Mohon tunggu...
Seyni Lolian Septianty
Seyni Lolian Septianty Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas sultan ageng tirtayasa

Hobi saya adalah membaca puisi

Selanjutnya

Tutup

Politik

pencintraan dalam politik di era sosial media

26 Desember 2024   16:22 Diperbarui: 26 Desember 2024   16:22 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

                                                                      

Citra dan Polarisasi: Wajah Politik Indonesia di Era Digital

   Media sosial telah menjadi komponen utama dalam komunikasi politik modern, termasuk di Indonesia. Dengan kemajuan teknologi informasi, platform seperti Instagram, Twitter, dan TikTok kini menjadi wadah strategis bagi politisi untuk membangun citra diri sekaligus berinteraksi langsung dengan masyarakat. Media sosial menawarkan akses yang luas dan cepat, memungkinkan politisi menyampaikan pesan tanpa hambatan, sambil menciptakan citra yang memikat melalui konten visual, meme, serta narasi yang mampu menarik perhatian khalayak.

   Perubahan ini telah menggantikan pola kampanye politik tradisional yang sebelumnya mengandalkan media seperti televisi, radio, dan surat kabar. Contohnya, dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016, Donald Trump berhasil memanfaatkan media sosial untuk menjangkau jutaan orang secara instan melalui cuitan-cuitannya, yang memiliki dampak signifikan dalam membentuk opini publik.

   Namun, pemanfaatan media sosial untuk pencitraan politik juga menimbulkan sejumlah tantangan. Di satu sisi, platform ini memungkinkan politisi lebih dekat dengan masyarakat, menciptakan kesan autentik, dan membangun hubungan yang lebih erat dengan pemilih. Di sisi lain, hal tersebut juga dapat dianggap sebagai cara untuk memanipulasi persepsi publik dan berisiko memperburuk polarisasi politik. Pesan-pesan yang disampaikan melalui media sosial cenderung hanya diterima oleh kelompok yang sudah sependapat, sehingga membatasi ruang diskusi dan memperlebar jurang perbedaan antar kelompok masyarakat.

   Fenomena ini menjadi semakin relevan karena komunikasi politik tidak hanya mencerminkan hubungan kekuasaan, tetapi juga memiliki dampak langsung terhadap kualitas demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana media tradisional dan digital dapat saling melengkapi dalam membentuk dinamika politik yang lebih baik, sehingga tercipta hubungan yang lebih harmonis antara politisi dan masyarakat, serta mendukung penguatan demokrasi yang lebih inklusif.

Teori Komunikasi Politik merupakan cabang ilmu yang mengkaji bagaimana pesan-pesan politik dirancang, disampaikan, diterima, dan diinterpretasikan oleh berbagai kalangan masyarakat. Kajian ini juga mengeksplorasi bagaimana proses komunikasi politik memengaruhi dinamika hubungan antara aktor politik---seperti politisi, partai politik, dan lembaga pemerintah---dengan media sebagai perantara informasi, serta masyarakat sebagai penerima sekaligus partisipan dalam proses politik.  Teori ini tidak hanya berfokus pada aspek teknis dalam penyampaian pesan, tetapi juga menggali elemen-elemen strategis, psikologis, dan sosiologis yang terlibat dalam komunikasi politik. Komunikasi politik memegang peranan penting dalam membentuk persepsi masyarakat, memengaruhi opini publik, menggerakkan partisipasi massa, dan menentukan arah pengambilan keputusan dalam ranah politik.

Berikut adalah beberapa teori utama dalam komunikasi politik:

1. Agenda-Setting Theory

Media massa tidak hanya memberikan informasi kepada publik, tetapi juga menentukan isu mana yang dianggap penting. Hal ini dijelaskan dalam Agenda-Setting Theory, yang menunjukkan bahwa media memiliki kemampuan untuk memengaruhi prioritas isu di benak masyarakat. Sebagai contoh, selama pemilu 2019 di Indonesia, media sosial ramai membahas isu ekonomi dan korupsi, yang kemudian menjadi topik utama dalam debat publik. Dengan demikian, media tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk fokus perhatian masyarakat terhadap isu-isu tertentu.

2. Teori framing 

Teori framing menyoroti cara penyajian berita di media dapat memengaruhi persepsi publik. Misalnya, penggunaan kata-kata seperti "kebijakan reformasi" dibandingkan "pengurangan subsidi" dapat membingkai isu secara berbeda. Dalam konteks Indonesia, framing berita mengenai pembangunan infrastruktur oleh Presiden Joko Widodo sering kali menyoroti aspek positif seperti peningkatan konektivitas, sementara kritik terhadap biaya yang tinggi kadang tersisih dari narasi utama. Dengan framing ini, citra pemimpin dapat diarahkan untuk mencerminkan keberhasilan atau kelemahan.

3. Spiral of Silence Theory

Teori ini menyatakan bahwa individu cenderung tidak mengungkapkan pendapat yang bertentangan dengan mayoritas karena takut terisolasi. Media memiliki peran besar dalam memperkuat opini mayoritas.

4. Two-Step Flow Theory

Dalam era media sosial, teori ini tetap relevan dengan kehadiran influencer atau opinion leaders yang memiliki banyak pengikut. Pesan-pesan politik sering kali tidak langsung diterima masyarakat, tetapi melalui interpretasi ulang oleh tokoh-tokoh ini. Sebagai contoh, banyak selebriti dan influencer di Indonesia secara aktif mendukung calon tertentu selama pemilu, yang memengaruhi preferensi pemilih, terutama generasi muda.

 

Teori Pencitraan dalam Politik menjelaskan proses bagaimana politisi, partai politik, atau institusi pemerintahan merancang, membangun, mempertahankan, dan mengelola citra yang diinginkan agar dapat diterima secara positif oleh publik. Citra politik merupakan bagian integral dari komunikasi politik yang mencakup persepsi, pandangan, atau gambaran yang terbentuk di benak masyarakat tentang tokoh, organisasi, atau lembaga politik. Pencitraan ini tidak hanya bertujuan untuk membangun kepercayaan masyarakat, tetapi juga untuk memengaruhi dukungan publik, membentuk opini, dan memperkuat legitimasi politik di berbagai tingkatan.

Interaksi langsung dengan pemilih

Tak hanya itu, media sosial juga memberikan ruang bagi politisi untuk berinteraksi langsung dengan pemilih. Di masa lalu, komunikasi dua arah antara politisi dan warga sangat terbatas. Warga hanya bisa menyampaikan aspirasi melalui surat, panggilan telepon, atau pertemuan langsung yang jarang terjadi. Kini, dengan adanya fitur komentar, pesan langsung, dan sesi tanya jawab live di media sosial, pemilih bisa langsung menyampaikan pendapat dan aspirasi mereka. Sebagai contoh, Presiden Joko Widodo aktif menggunakan Instagram dan YouTube untuk berkomunikasi dengan masyarakat, menerima masukan, dan menjawab pertanyaan secara langsung, sehingga menciptakan kedekatan yang lebih personal.

Selain itu, sifat viral dari media sosial membuat isu-isu politik dapat menyebar dengan sangat cepat. Ketika sebuah isu menjadi viral, ia bisa menciptakan gelombang opini yang besar dalam waktu singkat, baik itu positif maupun negatif. Misalnya, skandal korupsi atau tindakan tidak etis oleh politisi dapat dengan cepat diketahui publik dan menciptakan tekanan besar bagi pelaku untuk bertanggung jawab atau mengundurkan diri. Di sisi lain, isu yang disebarkan secara positif juga dapat meningkatkan popularitas dan citra seorang politisi. Di Indonesia, penggunaan tagar (#) di Twitter seperti #2019GantiPresiden dan #JokowiLagi berhasil memobilisasi opini publik dalam pemilihan presiden 2019.

Teknik pencintraan di media social

Politisi memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk menunjukkan sisi humanis dan menciptakan kedekatan dengan masyarakat. Mereka sering membagikan foto yang menampilkan aktivitas sehari-hari, video pendek yang menyoroti pencapaian kerja, hingga meme yang menghibur sebagai bagian dari strategi komunikasi mereka. Sebagai contoh, banyak tokoh politik kini aktif di TikTok, menggunakan musik populer untuk menarik minat generasi muda. Sementara itu, Twitter kerap digunakan untuk menyampaikan pandangan atau merespons isu-isu terkini secara cepat, sedangkan Instagram dimanfaatkan untuk menghadirkan citra visual yang menarik dan terkurasi dengan baik. Politisi kini menggunakan berbagai platform untuk menampilkan sisi humanis mereka. Namun, strategi ini lebih efektif jika disertai konsistensi antara citra online dan tindakan nyata. Sebagai contoh, politisi yang sering mempromosikan kegiatan sosial di media, seperti Ridwan Kamil, perlu memastikan bahwa program-program ini benar-benar terealisasi di lapangan. Ketidaksesuaian antara citra di media sosial dan realitas dapat merusak kepercayaan publik.

Polarisasi yang Diperburuk oleh Pencitraan

 Selain membangun kedekatan dengan publik, penggunaan media sosial untuk pencitraan politik juga memiliki potensi memperburuk polarisasi. Konten yang bersifat provokatif cenderung lebih cepat menyebar dibandingkan dengan konten yang informatif atau bersifat netral. Kampanye negatif yang ditujukan untuk menyerang pihak lawan sering memanfaatkan media sosial untuk mengukuhkan narasi yang memecah belah masyarakat. Akibatnya, muncul fragmentasi sosial yang membagi masyarakat ke dalam kelompok-kelompok yang berlawanan, sehingga memperkuat pola pikir "kita versus mereka."

Prospek Masa Depan: Menjembatani atau Memecah?

 Media sosial memiliki peran yang tak terelakkan dalam komunikasi politik modern. Potensi positifnya terletak pada kemampuannya untuk mempererat hubungan antara rakyat dan pemimpin, asalkan dimanfaatkan secara bijaksana. Namun, tantangan besar seperti polarisasi dan maraknya penyebaran informasi palsu memerlukan penanganan serius melalui regulasi yang lebih ketat serta peningkatan literasi digital secara menyeluruh. Selain itu, para politisi perlu berfokus pada penyampaian narasi yang autentik dan bermakna, bukan sekadar menciptakan sensasi untuk menarik perhatian publik.

 

Kedekatan Politik dengan Rakyat Antara Fakta dan Imajinasi

Media sosial memberikan kemudahan bagi politisi untuk berinteraksi secara langsung dengan masyarakat. Fitur seperti live streaming sering digunakan untuk menciptakan kesan transparansi dan kedekatan. Namun, interaksi semacam ini kerap kali bersifat superfisial dan terarah. Banyak konten yang sengaja dirancang untuk menciptakan citra autentik, meskipun pada kenyataannya telah disesuaikan demi memenuhi tujuan politik tertentu.

Dampak Positif Pencitraan Politik

Salah satu dampak positif dari pencitraan politik di media sosial adalah meningkatnya transparansi dan akuntabilitas dari para pemimpin. Dengan platform sosial, politisi dapat dengan mudah mempublikasikan kegiatan sehari-hari, program kerja, dan capaian mereka. Hal ini menciptakan iklim kepercayaan yang lebih tinggi antara pemimpin dan rakyat. Misalnya, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, sering membagikan kegiatannya dan capaian pemerintahannya melalui Instagram, yang mendapatkan apresiasi dari warga karena dianggap transparan dan akuntabel.

Selain itu, pencitraan politik yang efektif di media sosial juga dapat meningkatkan partisipasi pemilih. Kampanye yang menarik dan interaktif mampu mengedukasi dan memotivasi masyarakat untuk ikut serta dalam proses demokrasi. Platform seperti Facebook dan Twitter digunakan oleh Komisi Pemilihan Umum untuk menyebarkan informasi tentang tahapan pemilu, cara memilih, dan pentingnya suara pemilih. Hal ini terbukti meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pemilu, seperti yang terlihat dari tingginya angka partisipasi pemilih pada pemilihan umum 2019 di Indonesia.

Dampak Negatif Pencitraan Politik

Namun, pencitraan politik di media sosial juga memiliki dampak negatif, salah satunya adalah penyebaran informasi palsu atau hoaks. Media sosial sering kali digunakan untuk menyebarkan berita palsu yang dapat merusak reputasi lawan politik atau menyesatkan pemilih. Hoaks yang beredar bisa sangat merugikan karena menyebar dengan cepat dan sulit untuk dilacak kebenarannya. Contohnya, selama pemilu 2019, banyak beredar hoaks tentang kedua calon presiden yang menciptakan kebingungan dan perpecahan di masyarakat.

Dampak negatif lain adalah polarisasi opini. Algoritma media sosial sering kali memperlihatkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna sehingga mereka hanya terpapar informasi yang sesuai dengan pandangan mereka sendiri (echo chamber effect). Hal ini menyebabkan semakin menguatnya polarisasi dan sulitnya menemukan titik tengah dalam diskusi politik. Polarisasi yang ekstrem dapat memecah belah masyarakat dan menyebabkan konflik sosial. Di Indonesia, pembelahan sosial yang tajam antara pendukung dan penentang calon presiden dalam beberapa pemilu terakhir menjadi bukti nyata dari polarisasi yang dipicu oleh pencitraan politik di media sosial.

Pencitraan politik di era media sosial adalah pedang bermata dua yang membawa sejumlah dampak signifikan bagi demokrasi modern. Di satu sisi, media sosial membuka peluang besar untuk memperbaiki transparansi dan akuntabilitas, serta meningkatkan partisipasi pemilih dalam proses demokrasi. Melalui media sosial, politisi dapat berkomunikasi langsung dengan masyarakat, mendengar aspirasi mereka, dan merespon dengan cepat permasalahan yang ada. Selain itu, strategi pencitraan yang baik dengan konten menarik dan dukungan influencer dapat memperkuat citra positif seorang politisi.

Namun di sisi lain, media sosial juga membawa sejumlah tantangan serius. Penyebaran informasi palsu dan hoaks menjadi ancaman nyata yang dapat merusak reputasi tokoh politik dan menyesatkan pemilih. Selain itu, fenomena polarisasi opini yang diperparah oleh algoritma media sosial menciptakan pembelahan di masyarakat yang dapat memicu konflik. Penggiringan opini publik secara tidak sehat juga merusak integritas demokrasi dengan menciptakan persepsi yang tidak berdasarkan pada fakta.

Dalam menghadapi era media sosial yang dinamis ini, politisi dan masyarakat perlu lebih bijak dalam menggunakan dan menyikapi informasi di media sosial. Penting untuk terus mengedukasi diri dan meningkatkan literasi media agar dapat membedakan mana informasi yang dapat dipercaya dan mana yang harus diperiksa ulang. Pada saat yang sama, regulasi yang tegas dan kebijakan yang mendukung pemberantasan hoaks dan disinformasi harus terus diterapkan untuk menjaga kesehatan demokrasi kita.

Dalam keseluruhan, pencitraan politik di era media sosial adalah fenomena kompleks yang memerlukan pemahaman mendalam dan penanganan yang hati-hati. Dengan kolaborasi dari semua pihak, diharapkan media sosial dapat digunakan sebagai alat yang positif untuk mengembangkan demokrasi yang lebih adil, transparan, dan akuntabel di masa depan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun