Kamu merasa perlu mengganti tas punggung yang sudah sejak semester pertama kamu beli di pasar loak itu. Kali ini kamu berkeinginan membeli tas, yang setidaknya bukan barang bekas seperti tasmu sebelumnya. Kamu mulai mendatangi pertokoan terdekat, sepulang kerja. Menyusuri jajaran toko yang ada, mencari tas punggung, yang modelnya biasa saja, warna hitam bila perlu, tidak terlalu mahal, tapi bisa tahan lima tahun lagi.
Setelah berjalan beberapa lama, kamu akhirnya memutuskan memasuki sebuah toko yang tidak terlalu besar, namun cukup lega untuk memajang tas-tas dengan model beragam. Sementara melihat-lihat tas, seseorang menepuk pundakmu dari belakang. Kamu berbalik, membingkai wajah pemuda di depanmu dengan kening berkerut.
Pemuda itu semringah, "Kamu adiknya Miranti, kan?"
Pertanyaan itu mengantarmu pada ingatan masa lalu, waktu masih berseragam putih abu-abu, di mana sering sekali kakak kelas menanyakan hal itu padamu. Ujung-ujungnya mereka mendekatimu hanya agar bisa dekat dengan kakak.
"Kamu adiknya Miranti, kan?" ulang pemuda berkulit cokelat itu.
Dalam hati kamu sedikit cemas, mengingat kakak sudah lama menikah, dan saat ini bahkan sedang mengandung anak keempat.
"Halo!" pemuda itu melambaikan tangan di depan wajahmu, pelan.
Sedikit canggung yang bercampur dengan perasaan tersedak kamu pun menjawab, "I-iya."
"Wah, kebetulan sekali, masih ingat saya?"
Kamu memutar kembali ingatan beberapa tahun silam, ingatan yang tersimpan paling dalam pada lipatan masa lalumu saambil secara perlahan membingkai inci demi inci wajah pemuda di hadapan. Pemuda bermata besar, dan beralis tebal. Kulitnya kecokelatan, dengan tinggi sekitar sepuluh senti dari kepalamu.
Gagal. Kamu sama sekali tidak bisa mengingat dengan baik siapa pemuda di hadapanmu. Kakak kelas waktu SMA tidak ada yang model begitu. Tapi entah mengapa kamu merasa begitu familier dengan pemuda berkacamata itu.
"Ini saya," Pemuda itu meletakkan telapak tangan ke dadanya, Â "Amat!" kata dia pada akhirnya. Mungkin tidak enak membiarkanmu berpikir keras hanya untuk mengingatnya.
Astaga! Kamu sedikit tercekat.
"Kak Amat?"
Kamu kemudian teringat pada anak lelaki pendek berkulit cokelat dan beralis tebal saat masih di bangku sekolah dasar. Tetangga waktu masih tinggal di Mess Babinsa.
Pemuda itu tersenyum, "Kakakmu apa kabar?"
Lagi-lagi yang ditanyai kakak, katamu dalam hati, "Alhamdulillah baik, Kak."
"Oh, iya, kamu lagi nggak buru-buru, kan? Saya mau ngasih sesuatu."
Oh, My God! Kamu tersedak dan sedikit cemas. Apa yang hendak pemuda itu berikan ke kakak? Kamu mulai berpikiran macam-macam, misalnya apa jangan-jangan Kak Amat naksir kakak? Tapi kakak kan sudah menikah.
"Enggak buru-buru, kan?" Kak Amat mengulangi pertanyaannya.
Buru-buru kamu menjawab, "Enggak, Kak."
Pemuda tinggi itu lantas memilih sebuah tas. Tas selempang berbahan kulit berwarna navy, dengan hiasan perak berbentuk absrtrak di bagian sudut bawah kanan. Ukurannya tidak terlalu besar. Cukup lega untuk menampung notebook sebelas inci, tas make-up, buku saku, dan ponsel cerdas lima inci.
"Apa dibungkus pake kertas kado saja?" Kak Amat bersuara pelan, seperti bertanya pada dirinya sendiri.
Kamu semakin khawatir. Agak ragu kalau perkiraanmu jangan sampai benar. Maka kamu merasa perlu memberitahu kalau kakak sudah menikah. Lebih baik Kak Amat tahu sekarang, ketimbang kecewa dengan kenyataan yang ada.
"Em ... Kak Amat?" kamu bersuara pelan.
"Iya?" pemuda bermata cokelat itu merespons dengan cepat.
"Kakak tahu kalau Kak Nir sudah menikah?"
Pemuda itu terlihat tenang. Bahkan terlalu tenang untuk sebuah kabar yang menurutmu akan begitu mengejutkan.
"Tahu, kok." Kak Amat menjawab dengan tersenyum.
Waduh. Apa Kak Amat berencana merusak hubungan pernikahan kakak? Kamu mulai berpikiran tidak-tidak. Mencemaskan isi kepalamu sendiri, lantas bergumam pelan, "Kak Amat tahu kakak udah nikah tapi kok masih ngasih tas? Tujuannya apa?"
"Hah? Kamu ngomong apa barusan?" rupanya Kak Amat mendengar gumamanmu.
"Eng-enggak, kok," kamu tidak bisa menyembunyikan kecemasanmu. "Kak Amat kenapa ngasih tas ke kakak? Tujuannya apa? kalau kakak ipar berpikir macam-macam, kan, repot!" kamu akhirnya mengeluarkan isi kepalamu.
Kak Amat tersenyum, menggeleng-geleng kepala dan menjentikkan tangannya ke keningmu.
"Adik manis, kata siapa ini untuk Miranti? Ini untuk perempuan manis di depan saya."
Kak Amat melangkaah ke belakangmu, melepaskan tas yang menempel di punggungmu, lalu mengucap, "Sepertinya tas ini sudah terlalu lama berada di punggung ini," pemuda itu melangkah ke meja kasir, membayar tas di tangannya kemudian mengeluarkan isi tas punggung milikmu lantas memasukkannya ke tas selempang berwarna navy itu.
Kamu masih mematung di tempatmu ketika Kak Amat mendekat dan mengalungkan tas selempang itu di bahumu.
 "Kakak heran kenapa kamu selalu mengira kalau kakak punya hati ke Miranti," Kak Amat meremas pundakmu, "Padahal satu-satunya perempuan yang mampu menggetarkan hati saya, sejak dulu itu cuma satu, Kamu, adiknya Miranti."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H