Mohon tunggu...
Shinta Amanda
Shinta Amanda Mohon Tunggu... Lainnya - umum

sukses ada di tangan mu

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Islam, Kepemimpinan Perempuan, dan Seksualitas

3 November 2020   19:19 Diperbarui: 3 November 2020   19:30 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diajukan sebagai tugas Mata Kuliah Teori Sosiologi Modern
Dosen: Dr. Neng Dara Afifah, M.Si
Oleh: Shinta Amanda
NIM: 11191110000068
Program Studi : Sosiologi
Fakultas: Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Identitas Buku:
Penulis: Dr. Neng Dara Afifah. M.Si
Judul: Islam, Kepemimpinan Perempuan dan Seksualitas
Penerbit Indonesia: Yayasan Pustaka Obor Indonesia
Cetakan: Jakarta, Desember 2017
Tebal: 200 Halaman
 
Di dalam buku ini terdiri dari tiga bab, yang Pertama, islam dan kepemimpinan perempuan. Kedua, Islam dan seksualitas perempuan. Ketiga, Perempuan islam dan negara. Pada bab pertama tentang Islam dan Kepemimpinan Perempuan, penulis menggambarkan pada zaman jahiliyah atau sebelum zaman Nabi Muhammad SAW. Perempuan dianggap sebagai manusia yang tidak utuh, dikerdilkan, dan diremehkan dan juga sebagai aib dan beban dalam keluarga oleh sebagian suku di Arab sana, dibandingkan dengan anak laki-laki. 

Pada zaman itu bila ada seseorang ibu yang melahirkan anak perempuan biasanya dibunuh atau dibuang oleh keluarga tersebut. Namun, semenjak zaman Nabi Muhammad SAW, persepsi tentang perempuan sebagai aib dan beban keluarga dihilangkan dan Nabi Muhammad SAW sangat menghormati dan memberi kesempatan kepada perempuan dengan memberikan hak dan kewajiban setara dengan laki-laki yang sesuai dengan syariat islam, terutama dalam bidang ilmu pengetahuan. 

Sebagai mana dijelaskan dalam Q.S.An-Nahl ayat 58-59. " Dan bila disampaikan berita kepada salah seseorang dari mereka tentang lahirnya seorang anak permpuan, hitamlah (merah padamlah) wajahnya dan ia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Akankah dipeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah ditanamnya dalam tanah? Wahai alangkah buruknya putusan yang mereka jatuhkan itu.

Diantara ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang kepemimpinan perempuan yang setara  dengan laki-laki masih jadi perdebatan dikalangan umat, karena tidak meperhatikan syariat islam seperti dalam perdebatan yang terdapat didalam surat An-Nisa:34 tentang penafsiran kata qowwam, yang berbunyi "Laki-laki adalah qowwam dan bertanggung jawab terhadap kaum perempuan". 

Kata qowwam ini lah yang menyebabkan kontra antara laki-laki dan perempuan terhadap suatu kepemimpinan. Persepsi bahwa laki-laki sebagai manusia utama, dan perempuan sebagai pelengkap. Pada realitas sejarah, kaum perempuan pada masa itu sangat rendah dalam pekerjaan, sedangkan laki-laki menganggap dirinya selalu ungggul karena kekuasaan dan kemampuan mereka dalam mencari nafkah. 

Padahal di hadapan laki-laki dan perempuan berkedudukan yang sama dan Allah memberikan kelebihan dan kekurangan pada masing-masing dirinya. Penolakan terhadap perempuan juga didasarkan oleh hadis yang berbunyi " tidak akan Berjaya suatu kaum/ masyarakat jika kepemimpinanya diserahkan kepada perempuan". Di dalam buku ini penulis juga memberikan solusi tentang kontra antara laki-laki dan perempuan terhadap suatu kepemimpinan. 

Pertama, sejak kecil seharusnya dibentuk pola pendidikan watak kepemimpinan perempuan dan laki-laki disetarakan dan tidak dibeda-bedakan. Kedua, laki-laki dan perempuan berhak memilih kebebasan sesuai dengan pilihan hatinya dan membuat diri mereka berkembang. Ketiga, biarkan laki-laki dan perempuan jatuh bangun dengan pilihannya, karena dalam proses itu muncul pendewasaan hidup dan otonomi diri. Keempat, menghindari pengrangkengan perempuan dalam sangkar emas, karena bias membuat perempuan kerdil dan gagap mencar perlindungan dalam berhadapan dengan realitas kehidupan yang nyata.

Pada bab kedua ini tentang islam dan seksualitas perempuan, penulis menggambarkan tentang konsep perkawinan. Perkawinan memiliki fungsi sebagai menciptakan sebuah ketentraman, kedamaian, serta menyatukan dua manusia laki-laki dan perempuan pada satu janji suci atas nama Tuhan, dimana janji suci itu sebagai bukti nyata mereka akan saling mencintai, melindungi, dan saling memelihara. 

Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran surat Ar-Ruum ayat 21 " Dan di antara tanda-tanda kebesaran-Nya adalah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenis-jenismu sendiri, agar km cenderung merasa tentram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang". 

Pada perspektif agama dalam perkawinan harus memilih pasangan hidup yang seagama, dikarenakan masalah keturunan yang berfungi untuk melestarikan agama, meneruskan dan menyebarkan nilai ajaran-ajaran. Dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 221 " Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahayaperempuan yang beriman lebih baik dari perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahi orang (laki-laki) musyrik dengan perempuan yang beriman sebelum mereka beriman. 

Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik dari laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surge dan ampunan dengan izin-Nya". Setiap agama mempunyai cara tersendiri, salah satunya dalam islam. 

Dalam islam meneruskan ajarannya melalui memperkenalkan kepada anak sejak dalam kandungan sampai ia lahir dari rahim ibunya, Pada saat masih dalam kandungan, orang tua memperkenalkan kepada anaknya dengan cara sering mendengarkan sholawat, sedangkan setelah ia lahir ke dunia pertama kali dengan cara dibisikkan ditelinganya kalimat adzan.

Posisi perempuan dalam keluarga, menurut ahli hukum bersifat perspektif feminis, menjabarkan di dalam suatu kekuasaan perempuan dianggap sebagai objek perbincangan pengaturan hukum, tidak dipandang sebagai subyek yang membatasi peran perempuan di dalam suatu keluarga dan di dalam kehidupan bernegara pada umumnya. 

Berbeda dengan syariat islam dan pendapat Nabi Muhammad SAW, yang memberikan kesetaraan perannya dengan laki-laki dengan syarat dan ketentuan berlaku di dalam hukum islam. 

Padahal perempuan memiliki kebebasan terhadap tubuhnya , berjiwa kepemimpinan yang dapat memimpin dirinya senidri, serta seharusnya perempuan memiliki kebebasan dalam memilih pilihannya, dengan siapa ia harus menikah, dan pilihan menolak untuk dipoligami.

Penulis juga membicarakan tentang poligami. Poligami dalam islam merupakan sebuah upaya mengatasi suatu permasalahan yang mendesak, salah satunya membantu ekonomi para janda yang telah kehilangan suaminya. 

Namun menikahi para janda tersebut tidak boleh lebih dari empat orang, khawatir tidak dapat berlaku adil. Dijelaskan dalam Al-Quran surat Annisa ayat 3 " Jika kamu khawatir tak dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, kawinilah perempuan-perempuan yatim tersebut sesuai dengan yang kamu sukai dua, tiga, atau empat. 

Namun, jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka cukup satu saja. Sebab yang demikian (dengan hanya satu tersebut) dapat menjauhkan kamu dari bersikap aniaya". 

Tetapi, poligami tersebut dapat disalahgunakan oleh laki-laki, karena keserakahan seksual seorang laki-laki. Kembali lagi kepada niat dari dalam diri laki-laki, apakah mereka berpoligami karena didasarkan untuk tujuan membantu ekonomi para janda atau hanya mencari pengalaman seksual.

Dapat disimpulkan dari masalah-masalah diatas, terdapat beberapa masalah yang memiliki motif diskriminatif terhadap perempuan yang terdapat dalam UU Perkawinan no.1 tahun 1974, yaitu pertama, tidak adanya pengaturan yang jelas tentang pencatatan perkawinan (nikah siri). Ketidakjelasan ini menyebabkan perempuan pada posisi yang dirugikan, seperti tidak mempunyai kekuatan hokum dalam hak asuh anak, hak waris, dan hak-hak istri. 

Kedua, pengaturan pasal poligami. Seorang istri biasnya lebih milih bercerai daripada dimadu, mereka mengambil keputusan itu karena rata-rata mereka tidak ingin berbagi suami, khawatir suami tidak bisa adil kepada istri-istrinya. Ketiga, peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dan laki-laki sebagai kepala keluarga. 

Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan laki-laki sebgai kepala rumah tangga telah menyangkal keberadaan perempuan sebagai kepala rumah tangga. Padahal diIndonesia rata-rata terdapat rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan, yang terdiri dari istri yang ditinggal suami, percaeraian, dan suami sakit atau pengangguran.

Pada bab terakhir ini tentang perempuan, islam, dan negara, yang memusatkan pada fenimisme dalam islam dan menegakkan hak dasar perempuan. 

Fenimisme merupakan suatu gerakan perempuan yang menjelaskan kondisi kehidupan yang dijalani oleh perempuan tentang isu-isu yang digugat dan diperdebatkan dalam upaya menegakkan hak-hak dasar manusia. Fenimisme juga dapat diartikan sebagai kesetaraan akan perbedaan fisik antara perempuan dan laki-laki, tapi kesempatan dalam hidup harus sama. 

Misalnya dalam kesempatan untuk memperoleh pendidikan, ekonomi, demi kehidupan yang sejahtera dan adil. Fenimisme sangat penting untuk perkembangan kebudayaan Indonesia. Fenimisme dalam islam merupakan sebuah konsep keadilan yang menopang dan mempengaruhi penafsiran terhadap syariah, dan hokum hak asasi manusia (HAM). 

Fenimisme dapat dianalisa melalui Analisa gender, melalui analisa gender ini dapat menjadi kaca pembesar untuk melihat dan memahami ketidakadilan hubungan antara laki-laki dan permpuan. Kaca pembesar ini dapat melihat penafsiran tentang feminis atas ajaran Al-Quran dan hadis, serta hokum islam. 

Dalam ajaran islam, gender ini mempengaruhi berbagai bentuk kebudayaan, mengontaminasi tafsir keagamaan, merasuki berbagai undang-undang, hokum maupun kebijakan. Terdapat Undang-Undang tentang penghapusan segala bentukk diskriminasi terhadap perempuan, yang mengakui hak asasi perempuan sebagai hak asasi manusia, serta menjamin hak Pendidikan dan partisipasi politik setara dengan laki-laki ( UU No. 7/1984).

Pada era demokrasi terdapat penolakan yang cukup tajam terhadap gagasan yang diperjuangkan oleh kelompok gerakan perempuan. Salah satunnya, , organisasi wanita Hizbut-Tahrir Indonesia  (HTI) yang melakukan aksi unjuk rasa pada Hari Ibu 22 Desember 2006. Unjuk rasa itu bertujuan sebagai penolakan terhadap konsep-konsep kesetaraan gender. 

Penolakan tersebut didasarkan pada argument bahwa kesetaraan gender merupakan misi liberalisasi yang hendak disebarkan kepada muslim perempuan di seluruh dunia termasuk Indonesia. Terdapat  27 peraturan daerah yang bernuansa islam dan menunjukkan arah kemunduran bagi gerakan perempuan. 

Ciri-ciri yang menonjol dari peraturan tersebut adalah, Pertama, pengaturan seksualitas perempuan yang berkaitan dengan hak perempuan untuk mengendalikan tubuhnya, dan perarturan menggunakn jilbab. Perempuan yang tidak memakai jilbab akan dikenakan sanksi hukum yang berlaku Karena, perempuan yang memakai jilbab dipandang sebagai identitas busana perempuan islam, dimana menunjukkan simbol ia islami atau tidak islami. Kedua, membatasi perempuan dalam hal akses pekerjaan dan ekonomi. 

Perempuan ditempatkan sebagai penyulut ketidakteraturan moralitas dengan membatasi keluar malam hingga jam 10.00. Padahal banyak perempuan yang harus bekerja di malam hari, seperti perempuan yang bekerja di rumah sakit yang menggunakan system sift kerja. Dalam hal ini pembatasan tersebut berdampak pada hak perempuan atas akses ekonomi dan pekerjaan.  

Ketiga, mengatur mortalitas perempuan. Dalam undang-undang pornografi disebutkan bahwa tujuan dari undang-undang ini adalah untuk melindungi perempuan dan anak dari komersialisasi pornografi. Pada diskriminasi perempuan dengan menutup aksesnya terhadap pekerjaan sebagai model yang dipersepsikan sebagai porno. 

Padahal konsep pornografi masih belum bulat terkait menyangkut persepsi individu yang sering subyektif dan menyangkut imajinasi sesorang. Terkait terhadap persoalan diatas, kita bisa memahami bahwa demokrasi adalah bukan sistem yang sempurna, karena ia memberikan ruang yang sangat lebar terhadap kekuatan-kekuatan yang tidak demokratis.

Sedangkan, pada Era Reformasi gerakan perempuan mencapai berbagai kemajuan sekaligus juga kemunduran bersifat benar dan salah pada saat yang bersamaan. Salah satu pencapain dalam gerakan perempuan adalah melindungi hak-hak perempuan dalam upaya membebaskan dalam tindak kekerasan. 

Dampak dari kekerasan perempuan diantaranya, kekerasan seksual, pengucilan dari komunitas, penurunan kesehatan dan gangguan jiwa, kehilangan akses ekonomi, kehilangan hak untuk berkeluarga, kehilangan status kependudukan.

Di sisi lain juga banyak sejumlah pria yang ikut menyuarakan dan mendukung gerakan perempuan, baik secara politik maupun sosial, terutama dukungan terhadap gerakan pembebasan perempuan dan ketidakadilan gender, khususnya pencegahan kekerasan terhadap perempuan. Gerakan ini menyadari bahwa sistem ini tidak hanya merugikan perempuan, 

namun juga merugikan para laki-laki, karena sistem ini lebih menuntut laki-laki untuk menunjukkan agresivitas dengan sisi maskulinnya, seperti kehalusan dan perasaan sedih. Suara pria dalam menyuarakan gerakan ini sangatlah penting karena perjuangan penghapusan diskriminasi tersebut tidaklah ringan. Karena itu, peran pria dalam perjuangan penegakkan hak-hak perempuan dan penghapusan diskriminasi terhadapnya sangat dibutuhkan sebagai sebuah ikhtiar menuju masyarakat yang setara dan adil bagi semua.

Pada bab terakhir ini penulis juga mendeskripsikan tentang keperawanan dalam perspektif islam. Dalam islam perbincangan mengenai keperawanan ada tiga perspektif, yaitu Pertama, status seorang perempuan yang sudah menikah atau janda. Perempuan yang masih perawan memiliki nilai jual yang tinggi dibanding seorang janda, nilai jual yang tinggi itu adalah mas kawin yang diberikan oleh laki-laki. Kedua, menghindari zina di luar nikah. 

Dijelaskan dalam Al-Quran surat Al-Israk ayat 32 " Janganlah kamu mennghampiri zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan jalan yang terburuk". Ketiga, konstruksi "harga" bagi seorang perempuan dalam perspektif masyarakat partriakis. Bagi masyarakat partriakis, keperawanan menjadi titik tolak utama dalam mempertimbangkan perkawinan maupun perceraian. Dalam masalah keperawanan, perempuan selalu dalam posisi yang disalahkan. Banyak laki-laki yang memilih lebih memilih perempuan yang selaput darahnya yang masih utuh dibanding tertarik dengan kepribadiannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun