Teori framing menyoroti cara penyajian berita di media dapat memengaruhi persepsi publik. Misalnya, penggunaan kata-kata seperti "kebijakan reformasi" dibandingkan "pengurangan subsidi" dapat membingkai isu secara berbeda. Dalam konteks Indonesia, framing berita mengenai pembangunan infrastruktur oleh Presiden Joko Widodo sering kali menyoroti aspek positif seperti peningkatan konektivitas, sementara kritik terhadap biaya yang tinggi kadang tersisih dari narasi utama. Dengan framing ini, citra pemimpin dapat diarahkan untuk mencerminkan keberhasilan atau kelemahan.
3. Spiral of Silence Theory
Teori ini menyatakan bahwa individu cenderung tidak mengungkapkan pendapat yang bertentangan dengan mayoritas karena takut terisolasi. Media memiliki peran besar dalam memperkuat opini mayoritas.
4. Two-Step Flow Theory
Dalam era media sosial, teori ini tetap relevan dengan kehadiran influencer atau opinion leaders yang memiliki banyak pengikut. Pesan-pesan politik sering kali tidak langsung diterima masyarakat, tetapi melalui interpretasi ulang oleh tokoh-tokoh ini. Sebagai contoh, banyak selebriti dan influencer di Indonesia secara aktif mendukung calon tertentu selama pemilu, yang memengaruhi preferensi pemilih, terutama generasi muda.
Â
Teori Pencitraan dalam Politik menjelaskan proses bagaimana politisi, partai politik, atau institusi pemerintahan merancang, membangun, mempertahankan, dan mengelola citra yang diinginkan agar dapat diterima secara positif oleh publik. Citra politik merupakan bagian integral dari komunikasi politik yang mencakup persepsi, pandangan, atau gambaran yang terbentuk di benak masyarakat tentang tokoh, organisasi, atau lembaga politik. Pencitraan ini tidak hanya bertujuan untuk membangun kepercayaan masyarakat, tetapi juga untuk memengaruhi dukungan publik, membentuk opini, dan memperkuat legitimasi politik di berbagai tingkatan.
Interaksi langsung dengan pemilih
Tak hanya itu, media sosial juga memberikan ruang bagi politisi untuk berinteraksi langsung dengan pemilih. Di masa lalu, komunikasi dua arah antara politisi dan warga sangat terbatas. Warga hanya bisa menyampaikan aspirasi melalui surat, panggilan telepon, atau pertemuan langsung yang jarang terjadi. Kini, dengan adanya fitur komentar, pesan langsung, dan sesi tanya jawab live di media sosial, pemilih bisa langsung menyampaikan pendapat dan aspirasi mereka. Sebagai contoh, Presiden Joko Widodo aktif menggunakan Instagram dan YouTube untuk berkomunikasi dengan masyarakat, menerima masukan, dan menjawab pertanyaan secara langsung, sehingga menciptakan kedekatan yang lebih personal.
Selain itu, sifat viral dari media sosial membuat isu-isu politik dapat menyebar dengan sangat cepat. Ketika sebuah isu menjadi viral, ia bisa menciptakan gelombang opini yang besar dalam waktu singkat, baik itu positif maupun negatif. Misalnya, skandal korupsi atau tindakan tidak etis oleh politisi dapat dengan cepat diketahui publik dan menciptakan tekanan besar bagi pelaku untuk bertanggung jawab atau mengundurkan diri. Di sisi lain, isu yang disebarkan secara positif juga dapat meningkatkan popularitas dan citra seorang politisi. Di Indonesia, penggunaan tagar (#) di Twitter seperti #2019GantiPresiden dan #JokowiLagi berhasil memobilisasi opini publik dalam pemilihan presiden 2019.
Teknik pencintraan di media social