“Mungkin, mungkinkah?”
Kholid bertanya dalam hati seolah tidak percaya.
Presiden sekarang membacakan surat itu.
“Assalamualaikum Warahmatullahi wabarakatu.
Yth. Pak Presiden.
Saya hanya seorang rakyat biasa pak Presiden. Saya hanya ingin mewakili perasaan rakyat Indonesia melihat bangsa ini.
Hati kami sakit pak Presiden, hati kami malu dengan negara ini. Jika dibandingkan dengan negara lain, negara kita benar-benar menyedihkan.
Kita asyik bertengkar satu sama lain, kita asik menfitnah satu sama lain. Pembunuhan dimana-mana. Unjuk rasa dimana-mana. Kekerasan, pemerkosaan, penzinahan dan mabuk-mabukan menjadi identitas kita.
Di sisi lain, pemerintah, lebih mengecawakan lagi. Padahal mereka telah kami pilih, tapi mereka malah seenaknya tidur ketika rapat tentang aspirasi kami. Mereka dengan mudah melakukan korupsi pada saat mereka diamanahi untuk mensejahterakan kami. Mereka hanya memikirkan golongan dan partai mereka tanpa mementingkan kami. Yang mereka ketahui hanyalah uang dan politik. Kekuasaan dan kesenangan bagi mereka sendiri. Tapi tidak untuk kami.
Bukankah kalian kami yang telah memilih?. Apakaha kalian lupa dengan janji-janji kalian kepada kami. Apakah kalian lupa dengan apa yang telah diucapkan oleh lisan kalian sehingga kami berani untuk mempercayakan amanah itu kepada kalian.
Tidakkah kalian takut dengan api neraka yang begitu panas? Tidakkah kalian takut dengan hari dimana kalian diminta pertanggung jawaban.