Jadi pergilah aku dengan mata berat, menuju Lincoln-ku di pelataran parkir. Aku hampir jatuh tertidur ketika membuka pintu dan menjatuhkan diriku ke jok. Kuhela nafas, sarung jok terasa halus. Kupaksa diriku untuk terjaga ketika mesin mobil kunyalakan. Mobilku segera meluncur melalui pagar otomatis.
Ternyata menyetir pulang dalam keadaan seperti ini adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan. Bahkan sebelum mencapai jarak 50 meter, kepalaku sudah terkulai dan pegangan tanganku terlepas dari setir. Aku tidak menyadari sekelilingku sampai kudengar bunyi logam memukul permukaan yang keras. Sungguh bunyi yang memekakkan telinga. Kemudian gelap datang menyelimutiku.
***
Waktu berhenti. Dan seperti ada pengulangan.
Kurasakan rasa sakit yang dulu. Amat sangat. Pada mulanya aku juga merasakan suara-suara keras di sekelilingku. Kemudian aku bahkan mendengar orang-orang berseragam putih, dokter-dokter, perawat-perawat. Aku melihat Ayah, Ibu, adikku Nora, adik kecilku yang nakal Russel, dan Lara.
Dan... Lara.
Rasanya aku hampir tercekik ketika itu. Aku sadar betapa aku merindukannya dan betapa merananya aku melihatnya begitu menderita. Aku ingin berlari kepadanya dan meyakinkannya bahwa aku tidak apa-apa. Bahwa aku sudah tertolong. Bahwa operasi berjalan baik. Bahwa aku akan segera siuman.
Tapi waktu tetap bergeming.
Aku tidak pernah benar-benar siuman.
Oh, aku merasakan diriku bangun dan meninggalkan tempat tidur, berjalan ke jendela dan memberi salam pada matahari pagi. Setiap hari. Berulang-ulang. Seolah-olah aku terpenjara oleh waktu, di alam yang memisahkanku dari dunia yang kucinta.
Aku masih belum bisa meraihmu, Lara.