Sumber Gambar : Pixabay
Debur ombak yang beradu mesin speedboat itu masih terngiang di telinga Kumala, gadis dengan rambut ikal dan kulit kuning langsat yang ke mana-mana sering memakai sandal tipis atau sepatu Kets. Jika beruntung, Kumala akan menjumpai pesut-pesut yang berlompatan melintasi sungai Mahakam. Bahagia hatinya, juga Kahala yang dulu menggengam jemarinya sembari berteriak memanggil pesut- pesut langka itu.
Pesut-pesut itu sejenis lumba-lumba, hanya saja mamalia air tawar khas Kalimantan itu berwarna abu-abu mengkilap dan memiliki bentuk wajah yang bulat menyerupai bayi beluga. Sementara lumba-lumba memiliki moncong yang seikit lebih panjang. Pesut memiliki tubuh berwarna abu-abu pada seluruh bagian tubuhnya, tapi warna tubuhnya tampak lebih terang pada bagian perutnya.
Kahala dulu selalu menjadi teman perjalanan Kumala ke Pela, menemui mamak dengan sulam tumpar dan manik-manik di tangannya. Di sisa usia, perempuan berdarah Kutai–Banjar itu ingin terus produktif dan enggan menggantungkan diri pada gaji Kumala sebagai penyiar berita di Ibukota. Senyum Kahala dan mamak adalah kenangan yang tak pernah terhapus oleh badai hujan ibukota yang semakin tenggelam.
Kahala memiliki dada bidang, Kumala selalu tenang bersandar pada dada itu di kala gundah melanda dan rindu mengaduk asmara. Tapi sayang, pertunangan mereka berakhir di tahun yang sama ketika Kumala diterima bekerja. Kahala enggan menunggu Kumala, cintanya tak lebih setia kepada pesut-pesut Mahakam. Lagipula mulai akrabnya Kumala dengan ibukota bukanlah tanpa api kecemburuan yang mendalam.
***
“Pulanglah, Kumala. Manfaatkan waktu cutimu yang cuma satu kali setahun,” kata Badwi semalam. Kekasih baru Kumala, sesama reporter.
“Di musim Korona begini?” tanya Kumala tak yakin. Ia mencari jawaban pada binar mata Badwi yang menatapnya lekat-lekat. Lelaki berkulit bersih dengan kaca mata minus tiga yang hanya dilepasnya saat menyiarkan berita.
“Rindumu sudah cukup membuat sesak di dada yang lebih menyakitkan dari virus manapun juga. Pulanglah … kau bisa lakukan isolasi mandiri sebelum bertemu mamak.”
Akhirnya meskipun masih ragu, Kumala membeli tiket pulang, Bukan ragu bahwa ia bisa menjaga diri dengan standar protokol kesehatan selama perjalanan dan pulang nanti, tetapi lebih pada keraguan jika ia akan kembali bertemu Kahala. Entah kecamuk apa di hatinya. Toh tiket itu tetap ia genggam bersama Badwi yang mengantarkannya ke bandara setelah memastikan hasil tes Swab mandiri.
“Maaf … aku belum bisa menjenguk mamak. Suatu saat nanti … ketika aku melamarmu, aku akan datang.”
“Sssst … tak perlu bilang begitu ah. Aku paham.” Kumala tak mau Badwi banyak berjanji, ia takut mengalami luka hati lagi.
Satu setengah jam perjalanan udara. Kumala telah menemui mamak dalam angannya, tangan dengan urat-urat yang menonjol itu masih giat menjalin butiran manik-manik. Salah satunya adalah kalung yang selalu ia pakai saat menyiar di stasiun televisi, berganti-ganti antara manik yang berwana merah–hitam dengan kalung sulam tumpar dengan bentuk burung Enggang biru-kuning. Setelah itu ia masih harus menahan rindu empat belas hari di penginapan untuk isolasi mandiri. Sementara WA Badwi terus berdenting di gawainya memastikan bahwa Kumala baik-baik saja.
“Yes … ini Borneo-ku!” teriak Kumala yang menghambur ke luar bandara kedatangan di Sepinggan Balikpapan. Bandara yang kini mewah bertingkat dengan toilet bersih dan lantai mengkilap kelas internasional. Kumala memulai reportase live-nya di sosmed. Badwi juga memantaunya. Dengan bangga ia memamerkan bandara Sepinggan di Balikpapan itu ke seluruh pemirsa.
Tak disangkanya ada like yang telah lama tak mampir di linimasa Kumala. Itu adalah jempol Kahala. Padahal Kahala tak pernah lagi mengirim pesan pribadi di sosial media IG, sementara WA-nya sudah lama diblokir oleh Kumala.
Empat belas hari di penginapan, Kumala tiba-tiba merindukan Kahala selain Mamak Dayang dengan sulam tumpar dan manik-maniknya. Namun Kumala masih enggan membuka daftar blokir WA. Setia pada Badwi namun masih merindukan Kahala adalah kesalahan terbesarnya saat ini.
Saatnya menyebrang sungai.
Tak ada cara lain menuju Desa Pela selain naik kapal atau speedboat. Sebelumnya dari Samarinda Kumala mesti menyewa mobil tiga setengah jam perjalanan menuju Kota Bangun. Setelah sampai di Kota Bangun, Kumala naik kapal berkapasitas sepuluh penumpang.
Dari kejauhan Kumala sumringah melihat kembali rumah-rumah di atas air sungai yang kini bersolek makin bungas, gerbang yang berhias kayu dengan cat warna-warni, juga jalinan jembatan kayu terpanjang di Kutai Kartanegara dengan aneka warna yang telah membayang di pelupuk mata Kumala. Jembatan tempat ia bermain sepeda bersama teman-temannya semasa sekolah dulu. Ada pula Danau Semayang, danau air tawar tempat ia dan Kahala seringkali menikmati matahari yang tenggelam.
“Mala … !” Ups … jantung Kumala hampir copot. Suara laki-laki yang menyita lamunannya beberapa hari terakhir ini ternyata sangat dekat di telinga. Kumala menoleh ke belakang. Ketika itu ia baru saja sampai di batang dermaga Desa Pela.
“Ka --ha--la!” Kumala terbata.
“Syukurlah kamu masih ingat aku!” Kahala terseyum lebar, dadanya tetap bidang dengan kulit legam terbakar matahari. Tetapi senyumnya selalu damai seperti tarian pesut-pesut Mahakam.
“Ke mana?”
“Biasa, ambil sulaman mamak dan pesanan manik-manik. Ayo naik motorku sini, aku sehat kok … aman!” teriaknya lagi sembari mmbersihkan jok belakang dengan lap kain.
“Tak lah. Aku ingin menikmati jembatan ini dengan jalan kaki.”
Kumala tersenyum pada lelaki itu. Ternyata prasangkanya jauh, perasaaanya pada Kahala pun tak juga bungah, landai saja seperti gelombang Mahakam. Sejauh ini Kumala bisa menguasai emosinya.
“Lain sudah …. Gadis metropolitan ini, high class!” tukas Kahala sembari turun dari motornya dan berjalan mengiringi Kumala.
Kumala sedikit marah dengan seloroh Kahala.
“Hmmm, aku masih sama, aku masih merindukan Desa Pela, aku masih mencintai Mahakam dan Danau Semayang.”
“Tapi sudah tak mencintaiku lagi.” Potong Kahala berdehem.
“Wuih, buat apa? Udah lah jangan mengorek luka lama!” Kumala melotot pura-pura marah.
Tapi sesungguhnya Kumala tak akan benar-benar marah pada Kahala kerena lelaki itu bukan hanya setia pada perahu dan pesut Mahakam tetapi ia juga setia pada mamak dengan bersedia menjadi perantara perniagaan hasil kerajinan tangannya yang sangat mungkin tanpa selisih keuntungan.
Tiba-tiba gadis itu tersadar, di ujung sinar matahari yang hampir tenggelam itulah Kumala melihat bayangan mamak yang merentang tangan.
“Mamaaaak … !“ air mata Kumala tumpah, berlari menghambur ke pelukan mamak yang dari kejauhan sudah melihat mereka berdua di depan rumah batangnya yang sederhana.
“Ya Allah … kok ndak madahi Mamak kalau jadi pulang. Mamak belum masak pindang patin kesukaanmu.”
“Tak apa Mak … biar Kumala yang masak nanti, mamak istirahat aja.”
Mereka semua, Kumala, Kahala dan Mamak Dayang berselonjor di ruang tengah sambil memakan ubi ungu yang baru saja direbus.
“Jadi kapan kalian berdua menikah?” tanya Mamak tiba-tiba.
Kumala tersentak, Kahala membelalakkan mata tapi akhirnya berbisik bahwa mamak sekarang sudah mulai pikun. Mamak tak ingat bahwa Kahala telah menikahi Zubaedah dan beranak dua selepas kepergian Kumala ke ibukota.
Kumala semakin dilema, haruskah ia memilih antara Pela dan Jakarta dengan keadaaan mamak sekarang ini?
“Sudahlah Mala … jangan risau. Aku akan menjaga Mamak. Percaya padaku!” Kahala seolah membaca kegundahan Kumala.
Kahala memberikan teh bajakah yang sudah diseduhnya untuk Kumala.
Kumala menerimanya, pun menerima bulat-bulat semua janji Kahala kali ini. Kahala dulu memang banyak berjanji tetapi kini Kumala tahu bahwa janji setianya pada mamak telah terbukti. Bukan lagi untuk berkasih mesra dengan anak mamak tercinta, melainkan ketulusan sebagaimana saudara.
Kahala dan Mamak tetap disimpan dalam hati Kumala ke mana pun ia pergi.
“Jagalah Mamak … sampai aku benar-benar kembali dan mengabdi pada desa ini.” Jawab Kumala tanpa ragu lagi.
“Ting …” Badwi mengirimkan pesan lewat WA, “Kumala, please … jangan jatuh cinta lagi selain kepadaku.”
Kumala tersenyum simpul, Badwi tak akan kehilangan karena Kumala dan Badwi akan menganaksungaikan cinta di Desa Pela. Pun kepindahan ibukota ke Kutai Kartanegara akan memperlancar terwujudnya semua angan itu.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H