Mohon tunggu...
Shindy Nilasari
Shindy Nilasari Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

masih terus belajar untuk membanggakan ortu :)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kami Ada Tapi Tak Terlihat

9 Mei 2016   11:04 Diperbarui: 9 Mei 2016   11:32 1287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mobil taksi di Pegunungan Tengah Papua | Dokumentasi: Shindy Nilasari

Waktu masih menunjukkan pukul 07.00 WIT, tapi mentari sudah bersinar amat terik di langit Lembah Hitam, Karubaga. Mungkin karena tempat ini berada di ketinggian setara puncak gunung, makanya matahari bersinar lebih awal, pikirku.

Karubaga, kota kecil yang sebenarnya indah andai saja sedikit lebih diperhatikan. Kota yang berada di Kabupaten Tolikara yang masih masuk ke dalam wilayah Pegunungan Tengah Papua. Tempat ini sebenarnya sebelas-dua belas saja sama Puncak-Bogor di Jawa Barat sana. Hawa dingin khas pegunungan serta deretan bukit yang mengelilinginya, seperti berada di dalam mangkuk. Kalian pernah nonton film Di Timur Matahari nggak? Nah, bentang alam Tolikara mirip dengan yang ada di film itu.

Nama Tolikara mungkin saat ini sudah terdengar tidak terlalu asing di telinga kita. Akhir-akhir ini kabupaten yang satu ini memang tengah mendapatkan banyak sorotan - sayangnya disorot karena hal negatif. Masih lekat dalam ingatan peristiwa pembakaran tempat ibadah saat Hari Raya Idul Fitri tahun lalu, dan baru-baru ini terulang lagi pembakaran rumah karena masalah sosial dan merenggut korban jiwa. Semboyan Kabupaten Tolikara "Nawi Arigi", yang artinya kecintaan akan tanah kelahiran yang mendalam, membuat kita yang berada di Kabupaten Tolikara merasa memiliki dan ingin berbuat yang terbaik untuk kabupaten - seakan masih jauh panggang dari api.

Mau Sampe Kapan Ko Palang Jalan?

Oke. Saya udah packing dari jauh-jauh hari. Bersiap mau berangkat ke Wamena untuk selanjutnya melanjutkan perjalanan ke Jayapura. Perhelatan akbar - pesta rakyat sedang diselenggarakan bulan ini. Bukan Pemilu loh, apalagi pertandingan sepak bola. Sensus. Yak, Sensus Ekonomi 2016 sedang dilaksanakan bulan Mei ini. Tapi, catatan ini bukan tentang sensusnya. Kalau itu mah, udah banyak yang bikin. Biar anti-mainstream. Hehehehe :D

FYI, perjalanan dari Karubaga (Tolikara) ke Wamena (Jayawijaya) bisa ditempuh dengan jalur darat dan udara. Kalau pakai darat, ya naik mobil taksi dengan biaya dua ratus ribu rupiah kalau duduk di dalam, kalau di luar saya lupa. Seratus ribu apa lima puluh ribu gitu.. Waktu tempuhnya sekitar empat sampai lima jam perjalanan - tergantung kecepatan mobil yang dibawa si sopir dan tergantung ada berapa banyak palang yang harus dilewati. Taksinya bukan seperti taksi-taksi pada umumnya loh, ya. Taksi antar kabupaten di Pegunungan Tengah modelnya Strada, Hilux, dan sebagainya. Mobil-mobil bak terbuka 4 WD. Kadang ada juga yang numpang truk kuning besar yang angkut barang.

Jangan harap selamat kalau pake mobil biasa, adanya juga terbenam di lumpur-lumpur atau mobilnya bakal mundur lagi karena nggak kuat naik tanjakan. Untuk yang suka motion sickness jangan iseng-iseng kesini. Off Road di Jawa sana kalah ekstrem. Bahaya...

Selain mobil, bisa juga naik pesawat dengan biaya enam ratus ribu rupiah untuk penerbangan 25 menit. Itu kalau naik pesawat Demonim Air (Kalau tidak salah isi 7 penumpang). Kalau naik pesawat Susi Air (isi 10 penumpang) biayanya empat ratus lima puluh ribu. Tapi, tiketnya juga tidak selalu ada - malah cenderung susah didapat. Selain itu, harga tiketnya juga fluktuatif. Kalau harga sedang tidak normal malah bisa lebih mahal. Harga tiket pesawat justru lebih murah yang tujuan Wamena-Tolikara, sekitar dua ratus lima puluh ribu rupiah karena dapat subsidi.

Okay, back to the topic. Sayangnya, hari ini saat ini saya kurang beruntung. Pesawat tidak ada yang terbang, dan penerbangan baru ada lagi sekitar tanggal 11 Mei. Semua seat sudah full.. Mau naik mobil, tidak ada mobil yang jalan karena sedang ada palang di sekitar wilayah Kurulu, Jayawijaya. Katanya ada anggota DPR yang meningal, dan akhirnya masyarakat memalang jalan.

Dan singkat cerita, akhirnya saya baru dapat mobil untuk pergi ke Wamena tiga hari kemudian, Jumat, 6 Mei 2016. Masyarakat sudah membuka palang. Jadilah, saya bersama dengan seorang teman kantor pergi ke Wamena - karena kalau nggak nekat atau terpaksa banget saya nggak akan mau naik mobil taksi sendiri. Baru sebentar mobil jalan menuju Wamena, tepat di sekitar wilayah Distrik Kubu, Kabupaten Tolikara pemalangan kembali terjadi.

ppaaaa-573012804323bd25078a6766.jpg
ppaaaa-573012804323bd25078a6766.jpg
Palang Jalan di Distrik Kubu, Kabupaten Tolikara. Jumat, 6 Mei 2016. Dok: Shindy Nilasari

Mobil taksi di depan kami dipaksa berhenti. Sebenarnya, supir-supir taksi sudah tahu bahwa akan ada palang di sekitar wilayah ini, tapi hanya palang hidup biasa - kasih uang, langsung bisa lewat. Palang-palang semacam ini lumrah dan sudah biasa terjadi. Tapi, palang kali ini ternyata nggak cuma sekedar palang biasa...

"Nah, ini palangnya.", kata supir yang membawa kami.

Tak lama, seorang pace yang tampaknya tokoh masyarakat disana menghampiri mobil kami.

"Bapak, sekarang kalian tidak bisa lewat. Kami ada palang jalan ini. Kami ada pu anggota DPR meninggal. Kami mau KPU, DPRD, sama Bupati datang kasih penjelasan baru bisa buka palang.", ujar si pace yang ternyata bernama A*min.

Singkat cerita, supir mobil kami keluar dan bicara dengan si pace A*min ini. Pembicaraannya sepertinya alot sekali, sampai akhirnya suasana mulai tegang. Supir mobil yang kami tumpangi ini berani melawan A*min dan adu mulut pun terjadi. Keras sama keras. Jarang sekali ada warga pendatang yang berani melawan masyarakat, pikir saya.

"Kalo ko punya urusan sama Bupati, jangan bawa-bawa kami. Kita ini orang kecil cuma mau cari makan saja. Saya ada mau pergi tugas ini! Ko maunya apa, hah?!!, bentak si bapak supir.

"Saya mau bupati datang kasih penjelasan!!!"

"Saya ngerti maksud ko! Ko mo jadi anggota DPR to?! Kalo ko mau, datangi bupati sana! Jangan main palang-palang begini!!"

"Sa tidak mau tau!! Pokoknya, KPU, DPRD, sama Bupati harus datang!!!"

Suasana makin tegang, satu per satu masyarakat kampung mulai keluar. Sebagian membawa parang. Sebenarnya, melihat masyarakat Pegunungan Tengah kemana-mana membawa parang adalah hal yang biasa - mungkin saja mereka mau pergi ke kebun. Tapi, kalau situasinya sudah seperti ini jadi was-was juga..

"Kenapa, hah?!! Ko mau penggal sa?! Ayo, penggal sudah!! Penggal sa disini!!", bentak si bapak supir.

Orang-orang yang berhenti karena palang hanya bisa melihat. Beresiko sekali kalau terlibat perkelahian dengan masyarakat. Saya cuma bisa diam melihat dari dalam mobil.

"Saya mau penjelasan!!!"

"Kalo ko mau penjelasan datang ke Bupati sana!!! Jangan bawa-bawa torang!!!"

Ya, Tuhan... Kalau sampai salah-salah bicara mungkin bisa kena tembak ini. Saya belum siap...

Singkatnya, ada sekitar satu jam kami tertahan di distrik ini. Antrian mobil di belakang sudah mulai panjang. Pembicaraan sudah tidak setegang tadi, dan nampaknya si pace ini kewalahan menanggapi bantahan supir mobil kami.

Entah apa yang mereka bicarakan, akhirnya mobil kami bisa lewat melanjutkan perjalanan. Sepanjang jalan supir mobil yang kami tumpangi bercerita bahwa ternyata si pace A*min yang tadi memalang jalan adalah mantan kenek mobilnya waktu di Terminal Tolikara.

"Si A*min itu tadi mantan kenek saya. Dia yang bantu-bantu saya di Terminal Tolikara. Cuma karena dia pu badan besar, rambut talingkar (maksudnya, rambut yang sangat-sangat keriting), brewokan, muka macam OPM, makanya tara ada yang berani sama dia. Dia itu sebenarnya baik, tapi ya begitulah manusia. Urusannya cuma satu, kalo ada uang beres. Iya to??"

"Hmmm...", gumam saya.

"Pantas tadi bapak berani sekali tantang dia...."

"Dia itu dulu suka palang-palang minta uang. Uangnya nanti buat beli minum buat mabuk. Dia cerita, dia pu teman-teman yang sama-sama palang mati satu-satu. Gara-gara mabuk to? Dorang campur air aki sama alkohol itu... Bikin pendek umur saja. Dia bilang takut nanti kalo tiba-tiba mati seperti dia pu teman-teman. Dia tara mau palang-palang begitu lagi."

"Baru, kenapa tadi dia palang lagi?"

"Dia bilang palang yang tadi beda. Tadi itu palang politik, bukan palang minta uang. Hahaha. Sama saja to? Sama-sama palang. Padahal kalo mereka palang yang susah ya mereka sendiri. Coba saja palang jalan satu bulan. Se-Tolikara bisa kelaparan. Siapa yang mau bawa sembako masuk?!"

Nah, begitulah yang terjadi disini, teman. Hal-hal semacam itu biasa terjadi di wilayah ini. Tempat yang sebenarnya indah - dengan segala keterbatasannya. Bersyukurlah kalau kalian masih bisa berteduh di tempat yang aman, makan nasi hangat dengan sepotong lauk ayam atau ikan, dan minum air putih yang bersih. Sesuatu yang sebenarnya amat murah, tapi di bagian negeri yang lain semua itu menjadi amat-sangat mahal.

Berbotol-botol air minum, daging-dagingan beku, dan berbagai macam sembako, serta barang kebutuhan hidup sehari-hari setiap harinya diangkut menggunakan pesawat dari Jayapura atau Biak menuju Wamena, pusat kegiatan ekonomi di Pegunungan Tengah Papua. Barang-barang dari Jayapura pun sebagian besar didatangkan dari Jawa kan, yah? Hehe

Setibanya di Wamena, barang-barang tersebut didistribusikan lebih lanjut ke wilayah-wilayah pemekaran lain. Beruntung jika bisa menggunakan jalur darat, sebagian masih ada yang harus menggunakan pesawat. Bayangkan saja berapa banyak margin cost yang harus dikeluarkan? Dan bayangkan berapa harga yang harus dibayar konsumen untuk mendapatkan barang-barang itu? Itu hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan dasar saja.

Untuk sebotol air mineral 600 ml saja harus membayar 15.000 rupiah. Seporsi nasi putih dan ayam goreng dengan rasa biasa harganya sekitar 35.000 rupiah. Biskuit malkist kecil yang biasanya 4.000an jadi 10.000 atau 15.000. Rasa-rasanya saya sudah lama nggak lihat koin 500 atau uang pecahan 1.000 atau 2.000. Harga barang disini semuanya kelipatan 5.000. Jadi, 5.000 adalah nilai uang paling kecil. Di bawah itu, cuma dapat gula-gula (permen) saja...

Oh, sedih jika harus membayangkannya. Makanya, ketika sampai di kota dan jalan-jalan di sekitar pusat perbelanjaan, seringkali melihat sisa-sisa makanan enak yang nggak dihabiskan kok rasanya nyelekit banget ya... Haha, bukannya sentimental. Tapi, ketika kamu pernah merasakan berada di kedua situasi yang amat berbeda itu, bakalan paham kok rasanya.

Makanya, buat kamu yang masih suka buang-buang air minum gelas mentang-mentang harganya cuma 500, pikir lagi deh. Saya juga dulu begitu, makanya ini pelajaran buat saya dan semua yang baca catatan ini. :)

Masih Ada Yang Bisa Kita Contoh, Kok. Ada Mama-Mama Tangguh. :)

Rasa-rasanya nggak adil kalau bercerita tentang Papua hanya melihat dari kekurangannya saja. Di Papua ada banyak sosok wanita hebat, loh. Bukan seperti tipikal wanita-wanita karier atau wanita dengan wawasan selangit yang suka menjinjing tas cantik yang biasa ada di kota besar sana. Tapi, sosok wanita yang menurut saya benar-benar hebat dan kuat dalam arti yang sebenarnya.

Ribuan kilo jalan yang kau tempuh...

Lewati rintang untuk aku, anakmu...

Ibuku sayang, masih terus berjalan...

Walau tapak kaki penuh darah, penuh nanah...

Nggak berlebihan kalau lagu Iwan Fals yang judulnya Ibu ini saya pakai untuk menggambarkan ketangguhan wanita-wanita Papua. Lirik lagunya persis sama seperti perjuangan mama-mama ini untuk anaknya.

Teman, di Pegunungan Tengah Papua semua wanitanya pekerja keras. Setiap pagi sampai sore mereka bekerja ke kebun di lereng gunung. Kebun-kebun disana ekstrem bukan main. Tidak datar, miring... Salah-salah pijak bisa tergelincir. Mereka pergi berkebun sambil membawa noken - tas rajutan khas Papua yang dikait di atas kepala dan membawa serta anak-anak mereka. Termasuk anak babi.. Jangan aneh, di Papua babi memang merupakan hewan sakral bagi masyarakat setempat. Itulah harta mereka...

Mereka mencangkul tanah, menanam, memanen, dan akhirnya membawa hasil kebunnya untuk dijual ke pasar. Berjalan kaki menempuh jarak berkilo-kilo sambil memanggul hipere (ubi), sayur-sayuran, dan hasil bumi lain di dalam noken yang dikaitkan di kepala - tanpa alas kaki. Makanya, kalau kalian suka memperhatikan kaki-kaki masyarakat Pegunungan Tengah (kebiasaan, hihi) akan terlihat telapak kaki mereka lebih lebar dengan kulit yang sangat kasar.

Bukan itu saja rintangan yang harus mereka jalani. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih kerap kali terjadi disini, dan sayangnya itu juga hal biasa. Pernah nonton film Di Timur Matahari yang adegan ketika si mama dipukul suaminya karena dikira selingkuh? Atau ketika si mama potong jari karena suaminya meninggal? Itu juga masih terjadi disini.

papua-573012c6379773f804147129.jpg
papua-573012c6379773f804147129.jpg
Mama-Mama Kampung Hitigima, Jayawijaya. Dok: Shindy Nilasari

Mama-mama Papua tidak mengenal bedak atau alat kecantikan lainnya untuk terlihat menawan. Cantiknya mereka itu disini, loh... Di hati. Hehehe :D

Semoga Bermanfaat. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun