Pengertian Siswa Berkebutuhan Khusus
Pengertian siswa berkebutuhan khusus (Desiningrum, 2016) adalah anak yang secara pendidikan memerlukan layanan spesifik yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya.Â
Pengertian lain anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan penanganan khusus karena adanya gangguan perkembangan dan kelainan yang dialami anak.Â
Kata lainnya adalah disability, yaitu anak yang memiliki keterbatasan di salah satu atau beberapa kemampuan baik itu bersifat fisik seperti tunanetra dan tunarungu, maupun bersifat psikologis seperti autism dan ADHD. (Abdullah, 2013) anak berkebutuhan khusus adalah anak yang mempunyai kelainan/penyimpangan dari kondisi rata-rata anak normal umumnya dalam hal fisik, mental, maupun karakteristik perilaku sosialnya.Â
Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa anak berkebutuhan khusus adalah anak yang menunjukkan perbedaan baik dari segi mental, emosi maupun fisik sehingga memerlukan layanan yang berbeda dan lebih spesifik. Anak berkebutuhan khusus sering dianggap sebagai anak autis, padahal banyak sekali jenis kondisi anak berkebutuhan khusus yang dikelompokkan menjadi berikut ini:
Jenis Kondisi Siswa Berkebutuhan Khusus
1. Anak dengan kesulitan belajar umum
Kategori kesulitan belajar apabila anak memiliki Skor IQ < 90, atau dapat dilihat dengan keterlambatan dalam banyak hal seperti berjalan, berbicara, sulit memahami bentuk dasar, sulit membedakan warna, dan tidak nyambung saat diajak berbicara. Individu ini kesulitan dalam segala hal, termasuk materi ketrampilan hidup dasar. Berikut ini adalah jenis anak berkebutuhan khusus yang termasuk dalam kesulitan belajar umum:
a. Slow learner
Jenis ini anak sangat lambat dalam belajar, prestasi belajar sangat rendah daripada anak seusianya namun bukan anak keterbelakang mental. Tidak hanya dalam potensi akademik, anak slow learner juga tidak bisa dalam koordinasi seperti mengenakan pakaian, sulit dalam menggunakan alat tulis, dan tidak dapat memperkirakan dalam berolahraga. IQ anak slow learner berkisar antara 70-90 sehingga anak slow learner cenderung pendiam, malu, tidak percaya diri dan sulit untuk berteman.
b. Tuna grahita (Retardasi Mental)
Jenis ini anak tidak dapat menyesuaikan diri, IQ nya 70, sehingga anak tunagrahita memiliki keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau bahkan dibawah rata-rata, dengan demikian tujuan pendidikan untuk ana tunagrahita adalah dengan mengajarkan supaya dapat bertahan hidup seperti cara bergaul dalam masyarakat, mengurus diri sendiri, dan memberikan tanda saat menginginkan sesuatu.
3 indikator yang mengatakan bahwa anak termasuk tuna grahita adalah:
- Kecerdasan dibawah rata-rata
- Tidak mampu bersosial
- Hambatan perilaku terjadi dari usia perkembangan hingga usia 18 tahun
Karakteristik anak tunagrahita seperti dibawah ini:
- Intelektual. Pencapaian tingkat usia mental hanya sampai setingkat anak SD kelas 2, 4 atau bahkan hanya mampu hingga usia pra sekolah.
- Segi sosial. Anak tunagrahita tidak dapat bersosialisasi, mengurus diri dan memimpin diri.
- Fungsi mental. Sulit dalam memusatkan perhatian, cepat teralihkan dengan hal lain, jadi kurang mampu menghadapi tugas.
- Dorongan dan emosi. Kehidupan emosinya lemah, dan hanya terbatas pada perasaan senang, takut, marah, dan benci.
- Bahasa. Kemampuan perbendaharaan kata abstrak terbata. Rata-rata tunagrahita mengalami gangguan bicara karena cacat artikulasi dan pembentukan bunyi dipita suara dan rongga mulut mengalami masalah.
- Akademik. Hanya mampu menghitung secara umum, tidak sampai pada menganalisis dalam menghitung.
- Kepribadian dan kemampuan organisasi. Tidak mampu mengontrol diri, dapat terpengaruh oleh luar, dan tidak memiliki kepercayaan diri.
Tujuan pendidikan anak tuna grahita adalah:
- Untuk tuna grahita ringan supaya dapat mengurus dan membina diri, dapat bergaul di masyarakat
- Untuk tuna grahita sedang supaya dapat mengurus diri, dan bergaul dengan anggota keluarga serta tetangga
- Untuk tuna grahita berat supaya dapat mengurus diri seperti makan, minum, buang air besar dan saat ingin sesuatu.
c. Autis
Gangguan ini adalah sebuah kelainan dalam perkembangan pada interaksi sosial dan komunikasi yang ditandai dengan perilaku berlebihan atau perilaku berkekurangan. Perilaku berlebihan  seperti tantrum, menjerit, menggigit, mencakar, mendorong, dan memukul, bahkan dapat juga menyakiti diri sendiri. Namun untuk perilaku yang berkekurangan seperti sering dikira tuli, sering melamun, menangis dan tertawa tanpa sebab.
2. Anak dengan kesulitan belajar spesifik
Kondisi ini biasanya untuk anak yang memiliki kecerdasan normal bahkan diatas rata-rata. Anak yang ada dalam jenis kesulitan belajar spesifik mengalami kesulitan dibidang baca, tulis, dan hitung. Atau dapat disebut dengan Disleksia (untuk kesulitan dalam hal membaca dan sosial), Diskalkulia (untuk kesulitan dalam hal berhitung), dan Disgrafia (untuk kesulitan dalam hal menulis).Â
Kesulitan lain yang dialami oleh anak kesulitan belajar spesifik adalah sulita dalam memusatkan perhatian, sulit mengingat, sulit menjalankan instruksi yang panjang, sulit dalam pengorganisasian, sulit mengelola waktu,uang, bingung arah, dan juga memiliki gangguan penyerta seperti Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), Oppositional Defiant Disorder (ODD) dan Conduct Disorder (CD). Jadi individu tersebut dapat suka menentang, membangkang, bahkan melawan aturan sosial.
Faktor-faktor penyakit Disleksia diantaranya:
1) Faktor genetik
Ayah disleksia berpotensi 39% menurunkan pada anak laki-laki, dan 17-18% menurunkan pada anak perempuan.
Ibu disleksia berpotensi 34% menurunkan pada anak laki-laki, dan 17-18% menurunkan pada anak perempuan.
Dan jika salah 1 anaknya mengalami disleksia, maka 50% saudaranya akan mengalami disleksia.
Bayi yang lahir prematur dan berat badan bayi rendah, konsumsi ibu saat mengandung, dapat menjadi penyebab/ pemicu ananya disleksia.
2) Faktor cidera otak
Terjadi saat setelah kelahiran mengalami kecelakaan, stroke, dan trauma
3) Faktor pemrosesan fonologi
Terjadi akibat ketidakstabilan diotak khususnya dibagian fonologis/bahasa sehingga anak menjadi kebingungan membedakan huruf dan angka yang bentuknya hampir sama seperti: S, Z, dan 2; B dan D; E, 6 dan 9; dan lain-lain.
Pemberian Intervensi Bagi Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusi
1. Kesulitan belajar spesifik (Disleksia, Diskalkulia, Disgrafia)
- Instruksi yang digunakan singkat, jelas, dan diulang
- Bacakan dan tuliskan materi yang akan dipelajari
- Media yang digunakan warna warni dan pemilihan warna mencolok
2. Slow Learner
- Instruksi yang digunakan konkret
- Memberikan kesempatan untuk pengulangan dan latihan lebih sering
- Membuat aktivitas yang disukai anak
3. Autisme
- Memberikan hadiah/pujian saat anak melaksanakan benar sesuai perintah dan hindari adanya hukuman
- Menemani anak bermain lalu ajak berinteraksi dengan mainannya
- Mencontohkan pada anak sikap yang diharapkan
4. Tuna Grahita
- Tuna grahita ringan diberi dampingan dalam belajar menulis dan membaca serta berhitung dengan benda konkret, dan dapat bekerja semi skilled seperti laundry, tani, ternak dan pekerjaan rumah tangga.
- Tuna grahita sedang diberi latihan aktivitas sehari-hari
- Tuna grahita berat harus ada yang merawat secara total seumur hidupnya
Pola Interaksi dengan Siswa dalam Setting Sekolah Inklusi
Beberapa prinsip mengajar anak berkebutuhan khusus yang harus dilakukan oleh guru:
1. Compassion and Non-jugment
Dalam proses mendidik tidak ada proses penghakiman, guru memberikan peserta didik untuk berkreasi, bertanya, dan memaparkan ide tanpa adanya labelling, karena anak ABK memiliki karakteristik dan kebutuhan yang sangat berbeda dengan anak normal.
2. Responsive, Not Reactive
Guru harus lebih peka terhadap perilaku ABK yang cenderung tidak terkontrol, dan guru harus lebih berpikir kembali saat akan bertindak, karena dapat mempengaruhi perkembangan anak.
3. Teacher Self-Knowledge and Reflection
Refleksi yang dilakukan oleh guru harus dilakukan secara mendalam saat yang dihadapi adalah anak berkebutuhan khusus.
4. Mindful Interpretation of Student Behavior: Attribution and Dialectical Thinking
Guru harus sangat memahami penyebab perilaku anak yang dianggap aneh yang diamana sangat berbeda dengan anak pada umumnya, karena perilaku guru akan dapat berdampak pada murid.2
DAFTAR PUSTAKA:
Abdullah, Nandiyah. 2013. Mengenal Anak Berkebutuhan Khusus. Magistra. Hal:1-10.
Desiningrum. 2016. Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus. Psikosain: Yogyakarta.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI