Mayleen terkesiap oleh bisikan yang tiba-tiba terdengar di telinganya dari arah belakang. Ia berbalik mencari sumber suara.
“Ohh … ii … iya benar. Aku Mayleen. K … kau siapa? Ada apa?”
“Aku … Namaku Rakai Rajita. Anak paraji yang diusir dari dusun ini. “
“Rakai Rajita? Anak paraji?”
Rakai Rajita duduk di sebelah Mayleen, di atas batu hitam di bawah siraman cahaya yang semakin benderang.
Pemuda yang diam-diam menonton pertunjukan tari Mayleen itu menceritakan kronologi pengusiran ibunya yang membuatnya mendendam pada penduduk Dusun Rembulan, terkecuali Mayleen dan Pa Hong Li karena mereka penduduk baru yang tak tahu apa-apa.
“Bayangkan, betapa susahnya ibuku menolong orang-orang yang melahirkan sementara tenaga kesehatan dan bidan tak dapat ditemui di dusun ini. Manakala ada tiga kali kejadian tragis ibuku malah dituduh sebagai wanita jadi-jadian pemakan darah bayi-bayi yang meninggal atau ibu hamil yang keguguran. Lalu ibu diusir dengan lemparan batu ketika menantu kepala dusun meninggal karena pendarahan.”
“Aku memahami.” ucap Mayleen bersimpati.
Rakai Rajita menghela napas lega. Sudah sekian lama ia bersembunyi di pulau seberang, yang hampir-hampir tanpa penghuni. Kini ada Mayleen yang serupa tetes embun.
Tadinya Rakai Rajita datang diam-diam ke Dusun Rembulan untuk mencari kesempatan balas dendam tapi yang ditemuinya adalah penawar hati yang menenggelamkannya dalam lembah damai tanpa tepi.
Jadilah dua anak manusia itu bersahabat dan sering diam-diam berjanji temu untuk menceritakan segala resah dan harapan.