“Mamaaaak … !“ air mata Kumala tumpah, berlari menghambur ke pelukan mamak yang dari kejauhan sudah melihat mereka berdua di depan rumah batangnya yang sederhana.
“Ya Allah … kok ndak madahi Mamak kalau jadi pulang. Mamak belum masak pindang patin kesukaanmu.”
“Tak apa Mak … biar Kumala yang masak nanti, mamak istirahat aja.”
Mereka semua, Kumala, Kahala dan Mamak Dayang berselonjor di ruang tengah sambil memakan ubi ungu yang baru saja direbus.
“Jadi kapan kalian berdua menikah?” tanya Mamak tiba-tiba.
Kumala tersentak, Kahala membelalakkan mata tapi akhirnya berbisik bahwa mamak sekarang sudah mulai pikun. Mamak tak ingat bahwa Kahala telah menikahi Zubaedah dan beranak dua selepas kepergian Kumala ke ibukota.
Kumala semakin dilema, haruskah ia memilih antara Pela dan Jakarta dengan keadaaan mamak sekarang ini?
“Sudahlah Mala … jangan risau. Aku akan menjaga Mamak. Percaya padaku!” Kahala seolah membaca kegundahan Kumala.
Kahala memberikan teh bajakah yang sudah diseduhnya untuk Kumala.
Kumala menerimanya, pun menerima bulat-bulat semua janji Kahala kali ini. Kahala dulu memang banyak berjanji tetapi kini Kumala tahu bahwa janji setianya pada mamak telah terbukti. Bukan lagi untuk berkasih mesra dengan anak mamak tercinta, melainkan ketulusan sebagaimana saudara.
Kahala dan Mamak tetap disimpan dalam hati Kumala ke mana pun ia pergi.