Aku meloncat keluar dari tubuhku, meninggalkan perawat manis yang sedang bersiap-siap pergi. Kuhampiri jendela. Kulihat di tempat tidur, perawat itu menepuk pipiku lagi, membisikkan sesuatu yang menyejukkan, mungkin. Apa peduliku? Aku tersesat. Aku sang pengacara handal ternyata sama tak berdayanya dengan para pelaku kejahatan yang dulu kubela. Aku sudah dikutuk untuk mati.
Suara pintu mematikan rasaku. Kubalikkan badan dan aku tertegun ketakutan memandangi keluargaku. Ayah, Ibu, Lara, dokter,dan petugas paramedis berduyun-duyun memasuki kamar. Hampir tak kusadari aku gemetar seperti daun.
Jangan. Tolong, Tuhan. Jangan. Aku belum mau mati. Aku masih ingin bersama mereka. Aku ingin memeluk Lara-ku.
Tiba-tiba amarahku hilang. Dapat kumaafkan semua yang dikatakan Ayah dan Ibu pada Lara. Tetapi tolong, jangan singkirkan aku.
Aku terjatuh berlutut, air mata mengaliri pipiku. Aku bersimpuh di hadapan ayahku. Aku meminta, mengemis dan memohon padanya untuk membiarkanku terus hidup.
Aku masih ingin sinar matahari menyentuhku.
* * *
Hening. Bahkan anginpun tak berani bertiup. Tak ada lagi suara dengung dari mesin-mesin penopang hidup.
Tak ada lagi masker, jarum-jarum atau pengikat pada tubuh. Tak ada lagi luka yang membawa parut pada tubuh yang dahulu berkulit halus.
Petugas-petugas paramedis menyelimutkan kain putih ke atas tubuh yang tak lagi bernyawa, mempersiapkannya untuk tindakan selanjutnya sebelum pemakaman.
Dia sudah pergi.