"Ini saya," Pemuda itu meletakkan telapak tangan ke dadanya, Â "Amat!" kata dia pada akhirnya. Mungkin tidak enak membiarkanmu berpikir keras hanya untuk mengingatnya.
Astaga! Kamu sedikit tercekat.
"Kak Amat?"
Kamu kemudian teringat pada anak lelaki pendek berkulit cokelat dan beralis tebal saat masih di bangku sekolah dasar. Tetangga waktu masih tinggal di Mess Babinsa.
Pemuda itu tersenyum, "Kakakmu apa kabar?"
Lagi-lagi yang ditanyai kakak, katamu dalam hati, "Alhamdulillah baik, Kak."
"Oh, iya, kamu lagi nggak buru-buru, kan? Saya mau ngasih sesuatu."
Oh, My God! Kamu tersedak dan sedikit cemas. Apa yang hendak pemuda itu berikan ke kakak? Kamu mulai berpikiran macam-macam, misalnya apa jangan-jangan Kak Amat naksir kakak? Tapi kakak kan sudah menikah.
"Enggak buru-buru, kan?" Kak Amat mengulangi pertanyaannya.
Buru-buru kamu menjawab, "Enggak, Kak."
Pemuda tinggi itu lantas memilih sebuah tas. Tas selempang berbahan kulit berwarna navy, dengan hiasan perak berbentuk absrtrak di bagian sudut bawah kanan. Ukurannya tidak terlalu besar. Cukup lega untuk menampung notebook sebelas inci, tas make-up, buku saku, dan ponsel cerdas lima inci.