Â
Sinar itu semakin terang dan nyata. Eko semakin kuat mengayunkan kaki dan tangan seolah berenang. Melayang dan meluncur..., meluncur begitu cepat..., dan oohh, ia terpental, dan akhirnya terbebas dari lorong pekat itu. Kini, Eko berada dalam sebuah ruang tanpa batas. Ia bisa melihat segala yang pernah ia lihat di segala penjuru, bahkan ia juga melihat segala yang pernah singgah dalam mimpinya.
Â
Eko menarik nafas panjang-panjang. Oohh, tak ada sesuatu yang terhirup. Kosong..., hampa..., tapi tiada kesesakan apa pun. Semuanya ringan.
Â
Eko melihat sebuah kerumunan. Oohh, ia terkejut. Di antara kerumunan itu terbujur sesosok jasad. Beberapa bagian nampak terluka. Darah segar menetes dari luka-luka itu. Eko terkesiap, oohh itu ternyata jasadnya sendiri. Ia mengibas-kibaskan kaki ke tanah, tapi tak tersentuh apa pun. Ia menepuk-nepuk pipi dan menyubit kulit tangannya, tak terasa apa pun.
Â
Oohh, "Apakah aku sudah mati?" pikirnya.
Â
Eko mendekati kerumunan itu. Tak seorang pun hirau. Ia berusaha memanggil-manggil, Â "Eko...., Eko....," dan berusaha menjamah tubuhnya. Namun tiada ia bisa menyentuhnya. Tiada teriak panggilannya terdengar.
Â