Mohon tunggu...
Setio Budianto
Setio Budianto Mohon Tunggu... Guru - Saya adalah seorang Praktisi dan Akademisi Pariwisata, juga Guide Berbahasa Inggris. Disamping itu menulis buku fiksi dan non fiksi

Saya menyukai Pariwisata dan kebudayaan, sejarah terutama masa klasik Hindu Buddha. Juga menyukai perjalanan wisata serta topik mengenai lingkungan hidup serta pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Tarian Bocah Perkebunan (7) 2009: Dendam Lama yang Meraja

6 Juli 2023   22:02 Diperbarui: 6 Juli 2023   22:11 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Sekawanan awan tipis diantara langit biru di cakrawala memayungi mobil jeep offroad yang tengah berjalan meliuk -- liuk diantara rimbunan belukar. Pepohonan seolah tak ingin kalah. Mereka ikut bernyanyi, melambaikan tangannya. Sapi -- sapi yang sedang digembalakan ikut berhenti mengunyah makanan. 

Mereka menghentikan pembicaraan barang sebentar. Begitu pula sekumpulan itik yang berenang... memilih berjalan pelan di atas batu sembari mengamati benda kotak beroda yang dapat meluncur itu. Setelah merayap sekian lama di atas jalanan berdebu dan mengular, sampailah rombongan kecil itu di sebuah bangunan yang terdapat papan besar bertuliskan : 

Perkebunan Treblasala Persero. Semua penumpang turun, termasuk pengemudi. Seorang pria berusia kurang lebih limapuluh tahun, berperawakan kecil namun lincah. Sementara para penumpang, 3 orang adalah Bule, orang asing dengan seragam setelan safari gurun dengan celana pendek rimba dilengkapi saku yang banyak. 

Satu diantaranya bertopi koboi, dan kesemuanya memakai sepatu bootskhas penjelajah atau pecinta alam. Mereka menoleh kesana kemari mengamati suasana perkebunan yang begitu rimbun dan eksotis.

       "Over here... Come on!" seru pria Indonesia berperawakan kecil, dan mereka semua mengikutinya. Sementara burung -- burung kecil mengamati kedatangan mereka, dan mulai membicarakan mereka dengan suara riuh -- rendah. Halaman kantor perkebunan ini begitu luas, dipagari kayu, nuansanya mirip Ranch atau peternakan di Amerika.

Di kejauhan tampak para pekerja kasar sedang berjalan kelelahan, setelah seharian berkutat dengan pekerjaan. Mereka membanting tulang untuk keluarga. Seperti halnya kakek -- nenek mereka, ayah -- ibu mereka, hingga kelak mereka menjadi kakek -- nenek pula.

Begitulah semua berlangsung sama selama puluhan bahkan ratusan tahun, siklus yang tidak pernah berubah, statis, tetap, bahkan berusaha dilestarikan seperti itu.

 Perkebunan adalah anak emas pihak Kolonial Belanda, maupun kolonialis yang lain seperti Inggris, Perancis, maupun Jerman ditanah jajahan masing-masing. Pada masa lalu, perkebunan adalah tambang emas, mata air yang tak pernah kering menghasilkan keuntungan.

Sejarah mencatat, nestapa Bangsa Indonesia pada saat mengalami "Cultuur Stelsel" atau tanam paksa, tenaga dan sumber daya alam diperah habis, dikapalkan ke Negeri Belanda. Hal yang membuat Kerajaan Belanda menjadi kaya raya. Namun Tuhan Maha Kuasa, masih ada juga orang Belanda yang baik, yang justru mengkritik habis -- habisan praktek ini. 

Edward Douwes Dekker mengguncang dunia dengan novel satire-nya : Max Havelaar. Douwes Dekker adalah asisten residen di Lebak, Banten pada saat ia menulis Max Havelaar. Ia menggunakan nama samara "Multatuli" yang artinya "aku sangat menderita".

 Juga tokoh Belanda Theodore Van Deventer, ia menganjurkan pemerintah Belanda membayar "De Eereschuld" atau hutang kehormatan kepada rakyat Indonesia. Pengaruh Revolusi Prancis dan Paham Aufklarung memang sudah tak dapat dibendung lagi. Langkah mereka terhenti, ketika seorang pria tua menyambut di depan pintu.

            "Selamat datang di Perkebunan. Please come in!" sapanya ramah dan mereka berlimapun masuk. Para tamu memandang sekeliling. Tembok putih itu begitu dingin, angkuh menatap mereka. Dari ketebalannya, jelas peninggalan Belanda. Begitu juga potret di dinding yang semuanya hitam putih, menatap pengunjung dan tamu...mereka berteriak menggapai-gapai. 

Mereka berusaha menceritakan alangkah sulit kehidupan perkebunan di masa penjajahan, hanya kayu pilar di tengah yang hangat menyapa, dia berbicara bahwa di zaman Republik, perkebunan telah sedikit berbenah, tidak sepenuhnya feudal. Sebuah usaha yang patut dihargai meski belum sepenuhnya berhasil baik, seperti yang tengah dilakukan oleh pria tua ini.

            "Terima kasih Pak, undangannya. Sebelumnya, saya perkenalkan tamu kita ini Mr. Ludwig Fitzgerald dari ILO . Beliau sampaikan permohonan maaf, Ketua Komisi Tinggi Mrs. Michelle Bachelet tidak dapat berkunjung, hingga diwakilkan pada beliau. Banyak agenda ILO di Indonesia terkait pelatihan di bidang ekowisata.

Semua akan terwakili oleh Beliau sebagai deputi operasi senior Asia Tenggara" Kacong memperkenalkan.  Mr. Ludwig tersenyum dan mengangguk hormat.           

"Yang disamping beliau ini adalah Mr. Johan Leighton dari OCHCR 4, Mr. Guy Ryder selaku Ketua Komisi OCHCR juga menyampaikan permohonan maaf tidak bisa berkunjung, Mr. Johan Leighton memerlukan berdiri dan membentuk salam hormat. Tak dikira perasaan Pak Djati Wisesa setelah mendengar perkenalan yang disampaikan oleh Pak Kacong, coordinator sekaligus penerjemah. 

Bagai kejatuhan bulan, ia pun bangkit berdiri.Lalu itu disebelah kanan adalah Stefan, Jurnalis dan kontributor media . ini adalah kali kedua Stefan kemari...Stefan pun berdiri mengangguk hormat.

            "Terima kasih yang tak terhingga, Bapak-bapak dari perwakilan organisasi Internasional yang bersedia tinggal di gubuk kami. Perkenalkan, saya Djati Wisesa...Deputi Bidang Pengembangan SDM di Perkebunan ini," Ia membentuk sembah hormat.

       "Kalau ini Mas Surya, koordinator ILO dari Jakarta. Lalu yang ujung itu Mas Kamal, media lokal Jawa Timur yang berbasis di Surabaya". Kedua orang yang diperkenalkan mengangguk hormat. Tanpa diduga, Pak Djati mohon izin ke belakang. Kemudian Kacong berdiri. Didekatinya foto -- foto yang terpajang di dinding, foto -- foto lama hitam -- putih. 

Foto itu ditatapnya dengan penuh arti. Wajah perkebunan sejak zaman kolonial hingga tahun 70-an. Masa kecilnya dulu. Banyak foto yang menggambarkan foto bersama antara para pejabat Belanda dan pegawai perkebunan. Cara membedakannya mudah saja: pejabat, sinder selalu di atas, berdiri, berpakaian putih bersih dengan pangkat disana -- sini. 

Sementara buruh: bersimpuh di lantai dengan pakaian seadanya. Hati Kacong bergetar, ada sebuah perasaan sedih menjalari sanubarinya. Beginikah kehidupan yang mesti dijalani para buruh di masa penjajahan? Itu hanya foto, bagaimanakah yang nyata? Di zaman modern ini apakah praktek penindasan ini masih berlangsung? Begitu tegakah pejabat yang sekarang dengan bangsa sendiri?

Ah, tentu tidak, ditepisnya perasaan itu! Sementara angannya terus berkelana, hingga terdengar deru mobil jeep datang di halaman. Kacong terkesiap. Ia segera sadar dari lamunannya. Ia pandang pria yang datang dan menuju ruang tamu itu, dengan tatapan seolah tak percaya. Inikah... inikah...  Birowo?

       Seseorang yang baru datang, tanpa ba -- bi -- bu masuk.  Ia diam seribu bahasa. Hanya matanya yang setajam elang terus menyorot ke arah Kacong dan tamunya yang lain. Mukanya merah padam. Para tamu jadi tak enak hati, mereka merasa kikuk. Dalam hati mereka yakin, seseorang ini bukan orang lain dalam keluarga, mungkin anak atau saudara. 

Tapi siapa? Tatapan matanya yang penuh dengan kebencian dan permusuhan jelas bukan sambutan yang ramah. Saat itulah Pak Djati keluar, dengan diiringi oleh pelayan. Dan sekarang, pendatang itu ganti menatap Pak Djati penuh tanya dan raut mukanya bernada protes. Sejenak Pak Djati gelagapan, hingga pria yang datang segera berbalik menuju pintu, dan menutup pintu keras -- keras... Brakkk...

       Semua tamu berpandangan. Sementara Pak Djati, merasa kehilangan muka di depan tamunya, gopoh -- gapah dialihkannya dengan perintah ke bawahannya...

       "Ayo Rusdi... segera taruh makanan dan minumannya di sebelah sana!" dengan sigap ia turut membantu. Beberapa detik kemudian, beberapa mangkok makanan dan minuman segarkelapa muda telah terhidang. Makanan khas Banyuwangi pula, Rujak Soto.

       "Oh ya, ini namanya Rujak Soto. Kuliner khas Banyuwangi yang terkenal. Ayo, mari mari!" ujar pak Djati seraya membuka toples kerupuk.

       "Ayo Pak Kacong ajak mereka makan. Kan perjalanan dari Jakarta jauh... capek tentunya!" dan akhirnya mereka semuapun makan dengan lahapnya. Seusai makan, segelas jeruk hangat terasa begitu pas membasahi kerongkongan. Lalu Pak Djati membuka pembicaraan.

       "Mohon maaf semuanya, yang datang tadi adalah keponakan saya, Birowo. Dia juga salah satu pejabat perkebunan di sini, dibawah saya..." ucap Pak Djati sambil menghela nafas yang berat, sementara pandangannya tetap menerawang jauh ke depan.

       "Mm... tapi mengapa sikapnya seperti itu?" Kamal memberanikan diri bertanya.

       "Iya pak, kami jadi tak enak hati. Belum apa -- apa sudah ada permasalahan begini..." Surya dari kantor ILO Jakarta menimpali.

       "Tenang, tidak apa -- apa. Selama saya menjabat di sini, saya jamin kegiatan ini akan berjalan! Jangan kuatir!" Pak Djati menyapukan pandang mengharap keseluruh tamunya. Ia coba yakinkan mereka. Para tamu mengangguk -- angguk, namun mereka sepertinya masih menunggu jawaban Pak Djati.

       "Jadi begini, setelah proses korespondensi dan kontak dengan ILO beberapa bulan lalu, perkebunan ini seolah terbelah suaranya, terutama di kalangan pejabat. Ada yang menolak dengan keras, proses transformasi perkebunan lebih modern humanis, beradab dengan mengakomodir sumber daya eksternal. 

Mereka ini ingin mempertahankan cara -- cara lama yang Feodalistik dan berbau kolonial. Menurut mereka perkebunan, dari ratusan tahun ya tetap begini, harus dipertahankan seperti ini. Kedatangan orang luar merupakan ancaman bagi mereka. Sialnya, jumlah yang menentang ini cukup banyak. 

Salah satunya Birowo keponakan saya itu dan Pak Ipan. Mereka 75% sedangkan kami 25% saja." Urai Pak Djati panjang lebar. Sementara Kacong sibuk menjelaskan dan menerjemahkan apa yang tadi disampaikan Pak Djati kepada dua kolega asingnya.

       Pertemuan siang itu rusak suasananya, karena kedatangan tamu tak diundang itu. Rujak Soto yang sungguh berselera mendadak jadi hambar. Kejadian tadi membuat mereka terbebani. Setelah acara selesai, mereka berpamitan undur diri. Dengan langkah gontai mereka meninggalkan rumah Pak Djati...

Catatan : 

hutang kehormatan, yang dikongkritkan ke dalam Politik Etis : Edukasi, Imigrasi, dan Irigasi,                                                                                 paham rasionalisme Eropa, yang artinya fajar atau yang terang                                                                                                                                                 3OHCHR, Office of The UN High Commissioner for Human Rights, Kantor HAM PBB                                                                                                       4 ILO, International Labour Organization, organisasi perburuhan internasional PBB

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun