“Ke mana?”
“Biasa, ambil sulaman mamak dan pesanan manik-manik. Ayo naik motorku sini, aku sehat kok … aman!” teriaknya lagi sembari mmbersihkan jok belakang dengan lap kain.
“Tak lah. Aku ingin menikmati jembatan ini dengan jalan kaki.”
Kumala tersenyum pada lelaki itu. Ternyata prasangkanya jauh, perasaaanya pada Kahala pun tak juga bungah, landai saja seperti gelombang Mahakam. Sejauh ini Kumala bisa menguasai emosinya.
“Lain sudah …. Gadis metropolitan ini, high class!” tukas Kahala sembari turun dari motornya dan berjalan mengiringi Kumala.
Kumala sedikit marah dengan seloroh Kahala.
“Hmmm, aku masih sama, aku masih merindukan Desa Pela, aku masih mencintai Mahakam dan Danau Semayang.”
“Tapi sudah tak mencintaiku lagi.” Potong Kahala berdehem.
“Wuih, buat apa? Udah lah jangan mengorek luka lama!” Kumala melotot pura-pura marah.
Tapi sesungguhnya Kumala tak akan benar-benar marah pada Kahala kerena lelaki itu bukan hanya setia pada perahu dan pesut Mahakam tetapi ia juga setia pada mamak dengan bersedia menjadi perantara perniagaan hasil kerajinan tangannya yang sangat mungkin tanpa selisih keuntungan.
Tiba-tiba gadis itu tersadar, di ujung sinar matahari yang hampir tenggelam itulah Kumala melihat bayangan mamak yang merentang tangan.