pasti dia seorang perawat. Aku tahu dari pakaiannya. Kupandang sekeliling, kurasa aku di sebuah kamar rumah sakit. Semua semakin jelas tapi aku tetap tak bisa memahami apa arti semuanya. Apa gerangan yang akan terjadi hari ini?        

Diambilnya selembar lap handuk dan dicelupkannya ke dalam baskom. Diperasnya dengan hati-hati dan digosoknya wajahku dengan lembut.

"Aku tak tahu apa yang akan terjadi denganmu, Shawn," bisiknya. Lap basahnya meluncuri alis dan kelopak mataku perlahan-lahan, satu demi satu. Perasaan aneh menjalari diriku. Aku yang duduk di atas sini. Aku merasa segar, seolah-olah akulah yang dimandikan. Tapi aku berusaha keras untuk tetap fokus pada kata-katanya selanjutnya.

"Aku cuma berharap mereka tidak akan memutuskan hal itu," ujarnya sambil menggosok pipiku dengan sangat hati-hati sehingga masker oksigen yang kukenakan tetap di tempatnya.

"Hampir setahun sejak kecelakaan itu, dan aku merasa sudah mengenalmu dengan sangat baik, walaupun kita belum pernah bercakap-cakap." Dia tersenyum. "Aku... kukira aku bahkan telah jatuh cinta padamu."

Aku terhenyak, hatiku seperti tersambar petir. Bukan soal jatuh cintanya tapi... kecelakaan? Tiba--tiba diriku seperti tersedot, aku tidak lagi duduk tapi kembali terbaring, menempati tubuhku yang tidak lagi menampakkan emosi.

Kupejamkan mataku, kepalaku rasanya seperti terbelah dua. Kenangan-kenangan yang menyakitkan serta-merta memenuhi pikiranku, seperti kaset yang diputar dengan cepat.

Diam-diam kuraih belakang kepalaku dan aku mengerenyit. Rasa sakit itu datang lagi seperti kenangan-kenangan itu -- bisa dimengerti. Kecelakaan dan operasi pada otakku menjelaskan mengapa aku lupa keadaanku, mengapa diriku sering terbelah dan kelelahan.

Kupejamkan lagi mataku rapat-rapat ketika gelombang rasa sakit menghantamku lagi. Duniaku berputar dan tiba-tiba aku berada di dalam mobil lagi... di malam itu.

Malam apa?

Perawat itu mengatakan kejadiannya hampir setahun yang lalu. Benarkah? Semua tampak sama sejak saat itu. Waktu seperti bergeming.

Tidak sejak tabrakan itu. Oh, baguslah. Sekarang aku tahu ada tabrakan. Sebelumnya tidak kusadari. Yang kutahu aku kelelahan sesudah pra-pengadilan dan diskusi dengan rekan-rekanku. Aku bekerja sampai larut malam dan sudah nyaris tertidur ketika akhirnya kuputuskan untuk pulang. Seseorang bermaksud mengantarku pulang tapi dengan keras kepala kutegaskan aku ingin mengemudi sendiri. Lagipula semua orang sudah lelah, begitu kilahku.

Jadi pergilah aku dengan mata berat, menuju Lincoln-ku di pelataran parkir. Aku hampir jatuh tertidur ketika membuka pintu dan menjatuhkan diriku ke jok. Kuhela nafas, sarung jok terasa halus. Kupaksa diriku untuk terjaga ketika mesin mobil kunyalakan. Mobilku segera meluncur melalui pagar otomatis.

Ternyata menyetir pulang dalam keadaan seperti ini adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan. Bahkan sebelum mencapai jarak 50 meter, kepalaku sudah terkulai dan pegangan tanganku terlepas dari setir. Aku tidak menyadari sekelilingku sampai kudengar bunyi logam memukul permukaan yang keras. Sungguh bunyi yang memekakkan telinga. Kemudian gelap datang menyelimutiku.

***

Waktu berhenti. Dan seperti ada pengulangan.

Kurasakan rasa sakit yang dulu. Amat sangat. Pada mulanya aku juga merasakan suara-suara keras di sekelilingku. Kemudian aku bahkan mendengar orang-orang berseragam putih, dokter-dokter, perawat-perawat. Aku melihat Ayah, Ibu, adikku Nora, adik kecilku yang nakal Russel, dan Lara.

Dan... Lara.

Rasanya aku hampir tercekik ketika itu. Aku sadar betapa aku merindukannya dan betapa merananya aku melihatnya begitu menderita. Aku ingin berlari kepadanya dan meyakinkannya bahwa aku tidak apa-apa. Bahwa aku sudah tertolong. Bahwa operasi berjalan baik. Bahwa aku akan segera siuman.

Tapi waktu tetap bergeming.

Aku tidak pernah benar-benar siuman.

Oh, aku merasakan diriku bangun dan meninggalkan tempat tidur, berjalan ke jendela dan memberi salam pada matahari pagi. Setiap hari. Berulang-ulang. Seolah-olah aku terpenjara oleh waktu, di alam yang memisahkanku dari dunia yang kucinta.

Aku masih belum bisa meraihmu, Lara.

Tak bisa menyentuhmu.

Tak bisa bicara padamu.

Tak bisa menunjukkan padamu bahwa aku di sini, merasakan dahaga yang teramat sangat, akan telaga kecantikanmu. Akan merdu suaramu.

Suaramu. Aku mendengar suaramu. Percakapanmu dengan seluruh keluargaku tentang... tentang...

Sejenis pembebasan, pelepasan?

Oh, duniaku kabur lagi. Dan ketika kubuka mataku, masih kulihat perawat tadi, masih sibuk mencelup dan memeras lap itu. Bagian tubuh mana lagi yang akan dibasuhnya? Tapi aku mulai mengerti kata-kata yang diucapkannya tadi ketika penggalan-penggalan berbagai percakapan kembali terlintas di benakku, satu-persatu.

"Kita tak bisa membiarkannya hidup seperti ini selamanya," kata ayahku.

Ya, aku ingat sekarang. Kau duduk di samping pembaringanku ketika itu, Lara, menggenggam tanganku sambil sesekali menghapus air mata yang membasahi wajahmu.

"Kita tak bisa terus membiarkan Shawn bergelut dengan rasa sakit,"  tambah Ayah.

Samar-samar kulihat perawat itu mengangkat tanganku satu-persatu, membasuhnya dengan lap basah. Rasa sakit? Rasa sakit apa? Aku tidak merasakan apapun sejak operasi itu. Para dokter telah membebaskanku dari rasa sakit. Jangan, Ayah. Aku tidak menderita sama sekali. Aku bisa melihat dan mendengar kalian semua. Aku bisa bergerak berkeliling, walau hanya sebatas dalam kamarku. Dari sini bahkan aku bisa merasakan sinar matahari yang kudamba. Aku bisa melihat ke luar jendela, memandangi burung-burung, bunga-bunga lila dan langit biru. Bila ada penderitaan, itu hanya berasal dari kejenuhan belaka.

"Tapi masih ada harapan dia akan siuman suatu hari nanti,"  isak Lara.

Ibu melirik Ayah dengan gelisah, lalu Nora, lalu Russel. "Berapa lama lagi?" jawabnya.

Aku hampir menangis terharu, meski itu yang Ibu ucapkan. Untuk pertamakalinya kudengar lagi suara Ibu sejak kecelakaan itu. Betapa aku selalu merindukannya!

Sampai detik ini.

Aku bertanya-tanya sekarang, kapan acara mandi ini akan berakhir sehingga aku bisa bersua lagi dengan keluargaku. Tapi pertanyaan ibuku tadi menciutkan hatiku. Dan aku bertanya-tanya. Apakah ada keputusasaan dalam nada suaranya? Apakah artinya... ia siap melepasku pergi?

"Ibu benar, Lara. Shawn akan terus tergantung pada semua perangkat ini sepanjang hayatnya. Para dokter sudah menjelaskannya. Kaupun tahu bukan, ia tak akan bertahan tanpa semua alat ini? Aku tahu keadaannya tidak akan memburuk tapi... tegakah kau melihatnya koma, hidup tidak matipun tidak?

Ayah! Nafasku tercekat. Kecurigaanku ternyata benar. Mereka mendiskusikan akhir hidupku. Keluargaku sendiri?! Mengapa satu-satunya orang yang menolak usul ini justru bukan darah-dagingku, kekasihku?

Lara tersedu-sedu. "Aku tidak sanggup! Aku tak bisa bayangkan hidupku tanpa dia. Lebih baik dia tetap di sini, meskipun..." Dibawanya tanganku ke bibirnya dan dikecupnya sepenuh hati.          

Ibu menghela nafas. Lalu melirik Ayah, yang kemudian meletuskan 'bom waktu' itu. Dihampirinya Lara dan digamitnya pundak Lara dari belakang.

"Ayah mengerti perasaanmu. Tapi Ayah tak bisa berbuat apa-apa. Kami tak mampu lagi membayar semua ongkos. Perusahaan asuransi berhenti menanggung semua biaya sejak bulan keenam, dan kami sudah pakai semua simpanan Shawn dan tabungan kami sendiri untuk membayar sisanya. Kami tak sanggup lagi."

Bila Lara hanya terkejut mendengarnya, aku menjerit dalam keputusasaan, sekarang aku ingat yang dikatakannya. Apa?  Jadi uang masalahnya? Aku tidak percaya semua ini. Tidak! Aku... aku pengacara sukses dan hampir menjadi mitra di usia ke tigapuluh. Aku menghasilkan lebih dari empat setengah milyar setahun. Aku punya rumah, Lincoln, Mercedes dan VW. Bagaimana mungkin aku tidak mampu membayar biaya rumah sakit?

Tapi orangtuaku tak mungkin berbohong, bukan?

Aku meloncat keluar dari tubuhku, meninggalkan perawat manis yang sedang bersiap-siap pergi. Kuhampiri jendela. Kulihat di tempat tidur, perawat itu menepuk pipiku lagi, membisikkan sesuatu yang menyejukkan, mungkin. Apa peduliku? Aku tersesat. Aku sang pengacara handal ternyata sama tak berdayanya dengan para pelaku kejahatan yang dulu kubela. Aku sudah dikutuk untuk mati.

Suara pintu mematikan rasaku. Kubalikkan badan dan aku tertegun ketakutan memandangi keluargaku. Ayah, Ibu, Lara, dokter,dan petugas paramedis berduyun-duyun memasuki kamar. Hampir tak kusadari aku gemetar seperti daun.

Jangan. Tolong, Tuhan. Jangan. Aku belum mau mati. Aku masih ingin bersama mereka. Aku ingin memeluk Lara-ku.

Tiba-tiba amarahku hilang. Dapat kumaafkan semua yang dikatakan Ayah dan Ibu pada Lara. Tetapi tolong, jangan singkirkan aku.

Aku terjatuh berlutut, air mata mengaliri pipiku. Aku bersimpuh di hadapan ayahku. Aku meminta, mengemis dan memohon padanya untuk membiarkanku terus hidup.

Aku masih ingin sinar matahari menyentuhku.

* * *

Hening. Bahkan anginpun tak berani bertiup. Tak ada lagi suara dengung dari mesin-mesin penopang hidup.

Tak ada lagi masker, jarum-jarum atau pengikat pada tubuh. Tak ada lagi luka yang membawa parut pada tubuh yang dahulu berkulit halus.

Petugas-petugas paramedis menyelimutkan kain putih ke atas tubuh yang tak lagi bernyawa, mempersiapkannya untuk tindakan selanjutnya sebelum pemakaman.

Dia sudah pergi.

Keputusan yang bulat sudah dilaksanakan.

Tapi permohonannya bukan tidak diperhatikan.

Ia masih bisa melihat orang-orang yang dicintainya, meski tak bisa lagi menyentuh.

Ia bisa pergi ke mana ia mau, tak terbatas oleh kamar rumah sakit.

Dan ia masih bisa merasakan sentuhan sinar matahari

***

Dengan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ratih Soe.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun