Sementara Hamdani menerobos gerbong demi gerbong kereta ekonomi untuk mendapatkan tempat duduk, tetapi tak ada. Maka ia bergelantungan pada pegangan besi di dinding gerbong kereta yang tak mengenal pembatasan penumpang. Lelah, pegal, bulir-bulir keringat mengalir di dahi dan sekujur tubuhnya, tapi rindunya pada emak menjadikannya lelaki terkuat sejagad raya.
Emak sakit keras, perempuan setengah baya itu memang memiliki kelainan jantung yang terkadang kumat tanpa permisi. Hamdani tak siap kehilangan ibunya, semenjak kecil ia telah banyak kehilangan kasih sayang ayahnya yang melaut dan tak kunjung kembali ke daratan. Apakah ayah masih hidup? Misteri itu belum terpecahkan hingga kini.
Sesampainya di rumah yang beratap rumbia, emak telah dikerubungi adik-adiknya. Sebagai anak tertua emak memang dihormati dan disayangi keluarga besarnya. Namun mereka tak mampu membawa emak ke rumah sakit, hati Hamdani pedih. Uang saku dari emak dan tabungannya selama dua tahun di pesantren diserahkan untuk membawa emak ke rumah sakit terdekat.
“Mak … Mak harus sehat ya, Dani masih ingin berbakti pada Emak. Emak harus naik haji sama Dani dan menantu Emak nanti.”
Emak tersenyum mengetahui bujangnya sudah memikirkan jodoh.
“Kau sudah dewasa rupanya.” Emak tersenyum lemah, garis-garis kerut menghiasai seputar mata dan ujung bibirnya yang mengering. “Ada satu hal yang perlu kamu ketahui, Nak. Perihal bapakmu ….”
Hamdani mendekat ke sisi wajah emak.
“Bapak? Emak bertemu Bapak? Dia masih hidup?”
Emak tak langsung menjawab, linang air mata di pipinya menderas, seseunggukan dan membuatnya batuk tak keruan. Hamdani menyendoki air minum untuk Emak. Bersabar menanti kelanjutan cerita.
“Beliau masih hidup. Punya keluarga baru setelah sempat tenggelam bersama perahunya, lantas hilang ingatan dan kemudian dirawat oleh istrinya yang sekarang.”
Hamdani mengeratkan genggaman tangannya pada emak. Tak terasa jatuh sudah air mata lelaki yang mendewasa itu.