“Bukan hari ini, tapi aku mau sekadar bantu Ustazah angkat air galon.”
Jumadi berdehem, entah bagaimana teman satu kamar Hamdani itu seperti membaca gelagat aneh dari kawan bawah ranjang besinya.
Dengan sekuat tenaga, Hamdani mengangkat galon ke ruang aula santriwati. Ustazah Hamidah berterima kasih dan meminta Hamdani untuk minum lebih dahulu.
“Sudah berapa santriwati di sini, Ustazah?” Hamdani memberanikan diri bertanya.
“Alhamdulillah terus bertambah. Penerimaan santriwati bulan lalu menambah anggota sembilan puluh lima. Jadi total ada dua ratus lima puluh satu santriwati di sini.”
“Banyak ya, Uztazah. Syukurlah … hmmm saya permisi dulu. Terima kasih, Ustazah.”
“Ustazah yang berteima kasih padamu Nak. Kau berinisiatif membantu Ustazah. Semoga betah di sini ya, dan nanti lulus bisa jadi Ustaz yang mampu membina santri lebih baik lagi dari kami ini.”
Hamdani mengamini dan berpamitan. Ustazah kembali ke ruang kantor. Hamdani celingak-celinguk mencari-cari sesuatu.
“Nah itu airnya sudah terisi lagi. Wah, Kak Hamdani yang membawakan galon air kita!” seru Fatma. Ada si putih di sampingnya. Menggandeng Fatma dengan wajah yang merunduk. Tak pelak Hamdani kembali mematung, ingin berlama-lama memandang wajah yang bersemu itu, tapi takut dosa. Aih … Hamdani mencoba meneguhkan langkah keluar gerbang, membebaskan diri dari pandangan para gadis itu.
Sampai pintu gerbang ditutup Hamdani menyimak suara mereka dari balik dinding kayu gerbang pembatas.
“Maryam … sini botolmu kuisikan!”