Seruan Fatma memecahkan misteri nama. Maryam, nama indah yang akan Hamdani tulis pada secarik kertas putih, untuk diselipkan dalam doa-doanya yang lebih panjang dari biasanya.
***
Tetapi asmara santri ini rupanya akan penuh dengan ujian, cobaan dan rintangan. Sudah berbulan-bulan semenjak pertemuan itu dan nama yang telah tertulis dengan tinta pulpen termahal yang pernah dimilikinya, Hamdani tak lagi dapat mencuri-curi kesempatan bertemu Maryam. Penjagaan batas gerbang antara santri dan santriwati diperketat, semenjak ada dua sejoli yang berpacaran terang-terangan, berpegangan tangan pada yang bukan mahram. Membuat para pengurus pondok murka dan memberi hukuman pada keduanya, menggosok lantai kamar mandi. Mereka juga mendapat bimbingan tambahan tentang etika pergaulan Islami.
Sampai bulan berganti dan pucuk-pucuk daun bambu di pondok Al Mashar basah oleh mimpi-mimpi, menghalau rindu ternyata tak semudah menghalau burung yang mengganggu panen emak di atas sepetak sawah. Rindu yang berbeda juga terasa semakin berat manakala surat dari emak datang bersama beberapa lembar uang saku perjalanan pulang, Hamdani diminta pulang karena emak sakit keras.
Maka Hamdani pulang, dengan ransel dan amplop yang berisi nama Maryam di saku kemeja putihnya. Sempat ia titipkan surat kepada Fatma yang suka menyelinap ke lapangan untuk sekadar menonton bola atau mungkin menonton pujaan hatinya.
“Fatma, ini untuk Maryam. Tolong jaga rahasiaku.” bisik Hamdani memberikan buku tulis berisi surat untuk Maryam.”
Fatma mengangguk dan berjanji memegang rahasia. Syaratnya tentu ada timbal balik agar Hamdani tak mengadukan ulahnya juga yang suka menyelinap nonton sepak bola para santri.
Maryam menerima surat itu dengan debar perasaan tak menentu. Tulisan Hamdani tak rapi, ditulis dengan buru-buru namun goresannya tegas dan jelas.
[“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Apa kabar, Maryam? Aku Hamdani, yang dulu hampir menyerempetmu dengan bola. Aku pamit pulang ke desa. Semoga kamu betah di sana dan baik-baik saja.”]
“Kak Hamdani keluar?” selidik Maryam pada Fatma.
“Hanya sementara, tenanglah.” Fatma tersenyum simpul, cocoklah sudah rupanya, diam-diam Fatma menaksir Jumadi sang kiper andalan. Sedangkan Hamdani rupanya naksir pada Maryam. “Ibunya sedang sakit keras.”
“Ooo …” Maryam mengangguk dengan wajah kelabu. Tak mau ia terlalu menampakkan rasa, malu dan juga ragu apakah maksud Hamdani menulis surat itu hanya untuk menggodanya? Tentu ia harus menjaga harkat dan martabat agar tak mudah kena php pria.
***