Mobil taksi di depan kami dipaksa berhenti. Sebenarnya, supir-supir taksi sudah tahu bahwa akan ada palang di sekitar wilayah ini, tapi hanya palang hidup biasa - kasih uang, langsung bisa lewat. Palang-palang semacam ini lumrah dan sudah biasa terjadi. Tapi, palang kali ini ternyata nggak cuma sekedar palang biasa...
"Nah, ini palangnya.", kata supir yang membawa kami.
Tak lama, seorang pace yang tampaknya tokoh masyarakat disana menghampiri mobil kami.
"Bapak, sekarang kalian tidak bisa lewat. Kami ada palang jalan ini. Kami ada pu anggota DPR meninggal. Kami mau KPU, DPRD, sama Bupati datang kasih penjelasan baru bisa buka palang.", ujar si pace yang ternyata bernama A*min.
Singkat cerita, supir mobil kami keluar dan bicara dengan si pace A*min ini. Pembicaraannya sepertinya alot sekali, sampai akhirnya suasana mulai tegang. Supir mobil yang kami tumpangi ini berani melawan A*min dan adu mulut pun terjadi. Keras sama keras. Jarang sekali ada warga pendatang yang berani melawan masyarakat, pikir saya.
"Kalo ko punya urusan sama Bupati, jangan bawa-bawa kami. Kita ini orang kecil cuma mau cari makan saja. Saya ada mau pergi tugas ini! Ko maunya apa, hah?!!, bentak si bapak supir.
"Saya mau bupati datang kasih penjelasan!!!"
"Saya ngerti maksud ko! Ko mo jadi anggota DPR to?! Kalo ko mau, datangi bupati sana! Jangan main palang-palang begini!!"
"Sa tidak mau tau!! Pokoknya, KPU, DPRD, sama Bupati harus datang!!!"
Suasana makin tegang, satu per satu masyarakat kampung mulai keluar. Sebagian membawa parang. Sebenarnya, melihat masyarakat Pegunungan Tengah kemana-mana membawa parang adalah hal yang biasa - mungkin saja mereka mau pergi ke kebun. Tapi, kalau situasinya sudah seperti ini jadi was-was juga..