Gelombang radio butut memunculkan suara yang keras. Mendenging. Lalu berubah jadi suara berat laki-laki dengan tangga nada bariton. Parmin meloncat, tapi tak mengumpat apa-apa, karena kata-kata telah dilarang di dalam negara Westo ini sejak Presiden menjabat tiga tahun lalu. Hanya orang-orang yang memiliki kekuasaan publik saja yang boleh mengeluarkan kata-kata.
"Selamat malam, Pemirsa. Kembali bersama di gelombang Radio Kata-kata yang tinggal satu-satunya di negara Westo ini. Sekilas info. Kemarin Pak Mendagri menghubungi kantor kami. Ini pengumuman penting, mohon disimak baik-baik, tapi jangan sekali-kali mengeluarkan kata-kata. Karena akan selalu ada yang mengintai kebebasan kalian.
Pak Menteri bilang, mulai hari Senin besok, seluruh orang Westo dilarang menggunakan kata-kata, termasuk Presiden dan awak-awak pemerintah. Sebab, Presiden sudah bosan mendengar kata-kata dari sesama. Kata-kata yang selalu sama dari hari ke hari. Tidak ada kebaruan. Ia lebih senang membaca daripada berbicara. Jadi catat, ya. Mulai Senin besok, tidak ada yang akan mengeluarkan kata-kata, termasuk juga aku tentunya.
Besok adalah hari Minggu. Pak Menteri juga berpesan, hari Minggu itu seluruh penduduk Westo boleh berkata-kata. Hanya untuk hari itu saja. Hari terakhir kita!
Jadi pergunakan kesempatan baik-baik.
Oh, iya. Belum usai kilasan info ini. Presiden juga ingin mengadakan sayembara, atau lebih berwujud tantangan kepada siapa saja yang mampu menemukan satu kata yang benar-benar baru. Belum ada di dalam kamus bahasa, ensiklopedia, atau pun pemikiran orang-orang kuno. Jika ada yang bisa menemukan satu kata baru itu, maka perintah berhenti berkata-kata akan dicabut. Dan kepada orang itu, ia berhak menggantikan kedudukan Presiden dari tahtanya.
Selamat Malam. Selamat malam Minggu. Persiapkan diri kalian menuju sayembara. Untuk yang dekat dengan Istana Kepresidenan, bisa langsung datang dan mengikuti sayembara. Sedang untuk yang berada di luar istana, boleh kirimkan rekaman suara lewat nomor telepon yang akan kami bacakan di akhir lagu nanti. Mari selamatkan kata-kata yang sudah lama terbelenggu!
Kami akan memutar lagu Celoteh Burung Camar Tolol alias Tampomas* untuk menemani akhir pekan Anda.
Selamat mendengarkan."
Parmin mondar-mandir seusai mendengar sekilas info. Ia sangat paham keadaan negeri ini. Presiden gendheng, kutuknya. Selama tiga tahun itu, kehidupan ekonominya merosot tajam. Tanpa bicara, istri dan kedua anaknya ngacir jauh-jauh. Istrinya meninggalkan secarik surat ketika Parmin masih di luar membeli sepotong tempe goreng. Rencananya tempe itu akan dipotong-potong menjadi empat bagian untuk melapisi menu makanan.
Mas, aku tidak tahan, maafkan aku dan anak-anakmu kalau kami pergi hanya meninggalkan surat ini. Karena kalau kita bicara baik-baik, para pengintai itu akan menembak kita. Aku tidak mau. Aku ingin hidup, sedangkan tiang ekonomi kita sudah hampir roboh. Maafkan aku dan anak-anakmu, Mas. Kami sudah tak sanggup menjalani hidup melarat denganmu. Kami akan mencari lelaki yang lebih besar dan kuat. Tentu lebih kuasa di atas publik dan sanggup berkata-kata banyak, serta banyak uang.
Salam rindu,
Istrimu
Mengingat surat itu, hati Parmin dongkol. Ia mengutuk Presiden keras-keras dalam hati. Gara-gara kebijakan aneh itu, ia jadi kehilangan pekerjaan utamanya. Kebetulan oleh orang-orang, Parmin dikenal luas sebagai penyanyi kondang. Tahu sendiri, kan? Penyanyi itu kerjanya menjual suara dan kata-kata, ya, mirip-mirip kerjaan seorang guru dan motivator. Sejak kebijakan itu diberlangsungkan, kontan karir Parmin ambruk. Ia tak tahu harus mencari pekerjaan lain ke mana. Sedangkan keahliannya hanya menjual kata-kata lewat nyanyian. Ia telah mondar-mandir ke sana kemari, tapi tak kunjung mendapat job. Hingga ekonomi benar-benar merosot, istri-anak kabur. Ia terpaksa kerja serabutan yang kadang-kadang hanya mencukupi kebutuhan perut saja. Sementara untuk hidup ada banyak kebutuhan lain.
Malam ini ia bisa sedikit lega, karena hari Minggu besok adalah hari dimana orang-orang bebas berkata-kata. Ia ingin sekali menemui sahabat terdekatnya yang telah tiga tahun ini tak pernah ngumpul sekadar mencecap kopi dan berbagi meja.
Dua tahun lebih, rumah Parmin sunyi. Kasur yang pernah dibeli bersama istrinya di Pasar Onowae, ikut-ikutan sunyi. Ia pandangi langit-langit yang sangat jarang dibersihkan. Ada sarang laba-laba di sana. Ia membayangkan kalau hari Minggu besok tubuh Presiden akan tersangkut di jaring laba-labanya sendiri. Ia akan mendiskusikan temuan kata baru bersama sahabat terdekatnya yang selama ini berprofesi sebagai pustakawan.
Selamat malam, dunia tanpa kata, batinnya pada kesunyian.
***
Pada waktu yang ditentukan, Parmin dan sahabatnya, Ruiga, duduk di sebuah meja berpelitur baru. Di hadapan masing-masing, ada segelas es jeruk. Parmin berkali-kali menyatakan kebahagiaannya setelah mendengar sekilas info semalam. Tapi Ruiga seperti menganggap kata-kata Parmin nonsense, tak bermakna, dan tak menarik untuk dibahas.
"Rui, letakkanlah buku itu sebentar. Bukankah selama ini kau sudah terlalu banyak membaca? Berilah waktu sebentar untuk sahabatmu ini. Lagipula hari ini adalah hari terakhir kita untuk mengeluarkan kata-kata. Besok tinggal kegelapan."
Ruiga meletakkan buku kembali di rak terdekat. Ia menaruh kedua tangannya bersideku. Menatap wajah Parmin lekat-lekat. "Bagaimana?"
"Apa semalam kau mendengarkan kilasan info di gelombang Radio Kata-kata? Mengapa kau tampak tak tertarik? Ini kesempatan terakhir kita untuk berkata-kata."
"Sejujurnya, kawan, aku sudah mulai terbiasa hidup tanpa berbicara. Buku-buku inilah yang menemaniku sepanjang hari. Sampai-sampai waktu pertama kali kita bicara tadi, aku sempat lupa bagaimana caranya mengucapkan kata-kata. Jika pun tak ada yang berhasil menjawab tantangan Presiden dan hari esok menjadi dunia yang benar-benar gelap bagi orang yang suka berbicara, kita mau apa? Lagipula, nyaris mustahil ada orang yang bisa menemukan kata baru yang belum pernah digunakan, serta bisa untuk dipakai komunikasi tanpa bahasa isyarat. Mustahil."
Parmin menunduk sebentar, dan segera mengangkat wajah.
"Barangkali memang bukan masalah untukmu, Ruiga. Tapi gara-gara kebijakan aneh Presiden, aku kehilangan pekerjaanku sebagai penyanyi. Keadaan ekonomi ambruk, hingga merosot total. Istri dan anak-anakku kabur. Selama dua tahun lebih aku tinggal seorang diri, dalam keadaan sepi. Andai pun aku bisa bernyanyi kembali, barangkali tak sesepi itu."
"Istri dan anak-anakmu pergi? Mengapa baru bilang?"
"Percuma jika kita bertemu, toh tak ada yang bisa kita bicarakan selama kebijakan itu masih tertancap."
"Ya pakai surat, barangkali. Andai tahu, tentu aku bisa membantu kalau cuma masalah ekonomi."
"Aku belum pernah membuat surat, Ruiga. Ah, kembali ke topik utama. Bagaimana menurutmu? Berapa kemungkinan tantangan Presiden akan terjawab?"
"1%."
"Hanya satu persen?"
"Iya, aku telah banyak membaca dari segala jenis buku. Mulai buku yang membicarakan asal-mula, peradaban, kekayaan, sejarah, dan segala seluk-beluk tentang dunia ini. Tapi nyaris semua kata-kata masuk dalam kamus bahasa. Dan belum pernah aku mendengar atau terpikirkan satu kata yang sama sekali asing, tapi langsung bisa dipakai untuk berkomunikasi."
"1%. Tapi tak mustahil, bukan?"
"Iya."
"Kalau begitu, mari kita berburu."
Parmin dan Ruiga nyaris menghabiskan hari di perpustakaan itu. Hari Minggu itu, perpustakaan pusat sangat ramai. Ada bahkan kabar televisi yang menayangkan seluruh penduduk negeri Westo berburu perpustakaan. Tak ada perpustakaan yang kosong hari Minggu ini. Semuanya penuh. Saling mencari satu kata saja yang belum pernah digunakan oleh peradaban, tapi langsung bisa dipakai untuk komunikasi.
Menjelang pukul sebelas malam, perpustakaan tak ada yang sepi, justru semakin ramai oleh pengunjung. Rupanya tak ada seorang pun di negara Westo yang membiarkan hidup tanpa berkata-kata. Mereka ingin hidup normal. Ruiga dan Parmin tubuhnya telah letih, melorot dari sandaran bangku dan duduk tak berdaya di lantai marmer.
"Percuma. Percuma. Waktu yang tersedia begitu singkat. Kita tak mungkin bisa menemukannya."
"Jangan menyerah, Ruiga. Masih ada satu jam lagi."
"Kau carilah sendiri."
Dengan sisa kekuatan fisik dan otak untuk memilah-memilih kata, Parmin tak henti mencari. Ia bolak-balik dari buku satu ke buku lain. Selalu ia menemukan kata yang pernah digunakan. Ia pernah terpikir untuk mengarang kata saja, tapi sudah jelas kalau kata yang tercipta dari karangan sendiri takkan mungkin bisa diterima oleh umum.
***
Di ruang Istana Kepresidenan, Mendagri dijamu oleh Presiden tepat pukul 23.30 dengan aneka makanan. Wajah mereka tampak puas.
"Belum ada kabar?" tanya Presiden.
"Belum, utusanku sudah memantau berbagai saluran, tapi tak satu pun yang berhasil. Radio-radio sudah  kembali beroperasi semua. Kami sudah menambahkan energi dana agar pencatatan data yang masuk bisa maksimal. Tapi mengapa Bapak Presiden menertibkan kebijakan ini?"
"Pak Menteri, kau lihat sendiri, bukan? Sekarang orang-orang tak ada yang tertinggal kecuali berada di perpustakaan semua. Bukankah ini pemandangan yang langka dan mahal di negeri kita ini? Sudah lama, aku mendambakan orang-orang memanfaatkan perpustakaan sebagai gudang ilmu sebagaimana mestinya. Meskipun harus dipaksa. Pasti mereka berpikir kalau besok adalah akhir dari segala-galanya."
"Betul. Memangnya ada apa, Pak?"
"Mereka lupa, kekuasaan Presiden dibatasi oleh usia. Jika aku mati, tentu dengan sendirinya kebijakan itu akan lumpuh, dan lama-lama luntur digantikan kebijakan yang baru dan lebih terbuka."
"Betul."
"Ya sudah. Tolong panggilkan Bi Nuril untuk menyiapkan tempat tidur buatku. Aku sangat lelah hari ini."
Di dalam istana, Presiden mulai menata diri untuk tidur. Sementara di perpustakaan-perpustakaan negeri Westo didera kecemasan hebat. Ruiga berkali-kali menyarankan Parmin agar menghentikan kegiatan yang sia-sia itu. Tapi Parmin tetap bersikeras, seperti orang-orang lain.
Sementara itu, waktu terus berjalan.
***
Tanah Bruno, 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H