Politisi memanfaatkan media sosial sebagai sarana untuk menunjukkan sisi humanis dan menciptakan kedekatan dengan masyarakat. Mereka sering membagikan foto yang menampilkan aktivitas sehari-hari, video pendek yang menyoroti pencapaian kerja, hingga meme yang menghibur sebagai bagian dari strategi komunikasi mereka. Sebagai contoh, banyak tokoh politik kini aktif di TikTok, menggunakan musik populer untuk menarik minat generasi muda. Sementara itu, Twitter kerap digunakan untuk menyampaikan pandangan atau merespons isu-isu terkini secara cepat, sedangkan Instagram dimanfaatkan untuk menghadirkan citra visual yang menarik dan terkurasi dengan baik. Politisi kini menggunakan berbagai platform untuk menampilkan sisi humanis mereka. Namun, strategi ini lebih efektif jika disertai konsistensi antara citra online dan tindakan nyata. Sebagai contoh, politisi yang sering mempromosikan kegiatan sosial di media, seperti Ridwan Kamil, perlu memastikan bahwa program-program ini benar-benar terealisasi di lapangan. Ketidaksesuaian antara citra di media sosial dan realitas dapat merusak kepercayaan publik.
Polarisasi yang Diperburuk oleh Pencitraan
 Selain membangun kedekatan dengan publik, penggunaan media sosial untuk pencitraan politik juga memiliki potensi memperburuk polarisasi. Konten yang bersifat provokatif cenderung lebih cepat menyebar dibandingkan dengan konten yang informatif atau bersifat netral. Kampanye negatif yang ditujukan untuk menyerang pihak lawan sering memanfaatkan media sosial untuk mengukuhkan narasi yang memecah belah masyarakat. Akibatnya, muncul fragmentasi sosial yang membagi masyarakat ke dalam kelompok-kelompok yang berlawanan, sehingga memperkuat pola pikir "kita versus mereka."
Prospek Masa Depan: Menjembatani atau Memecah?
 Media sosial memiliki peran yang tak terelakkan dalam komunikasi politik modern. Potensi positifnya terletak pada kemampuannya untuk mempererat hubungan antara rakyat dan pemimpin, asalkan dimanfaatkan secara bijaksana. Namun, tantangan besar seperti polarisasi dan maraknya penyebaran informasi palsu memerlukan penanganan serius melalui regulasi yang lebih ketat serta peningkatan literasi digital secara menyeluruh. Selain itu, para politisi perlu berfokus pada penyampaian narasi yang autentik dan bermakna, bukan sekadar menciptakan sensasi untuk menarik perhatian publik.
Â
Kedekatan Politik dengan Rakyat Antara Fakta dan Imajinasi
Media sosial memberikan kemudahan bagi politisi untuk berinteraksi secara langsung dengan masyarakat. Fitur seperti live streaming sering digunakan untuk menciptakan kesan transparansi dan kedekatan. Namun, interaksi semacam ini kerap kali bersifat superfisial dan terarah. Banyak konten yang sengaja dirancang untuk menciptakan citra autentik, meskipun pada kenyataannya telah disesuaikan demi memenuhi tujuan politik tertentu.
Dampak Positif Pencitraan Politik
Salah satu dampak positif dari pencitraan politik di media sosial adalah meningkatnya transparansi dan akuntabilitas dari para pemimpin. Dengan platform sosial, politisi dapat dengan mudah mempublikasikan kegiatan sehari-hari, program kerja, dan capaian mereka. Hal ini menciptakan iklim kepercayaan yang lebih tinggi antara pemimpin dan rakyat. Misalnya, Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, sering membagikan kegiatannya dan capaian pemerintahannya melalui Instagram, yang mendapatkan apresiasi dari warga karena dianggap transparan dan akuntabel.
Selain itu, pencitraan politik yang efektif di media sosial juga dapat meningkatkan partisipasi pemilih. Kampanye yang menarik dan interaktif mampu mengedukasi dan memotivasi masyarakat untuk ikut serta dalam proses demokrasi. Platform seperti Facebook dan Twitter digunakan oleh Komisi Pemilihan Umum untuk menyebarkan informasi tentang tahapan pemilu, cara memilih, dan pentingnya suara pemilih. Hal ini terbukti meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pemilu, seperti yang terlihat dari tingginya angka partisipasi pemilih pada pemilihan umum 2019 di Indonesia.