"Belum, utusanku sudah memantau berbagai saluran, tapi tak satu pun yang berhasil. Radio-radio sudah  kembali beroperasi semua. Kami sudah menambahkan energi dana agar pencatatan data yang masuk bisa maksimal. Tapi mengapa Bapak Presiden menertibkan kebijakan ini?"
"Pak Menteri, kau lihat sendiri, bukan? Sekarang orang-orang tak ada yang tertinggal kecuali berada di perpustakaan semua. Bukankah ini pemandangan yang langka dan mahal di negeri kita ini? Sudah lama, aku mendambakan orang-orang memanfaatkan perpustakaan sebagai gudang ilmu sebagaimana mestinya. Meskipun harus dipaksa. Pasti mereka berpikir kalau besok adalah akhir dari segala-galanya."
"Betul. Memangnya ada apa, Pak?"
"Mereka lupa, kekuasaan Presiden dibatasi oleh usia. Jika aku mati, tentu dengan sendirinya kebijakan itu akan lumpuh, dan lama-lama luntur digantikan kebijakan yang baru dan lebih terbuka."
"Betul."
"Ya sudah. Tolong panggilkan Bi Nuril untuk menyiapkan tempat tidur buatku. Aku sangat lelah hari ini."
Di dalam istana, Presiden mulai menata diri untuk tidur. Sementara di perpustakaan-perpustakaan negeri Westo didera kecemasan hebat. Ruiga berkali-kali menyarankan Parmin agar menghentikan kegiatan yang sia-sia itu. Tapi Parmin tetap bersikeras, seperti orang-orang lain.
Sementara itu, waktu terus berjalan.
***
Tanah Bruno, 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H