Nun di sebuah dusun, ada seorang penari keturunan Tiongkok yang selalu mengenakan qipao1 merah di bawah cahaya purnama dan meliukkan badannya dengan kipas kertas bertuliskan aksara Han. Mayleen namanya.
“Yeay, Mayleen!” seru penduduk dusun tatkala seruling bambu Pa Hong Li telah memesrai gelombang udara. Dengan bantuan mikrofon seadanya, nada-nada suara dari seruling itu mulai melenakan telinga.
Mayleen mulai melentikkan jemari, dan membawa payung kertas merahnya sambil berlenggang. Disambut riuh tepuk tangan penduduk dusun yang menonton sambil bersila di atas tikar anyaman, termasuk seseorang yang sedang bersembuyi di balik hutan bambu, tepuk tangan dan decak kagumnya lirih.
***
Suatu malam Mayleen berdiam sejenak di bawah cahaya rembulan. Sementara penduduk dan Pa Hong Li kembali ke rumah masing-masing untuk beristirahat.
“Kenapa May, belum mengantuk?”
“Belum Pa. Bulan kali ini lebih terang dari biasanya, seolah Ma memeluk hidupku dalam kehangatannya. Pulanglah lebih dulu, aku masih ingin mandi cahaya.”
Pa Hong Li hanya mengangguk, ia masih mengingat bagaimana ia menyelamatkan putrinya sementara istrinya telah tewas di tangan perampok rakyat jelata karena mempertahankan hasil panen agar tak disita.
Dengan sekuat tenaga Pa menggendong Mayleen yang saat kejadian itu berusia sepuluh tahun sampai menemukan tumpangan kapal nelayan yang dibayarnya dengan sisa-sisa harta yang masih bisa dibawa. Kapal nelayan itulah yang membawa mereka ke Dusun Rembulan.
“Hai, apakah kau yang bernama Mayleen?”