Sekawanan awan tipis diantara langit biru di cakrawala memayungi mobil jeep offroad yang tengah berjalan meliuk -- liuk diantara rimbunan belukar. Pepohonan seolah tak ingin kalah. Mereka ikut bernyanyi, melambaikan tangannya. Sapi -- sapi yang sedang digembalakan ikut berhenti mengunyah makanan.Â
Mereka menghentikan pembicaraan barang sebentar. Begitu pula sekumpulan itik yang berenang... memilih berjalan pelan di atas batu sembari mengamati benda kotak beroda yang dapat meluncur itu. Setelah merayap sekian lama di atas jalanan berdebu dan mengular, sampailah rombongan kecil itu di sebuah bangunan yang terdapat papan besar bertuliskan :Â
Perkebunan Treblasala Persero. Semua penumpang turun, termasuk pengemudi. Seorang pria berusia kurang lebih limapuluh tahun, berperawakan kecil namun lincah. Sementara para penumpang, 3 orang adalah Bule, orang asing dengan seragam setelan safari gurun dengan celana pendek rimba dilengkapi saku yang banyak.Â
Satu diantaranya bertopi koboi, dan kesemuanya memakai sepatu bootskhas penjelajah atau pecinta alam. Mereka menoleh kesana kemari mengamati suasana perkebunan yang begitu rimbun dan eksotis.
    "Over here... Come on!" seru pria Indonesia berperawakan kecil, dan mereka semua mengikutinya. Sementara burung -- burung kecil mengamati kedatangan mereka, dan mulai membicarakan mereka dengan suara riuh -- rendah. Halaman kantor perkebunan ini begitu luas, dipagari kayu, nuansanya mirip Ranch atau peternakan di Amerika.
Di kejauhan tampak para pekerja kasar sedang berjalan kelelahan, setelah seharian berkutat dengan pekerjaan. Mereka membanting tulang untuk keluarga. Seperti halnya kakek -- nenek mereka, ayah -- ibu mereka, hingga kelak mereka menjadi kakek -- nenek pula.
Begitulah semua berlangsung sama selama puluhan bahkan ratusan tahun, siklus yang tidak pernah berubah, statis, tetap, bahkan berusaha dilestarikan seperti itu.
 Perkebunan adalah anak emas pihak Kolonial Belanda, maupun kolonialis yang lain seperti Inggris, Perancis, maupun Jerman ditanah jajahan masing-masing. Pada masa lalu, perkebunan adalah tambang emas, mata air yang tak pernah kering menghasilkan keuntungan.
Sejarah mencatat, nestapa Bangsa Indonesia pada saat mengalami "Cultuur Stelsel" atau tanam paksa, tenaga dan sumber daya alam diperah habis, dikapalkan ke Negeri Belanda. Hal yang membuat Kerajaan Belanda menjadi kaya raya. Namun Tuhan Maha Kuasa, masih ada juga orang Belanda yang baik, yang justru mengkritik habis -- habisan praktek ini.Â
Edward Douwes Dekker mengguncang dunia dengan novel satire-nya : Max Havelaar. Douwes Dekker adalah asisten residen di Lebak, Banten pada saat ia menulis Max Havelaar. Ia menggunakan nama samara "Multatuli" yang artinya "aku sangat menderita".
 Juga tokoh Belanda Theodore Van Deventer, ia menganjurkan pemerintah Belanda membayar "De Eereschuld" atau hutang kehormatan kepada rakyat Indonesia. Pengaruh Revolusi Prancis dan Paham Aufklarung memang sudah tak dapat dibendung lagi. Langkah mereka terhenti, ketika seorang pria tua menyambut di depan pintu.