Mohon tunggu...
F. Sugeng Mujiono
F. Sugeng Mujiono Mohon Tunggu... Lainnya - Pensiunan

Pensiunan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sebuah Penantian

27 Maret 2021   19:41 Diperbarui: 27 Maret 2021   19:43 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oohh, Eko serba salah. Teringat kembali oleh Eko, kejadian yang barusan ia alami. Suatu kegelapan yang amat sangat. Lorong pekat yang amat panjang. Seberkas sinar redup  nun jauh. Melayang, meluncur, dan terpental ke dalam ruang tanpa batas. Kerumunan manusia, jasad di antara kerumunan itu, bayangan ayahnya yang melambai dan tersenyum. Oohh, sebuah kontras diksi antara dunia fana dan alam baka ...

 

Eko masih bertengger di atas dahan, memperhatikan manusia yang lalu lalang, datang pergi. Sesekali ada yang berhenti sejenak di bawah pohon itu dan menengadah seolah melihat sesuatu yang aneh. Kemudian segera pergi dengan terbirit. Oohh, "Apakah mereka melihat aku?" pikir Eko.

 

Tetapi, oohh, senyum dan lambaian tangan ayahnya sangat menggoda. Eko mencari-cari bilamana ayahnya terlihat kembali. Ia menjadi bimbang, akan tetap bersama ibu dan adiknya yang menangis penuh duka atau mencari ayahnya yang tersenyum bahagia. Tetapi ibu dan adiknya tak lagi bisa menerimanya. Mereka tak lagi melihat dirinya. Sementara, ayahnya hanya terlihat sesaat, entah di mana harus dicari. Oohh, sebuah kontras diksi antara dunia fana yang penuh duka dan alam baka yang damai.

 

Oohh, saatnya jenazah diberangkatkan ke pemakaman. Bisa saja Eko tetap bertengger di atas pohon itu sambil menyaksikan jenasahnya diarak sepanjang jalan, kemudian ditimbun tanah dalam iringan dan deraian air mata. Walau jarak rumah ke makam cukup jauh untuk ukuran manusia, Eko tetap bisa melihatnya. Tak ada halangan untuk penglihatannya. Ia berada dalam sebuah ruang tanpa batas. Namun demikian, Eko tetap mengikuti iring-iringan ke pemakaman.

 

Makam itu berada di pinggiran kampung, menghadap ke sebuah sungai. Pepohonan besar masih dibiarkan tegak. Ada beringin, elo, gayam, dan jenis pohon lainnya membuat suasana teduh dan adem. Di tempat itu pula jasad ayahnya Eko dimakamkan.

 

Eko memilih tempat yang dianggapnya aman, tidak mengganggu manusia yang masih hidup. Sebuah pohon beringin sangat besar, yang akar-akarnya bergelayutan dari dahan sampai hampir menyentuh tanah, tumbuh kokoh di pinggiran makam itu, tepat di bibir tebing yang menghadap ke sungai. Tak pelak akar-akar itu berayun, dahan-dahannya bergoyang, membuat beberapa manusia di bawahnya bergidik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun