Â
Setiap melewati loji tu, orang pasti terbirit ketakutan. Ketakutan semakin terasa pada malam hari. Beredar kabar, dari dalam loji itu sering terdengar orang menangis. Ada yang mendengar suara gemericik air, seolah orang mandi. Ada yang mendengar teriakan minta tolong. Bahkan ada juga kabar yang mengatakan ada yang melihat kenampakan. Manusia yang berlumur darah, mukanya tak berbentuk lagi. Ada manusia yang tak berkepala. Ada yang terpincang-pincang kakinya putus sebelah.
Â
Ya, banyak kabar yang menceritakan hal-hal yang mengerikan, yang seram. Membuat masyarakat semakin takut dan ragu melewati loji itu. Termasuk orang-orang pemberani pun, ketika melewati loji itu juga terbirit dan bergidik. Giliran ada yang bertanya. "Siapa yang pernah mendengar suara-suara itu? Seiapa yang pernah melihat kenampakan itu?" Semuanya bengong, tak ada yang menjawab. Namun cerita itu tetap saja berseliweran dari mulut ke mulut, dari grup we'a ke grup yang lain. Dan loji itu dikenal di seluruh desa dan kecamatan sebagai tempat yang angker.
Â
........
Â
Sekian lama Eko tinggal di bangunan tua peninggalan Belanda itu. Walau baginya, tiada lagi masa dalam arti waktu. Karena baginya semenit, sejam, setahun pun sama saja. Waktu hanyalah dimensi manusia di dunia fana. Namun demikian, Eko nasih melakukan kegiatan sebagaimana ia jalani di alam fana yang sudah lalu. Ia ikut bergembira menyaksikan alam dunia yang menyenangkan. Ia juga bersedih dan menangis melihat kedukaan di dunia. Kadang ia merasa gerah dan panas, kemudian mengguyurkan badannya dan menjadi segar kembali. Tetapi Eko juga menyadari, keberadaannya di loji itu menjadikan manusia di sekitar tidak nyaman. Eko menyadari adanya cerita yang berseliweran dari mulut ke mulut, dari wa ke wa. Tetapi ia juga tidak mengetahui harus berbuat apa.
Â
Suatu senja dunia fana, di sebuah desa tempat keluarga Eko berada, suasana menjadi riang dengan lampu-lampu menghias kerindangan  pepohonan yang masih tumbuh di desa itu. Terutama di kediaman ibu dan adik Eko. Mata lampu dipasang di berbagai tempat, kursi berjajar, dan tikar terbentang. Ibu-ibu dan kaum wanita sibuk di bagian belakang rumah, menyiapkan segala sesuatu untuk acara yang segera mulai. Sementara bapak-bapak dan kaum pria, dengan sarung atau celana panjang dan kepala berpeci, hilir mudik membenahi kursi dan menerima tamu-tamu yang berdatangan. Tak ada rona sendu pada ibu dan adiknya Eko. Tak ada suasana duka di kediaman ibu dan adik Eko.
Â