Salam rindu,
Istrimu
Mengingat surat itu, hati Parmin dongkol. Ia mengutuk Presiden keras-keras dalam hati. Gara-gara kebijakan aneh itu, ia jadi kehilangan pekerjaan utamanya. Kebetulan oleh orang-orang, Parmin dikenal luas sebagai penyanyi kondang. Tahu sendiri, kan? Penyanyi itu kerjanya menjual suara dan kata-kata, ya, mirip-mirip kerjaan seorang guru dan motivator. Sejak kebijakan itu diberlangsungkan, kontan karir Parmin ambruk. Ia tak tahu harus mencari pekerjaan lain ke mana. Sedangkan keahliannya hanya menjual kata-kata lewat nyanyian. Ia telah mondar-mandir ke sana kemari, tapi tak kunjung mendapat job. Hingga ekonomi benar-benar merosot, istri-anak kabur. Ia terpaksa kerja serabutan yang kadang-kadang hanya mencukupi kebutuhan perut saja. Sementara untuk hidup ada banyak kebutuhan lain.
Malam ini ia bisa sedikit lega, karena hari Minggu besok adalah hari dimana orang-orang bebas berkata-kata. Ia ingin sekali menemui sahabat terdekatnya yang telah tiga tahun ini tak pernah ngumpul sekadar mencecap kopi dan berbagi meja.
Dua tahun lebih, rumah Parmin sunyi. Kasur yang pernah dibeli bersama istrinya di Pasar Onowae, ikut-ikutan sunyi. Ia pandangi langit-langit yang sangat jarang dibersihkan. Ada sarang laba-laba di sana. Ia membayangkan kalau hari Minggu besok tubuh Presiden akan tersangkut di jaring laba-labanya sendiri. Ia akan mendiskusikan temuan kata baru bersama sahabat terdekatnya yang selama ini berprofesi sebagai pustakawan.
Selamat malam, dunia tanpa kata, batinnya pada kesunyian.
***
Pada waktu yang ditentukan, Parmin dan sahabatnya, Ruiga, duduk di sebuah meja berpelitur baru. Di hadapan masing-masing, ada segelas es jeruk. Parmin berkali-kali menyatakan kebahagiaannya setelah mendengar sekilas info semalam. Tapi Ruiga seperti menganggap kata-kata Parmin nonsense, tak bermakna, dan tak menarik untuk dibahas.
"Rui, letakkanlah buku itu sebentar. Bukankah selama ini kau sudah terlalu banyak membaca? Berilah waktu sebentar untuk sahabatmu ini. Lagipula hari ini adalah hari terakhir kita untuk mengeluarkan kata-kata. Besok tinggal kegelapan."
Ruiga meletakkan buku kembali di rak terdekat. Ia menaruh kedua tangannya bersideku. Menatap wajah Parmin lekat-lekat. "Bagaimana?"
"Apa semalam kau mendengarkan kilasan info di gelombang Radio Kata-kata? Mengapa kau tampak tak tertarik? Ini kesempatan terakhir kita untuk berkata-kata."